Seperti biasa. Setiap Minggu Baru mengajak istri dan kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya.
Yang selalu membuatnya kesal adalah, istrinya lebih banyak diam jika di ajak bicara ibunya. Tidak sopan, pikirnya.
Padahal setiap nasihat yang di katakan ibunya benar adanya. Semua pada mahal, harus hemat.
"Gimana mertua mu, Bari? ada minta-minta uang sama kau?"
"Enggak ada, Bu."
"Halah, paling minta sama istrimu makanya uang berapapun yang kau kasih selalu habis."
...****...
Sebenarnya bukan bermaksud untuk diam saja ketika ibu mertuanya menasehati dirinya.
Menasehati?
Lebih tepatnya menuduh nya sebagai istri pemalas dan boros. Tidak becus mengurus suami dan anak.
Jadi selama ini apa yang ia lakukan?
Berfoya-foya?
Belanja ini dan itu?
Menelantarkan suami dan kedua anaknya?
Jadi siapa yang masak, beresin rumah, mencuci pakaian, jemurin, mencabut rumput dan sapu halaman?
Rasanya ingin sekali menyela pembicaraan ibu mertua nya itu, namun ia tak ingin mulut beras dan di bentak oleh suaminya.
Kaki melangkah menuju dapur, tetapi harus berhenti karena suami dan ibu mertuanya membicarakan ayah nya?
Ini tidak bisa di biarkan.
"CUKUP." sentak nya.
"Apa maksudmu Zilla?" sentak Bari tak kalah kuat.
"Cukup, sudah terlalu sering kalian menganggap ku buruk. Apa maksud ibu bilang kalau ayah ku minta-minta uang, hah?" Kilatan amarah terlihat jelas di wajah ayu Adzilla.
"Pelankan suaramu Adzilla."
"DIAM."
"Tujuh tahun aku diam, dan sekarang waktunya aku bicara padamu. Semua yang ku lakukan padamu dan keluarga mu tak pernah dianggap. Siapa kamu berani membentak ku, dan apa yang ku dengar tadi? kalian menuduh ayah ku minta uang padaku?" Adzilla menatap kedua orang di depan nya masih dengan tatapan marah.
"Kau Bari Kesuma. Pria pelit dan perhitungan, pantaslah banyak orang bertanya kenapa aku mau sama mu. Ternyata ini jawaban nya. Dan ibu, seharusnya sebagai seorang ibu itu didik anak laki-laki nya biar sayang sama istrinya bukan bicara yang enggak-enggak."
Adzilla terus mengeluarkan isi hatinya dengan suara lantang hingga para warga sudah berada di teras rumah ibu mertuanya.
Sudah berusaha untuk menahan tangis namun tetap saja air mata itu sudah menganak sungai.
"Ibu, seharusnya ibu berpikir bagaimana jadi aku yang di jatah harian, nggak pernah di sayang, enggak pernah mau ikut andil ngurus anak dan rumah. Tapi kenapa ibu seolah buta untuk melihat ke arah ku."
"Diam kau Adzilla." sentak Bari lagi.
Adzilla mendongak menatap nyalang pada sang suami. "Sudah ku katakan, kau lah yang diam dan saat ini adalah saat nya aku bicara."
"Aku bersumpah, kau tak akan bahagia dan Allah akan membalas semua perbuatan kalian."
PLAK
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Adzilla. Perih, hatinya semakin perih karena untuk pertama kalinya ada orang yang melakukan kekerasan padanya.
Ia menatap tangan yang sudah menamparnya tadi lalu beralih menatap pada Bari. "Makasih, bang. Selama ini, aku sudah menunggu waktu ini. Aku dan anak-anak akan pulang ke rumah ayah."
"Pergilah, mulai hari ini kau bukan lagi istriku. Dan kita lihat, seperti apa kau jika nggak ada aku."
Bagai di sambar petir siang bolong. Ia memang menunggu hari kebebasan dari keluarga dan suami yang tak pernah menghargai nya tetapi hal ini terjadi dan begitu sakit menyesakkan dada.
Jatuh nya ucapan talak, maka sekarang dirinya menyandang status janda beranak dua. Dengan derai air mata, ia menggandeng kedua anak nya keluar dari rumah mertuanya.
