Namaku Diana Aprilia, karyawati salah satu perusahaan ternama yang bergerak di bidang ekspedisi di kotaku. usiaku 28 tahun, belum menikah, belum memiliki pacar dan mandiri.
28 tahun, usia yang seharusnya tidak lagi berstatus sendiri. Tapi aku enjoy dengan hidupku. Kapan dan dimanapun aku berada, tak ada yang melarang. Aku bebas menentukan arah langkahku.
Selain berstatus karyawati, akupun memiliki perkerjaan sambilan lainnya, menjadi kasir sekaligus asisten pribadi Inah kakakku di sebuah cafe sederhana miliknya.
Seluruh waktu, hidup dan tenagaku kucurahkan untuk kerja, kerja dan kerja sehingga aku lupa kalau usiaku telah menjelang kepala 3.
Desakan kedua orang tuaku agar aku segera menikah semakin sering kudengar, namun kutanggapi biasa saja.
"Nak, kapan kamu menikah," tanya ibuku suatu ketika.
Aku terdiam, mencoba mencari jawaban yang kuharapkan bisa di terima ibuku dan tak akan menimbulkan pertanyaan baru.
"Kok ga ada yang kamu perkenalkan kepada ibu dan bapakmu nak?" lanjut ibu, melihat aku tak bereaksi menjawab pertanyaannya.
Aku terdiam, menoleh sesaat dan kembali menekuni novel online di salah satu aplikasi favoritku. Ibu terlihat tak ingin lagi mengajukan pertanyaan yang sama karena reaksiku tidak akan berubah. Air muka ibu terlihat sedih.
"Bu, jodoh itu rahasia Allah. Entah besok atau lusa, kalau sudah waktunya, Diana pasti bakal menikah dan memberi ibu dan bapak cucu seperti kak Inah, sabar ya bu," jawabku panjang lebar, tak sanggup menatap wajah kecewa ibu.
Kerutan diwajah ibu menunjukkan usia ibu yang semakin uzur. Yah, wajar ibu dan bapak memintaku untuk segera menikah.
Mumpung bapak dan ibumu masih hidup nak, begitu kata bapak suatu ketika.
Tapi begitulah aku, tidak ingin memikirkan sesuatu yang menjadi rahasia Allah. Biarkan saja semua mengalir seperti apa adanya.
Jujur, ada beberapa pria yang sempat mendekatiku. Tapi kutolak dengan berbagai alasan yang menurut kakakku Inah terlalu mengada-ada.
Kak Inah dan kak Rama suaminya menjadi mata-mata ibu sekaligus mak comblangku. Beberapa orang pria pernah dicomblangin kak Inah dan kak Rama kepadaku. Tapi belum ada satupun yang "klik" dihati.
Aku memang menginginkan jodoh yang sesuai dengan standar pribadiku. Ganteng bukanlah prioritas utama karena menurutku, susah menjaga hubungan dengan pria ganteng. Aku lebih menginginkan pria bertampan menarik, berhobi sama, santun, sayang keluarga, bisa diajak kompromi dan bisa menjadi imam yang baik dalam bahtera rumah tanggaku kelak.
Ketika mas Guntur diperkenalkan kak Inah dan kak Rama kepadaku, awalnya aku tidak begitu tertarik. Selain karena tampan mas Guntur yang tidak masuk nominasiku, juga karena aku tidak tertarik menikah dengan seorang tentara.
Kata ibu, kalau menikah dengan tentara, cepat jadi janda...ha..ha..ha, ada-ada aja alasan ibu.
Tapi yang paling utama terkait ketidak tertarikanku menikahi anggota TNI adalah karena aku meragukan kesetiaan mereka.
Oh ya, satu lagi, intensitas waktu bersama yang bakal berkurang dikarenakan kewajiban seorang anggota TNI untuk mentaati setiap aturan kedinasan. Setahun diluar, seminggu di rumah.
duh...mana tahanlah aku.
Aku juga memiliki 3 orang sahabat yang selalu setia menemaniku, si kembar Nani dan Nina dan Imah yang bekerja sekantor denganku. ketiganya sudah memiliki pacar, beda denganku yang masih betah menjomblo.
Nah, ketiga sahabatku ini justru berpacarkan tentara berbanding terbalik denganku kan ?. Setiap malam minggu, aku diajak si kembar jalan-jalan berlima. Nani dan Nina dengan pacarnya masing-masing, dan aku?. Tentu sendirian saja.
"An, aku cariin pacar untuk kamu ya, temen mas Anton. Orangnya ganteng lho," ujar Nina suatu ketika.
"Tentara?" tanyaku singkat
"Iya," sahut Nina.