Tak dihiraukan tatapan iba para tetangga untuknya.
"Ma, kenapa kita jalan?" tanya Satria yang mulai mengerti.
"Iya, kita pulang duluan. Sekarang kita tidur di rumah kakek. Satria mau kan?" tanya Adzilla sembari menghapus air mata nya.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya mereka telah sampai di jalan raya. Ia tidak tahu harus pulang dengan apa.
"Om, anteng." seru Sania melihat seseorang di seberang jalan sedang menikmati es kelapa muda.
"Sania, jangan di panggil ah. Om nya lagi minum itu."
"Aus, ma."
Adzilla menelan saliva mendengar anaknya mengatakan haus. Sedang dirinya hanya mengantongi uang lima ribu rupiah saja.
Sania menariknya hingga terpaksa menyeberangi jalan apalagi pria itu melambai ke arah mereka.
Hatinya terenyuh melihat Sania langsung duduk di pangkuan pria tersebut seperti sudah lama mengenal. Padahal putrinya itu termasuk anak yang sulit di dekati.
"Duduk disini, kak. Jangan cuma berdiri saja. Sini abang juga." ujar pria itu melihat ia dan Satria masih berdiri saja setelah pesan satu gelas es kelapa muda.
Terpaksa ia dan Satria duduk berhadapan dengan pria itu.
"Loh kok cuma segelas?" tanyanya melihat ke arahnya.
"Aku enggak mau, ini untuk Satria dan Sania saja, kongsi."
Namun ia terperangah karena pria itu memesan dua gelas es kelapa muda lagi.
Dan lihatlah anak bungsunya. Ia merutuki karena selalu mengajari Sania untuk jujur jika di tanya seseorang. Jadi sekarang ia harus apa? marah atau tidak?
"Iya, tadi mama angis belantem papa pukul mama. Eengh." Sania memperagakan cara Bari menampar pipi Adzilla.
"Jadi, adik Sania mau kemana?"
"Rumah tatek."
"Jalan?"
Sania mengangguk.
"Nanti, om antar ya ke rumah kakek?"
"Jangan." pekik Adzilla.
"Nggak ada penolakan, kakak cantik."
Adzilla hanya pasrah. Mereka menghabiskan waktu kelapa muda masing-masing. Sania sendiri menghabiskan es kelapa muda tersebut dengan bantuan Askar yang telaten menyuapi anak kecil itu.
"Jadilah wanita hebat. Bukan karena kamu cantik dan kayak, tapi menjadi wanita yang mampu menyelesaikan segala masalah. Juga mampu melukis kekuatan pada waktu dimana dirimu merasa begitu lemah." ucap Askar.
Ucapan itu membuat ia tersentak dan menatap Askar cukup lama. Mata serasa panas segera ia palingkan pandangan ke arah lain. Ia hanya mampu mengangguk, meski wajahnya kini temaram, gurat luka itu tidak luntur.
"Terimakasih." ucap Adzilla. Entah terimakasih untuk ucapan tadi atau es kelapa muda ini.
Askar mengangguk. "Mau ku antar ke mana kakak?"
"Boleh aku ikut bersamamu?"tanya Adzilla membuat Askar terperanjat.
"Enggak boleh kak. Kakak lagi ada masalah sama suami kakak."
Adzilla menunduk tajam. "Aku di talak."
Askar kembali tersentak. "Pulanglah ke rumah orang tua kakak. Ceritakan semuanya dan selesai kan."
Adzilla hanya mampu mengangguk. Setelah Askar membayar es kelapa muda lalu mengantar Adzilla dan kedua anaknya.
Lagi-lagi Adzilla hanya mampu diam melihat interaksi kedua anaknya begitu dekat dengan Askar. Padahal Bari saja tidak pernah memperlakukan kedua anaknya seperti ini.
Sakit.
Perih.
Mulai saat ini ia harus memikirkan bagaimana kedepannya. Masa depan kedua anaknya di pertaruhkan saat ini.
❤️
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Kalsum
7thn bertahan.alhamdulillah udh di talak
2024-08-14
0
Asngadah Baruharjo
si bari nanti tak cari mau tak sleding 😭
2024-06-21
0
Dwi Setyaningrum
suami kalau pelit sama istri rejekinya akan seret tuh 🤪
2024-04-12
0