"Ogah," jawabku sambil tertawa dan mencibir ke arahnya. Nina gregetan. Dicubitnya pipiku gemas.
"Belagu. Jangan kebanyakan milih, ntar dapat nangka busuk lo," Nina mengingatkan akibat sifatku yang pemilih.
Tapi bukan Diana namaku kalau aku mau berpacarkan tentara.
Begituah keseharianku dengan kedua sahabatku. Kalau tidak jalan bareng, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton film terbaru di bioskop ditemani sebatang coklat silverqueen ukuran besar bertabur kacang mede kesukaanku dan sekaleng minuman dingin.
Aku bisa betah berlama-lama didalam bioskop, sendiri tentu saja sambil menikmati film terbaru yang diputar.
Awal perkenalanku dengan mas Guntur terjadi di cafe milik kak Inah dan kak Rama. Aku yang memiliki hobi nyanyi suka banget nongkrong di cafe sambil membantu kak Inah melayani tamu yang datang.
Kadang membuat kopi dan mie rebus pesanan tamu cafe, kadang jadi kasir dadakan. Gitu dech, apa saja aku lakukan untuk membantu kak Inah dan kak Rama membesarkan cafenya.
Malam itu, karena harus berbelanja kebutuhan cafe, kak Inah menugaskan aku untuk membantu kak Rama menggantikan dirinya.
Aku mengiyakan, karena waktunya yang memang pas banget lagi rame-ramenya. Malam Minggu, Tentu saja kak Rama membutuhkan bantuanku.
Sosok mas Guntur awalnya tidaklah begitu menarik bagiku. Hal yang membuat aku sedikit memberikan perhatianku adalah suaranya yang memang merdu walaupun gendre musik yang dinyanyikan mas Guntur bukanlah gendre musik pop yang aku sukai.
Namun suara merdu mas Guntur yang sukses menyanyikan lagu dangdut karya musisi legendaris Rhoma Irama berhasil menarik perhatianku. Sebagai adik pemilik cafe, aku juga punya kewajiban untuk menyenangkan hati para tamu walaupum hanya dengan senyuman dan pujian seadanya.
"Namanya mas Guntur," aku terkejut.
Tiba-tiba kak Rama telah berdiri di belakang punggungku, tersenyum sambil menyebut nama laki-laki itu tanpa kuminta.
Sorot mata kak Rama mengarah ke arah laki-laki tinggi besar berseragam loreng yang duduk dimeja 12 bersama temannya. Hmmm... Misi mak comblang dimulai.
" Ga nanyak", sahutku acuh tak acuh.
Gawat kalau kuladeni candaan kak Rama. Bakal panjang urusannya
Tiba-tiba sosok laki-laki itu melambai ke arahku. Kulihat kak Rama masih sibuk menyambut beberapa orang pengunjung yang baru datang.
Terpaksa aku berdiri dan berjalan mendekati si lelaki berseragam loreng setelah terlebih dahulu mengunci laci meja kasir.
"Ada yang bisa saya bantu pak," tanyaku sesampainya aku didepan meja 12.
Secara diam-diam mataku meneliti laki-laki yang duduk dihadapanku. Tipe wajah oriental dengan mata yang agak sipit dan bentuk wajah lebar dengan sepasang rahang yang kokoh, kulit tidak terlalu putih dan sebuah giwang kecil menghiasi sebelah kanan daun telinganya. Berbadan atletis, tinggi dan tegap layaknya seorang anggota TNI.
Sadar sedang diperhatikan, lelaki itu tersenyum kearahku sambil menjulurkan tangannya.
"Jangan panggil saya pak, panggil saja mas Guntur," aku terkejut mendengar suara mas Guntur.
Wajahku terasa panas, sudah pasti rona wajahku berubah memerah karena malu. Untung cahaya lampu di ruangan cafe yang agak remang-remang menolongku menyembunyikan semburan warna merah diwajahku.
Duh, ketahuan dech.
Aku menyambut uluran tangan mas Guntur dengan mengatupkan kedua belah tanganku ke arah dada. Isyarat bahwa aku tidak bisa berjabat tangan dengannya. Mas Guntur menyadari isyaratku dan menarik tangannya kembali. Aku mengangguk mengiyakan.
"Siapa namamu," tanya mas Guntur lagi. tatapan matanya masih lekat memandang kearahku.
"Diana," jawabku singkat.
Kumainkan ujung jemariku untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
Entah apa yang ada di benak mas Guntur. Tapi perkenalan kami malam itu menjadi awal mula perubahan takdir hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 196 Episodes
Comments
Inru
Cie.. Cie.. Dug dug serr..
2022-08-26
1
Dehan
buat penasaran ya
2022-07-06
0