...Bab 20...
...—Rating G—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Sekarang aku berada di sebuah kedai makan yang relatif sederhana.
Tempat itu tidak jauh dari titik pertemuan diriku dan Yuna ( walau kenyataan yang kejam berkata jika itu berakhir dengan sepasang orang aneh yang bersanding di depan kami ). Namun, terlepas dari suasana beberapa anak muda yang mengisi beberapa meja makan yang ada, aku merasa gugup saat Yuna duduk di sebelahku.
Sangat konyol.
“Jadi ini bonus tambahan yang mereka maksud. Boleh juga, sih,” bisikku.
Sebuah dorayaki diletakkan di atas meja makan. Tentu saja itu ditujukan padaku sebagai hadiah atas kedatangan pertamaku. Namun, sekali lagi, ini sama sekali di luar rencana, sia-sia saja.
“Hei, mukamu kok murung begitu, Hiro. Apa kau tidak menyukai hadiahnya?” Kak Aina menatapku. Sekilas, matanya seperti seekor elang yang menyorot tajam.
“Bu–bukan, aku hanya terkejut karena kali ini kita akan makan malam bersama.”
“Aku tidak yakin.” Kak Ryuji berkomentar setelah beberapa saat terdiam. “Jika seorang pemuda diajak makan oleh seorang gadis cantik, bukankah hal-hal seperti itu bisa terjadi?” Dia menyeringai dengan lebar.
“Huh?”
Aku dan Yuna menjawab dengan respons yang sama karena bingung. Hanya saja jantungku kali ini berdegup kencang, atau hanya diriku yang seperti ini?
Tangan Kak Ryuji terlihat sedang merogoh sesuatu di saku celananya. Terlebih dari itu, ekspresinya pun sangat menjijikan. “Kalian tahu? ... maksudku, sesuatu seperti—“
“Jangan keluarkan itu, Ryuji! Mereka masih belum dewasa, kau tahu?” Aku tidak tahu apa yang Kak Aina lakukan, tetapi suatu getaran yang menggelegar baru saja menjalar dari bawah meja.
Air mata Kak Ryuji lambat laun berjatuhan, serta kedua tangannya dimasukkan ke dalam meja, seperti sedang memegang sesuatu. Tidak lama kepalanya ikut tertunduk.
“Itu edukasi di zaman modern, Aina, tidakkah kau mengerti itu?” Suara pria besar itu melemah, seperti serpihan kayu kecil yang rapuh.
“Memang itu artinya apa?” Yuna berkata dengan polos, sambil memiringkan kepalanya dengan pandangan terheran-heran. Untuk itu, aku dan Kak Aina saling menatap satu sama lain beberapa kali, secara bersamaan.
Konsep atau pun pemikiran kami kali ini pasti sama, berhubungan dengan yang macam-macam pastinya.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan tentang itu, Yuna.” Kak Aina berusaha memblokade kemungkinan dari keberlanjutan cerita itu dengan tenang.
“Dia benar. Kak Ryuji hanya ingin menjelaskan jika malam ini sangat asyik untuk bepergian ke luar, ya, kan, Kak?” Aku menatap pria besar itu, meski di dalam hati masih terdapat perasaan was-was. Beberapa tetesan keringatku meluncur dengan anggun dari sudut-sudut kepala.
Semoga kepolosan Yuna tetap terus membodohinya, aku berharap itu.
“Tidak, Hiro ....” Karena kepala Kak Ryuji menempel sepenuhnya di meja itu, aku jadi tidak bisa melihat ekspresinya. “... maksudku, kau bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dari makan malam, seperti berhu—“
Sikuan tajam seketika dilayangkan oleh Kak Aina tepat ke Kak Ryuji. Dia melakukannya dengan tanpa perasaan, dan aku bisa melihat tatapan kebenciannya yang kini menggebu-gebu.
“Ouch, Aina, aku mohon hentikan.” Wajah Kak Ryuji memelas.
“Sudah kubilang, jangan terlalu berlebihan dalam berkata-kata, sia*lan! Kau bisa merusak Rating G yang sudah kita rencanakan sebelumnya.” Kak Aina berteriak, membuat seisi kedai menatap meja kami, seperti sorotan terhadap bintang komedi populer.
Suatu kata yang terucap darinya sedikit membuatku penasaran. “Kak Aina,” panggilku.
“Ya, sayang?” Seperti biasa, jawabannya yang terkesan blak-blakan patut diacungi empat jempol ( termasuk yang ada di kaki ).
“Apa maksudnya Rating G itu?”
“Kau tidak tahu?”
“Kalau aku tahu, ini tidak akan menjadi sebuah pertanyaan, Kak.”
Mungkin yang terbenak di kepala Kak Aina kali ini adalah, Oh iya, ya, benar juga. Betapa to*lo*lnya diriku ini. Namun, tidak lama dia kembali menjawab, “Seingatku, itu adalah klasifikasi yang dibuat saat seseorang hendak menonton film. Biasanya ada film yang boleh ditonton untuk semua kalangan, ada yang untuk anak-anak, juga di atas tujuh belas tahun, lalu yang ada adegan—“
“Jangan memberitahu itu pada mereka, Aina!” Suara Kak Ryuji kembali menyala. Kukira dia sudah pingsan pasca kejadian tadi.
“Mereka sudah pantas untuk mendengarnya, Ryuji, kau itu seperti anak kecil saja.” Kak Aina mengelus kepala pria besar itu dengan sangat lembut, dan suaranya pun turut berubah manja.
“Kau yang sebelumnya bilang untuk tidak mengatakannya, Aina,” gumam Kak Ryuji.
“Um, baiklah. Sepertinya ....” Yuna mendongak ke atas. Tidak lama dia—“Lebih baik aku akan melupakannya saja!" sahutnya riang, sedangkan tatapan gadis itu terpaku pada sup miso panas yang telah dia pesan.
Untuk sesaat, Aku dan Kak Aina menghela napas lega. Berbeda dengan Kak Ryuji yang tetap bertahan pada posisi malangnya.
Ya, aku harap dia bisa belajar dari pengalaman itu, sekiranya.
⠀
⠀
Ketika momen yang terasa seperti kencan ganda telah berakhir, kami berempat kembali berdiri di luar kedai, sembari menatap beberapa pengunjung yang masuk dan keluar dari pintu kaca otomatis.
Tidak jarang suara seperti [ Selamat datang di Kedai Masako, habiskan makananmu sebelum pulang, atau Terima kasih karena telah menikmati makanan kami, semoga hari kalian menyenangkan. ] terdengar secara bergantian untuk beberapa kali.
“Terima kasih atas makan malamnya, Kak, aku sangat senang.” Ketika Yuna membungkuk, aku bisa melihat beberapa helai rambutnya yang menggantung dari balik tudungnya.
Kak Aina berdesis, lalu mengerutkan dahinya dengan tatapan tidak percaya. “Kau sama seperti Hiro, Yuna.”
“Ada yang salah?” Yuna kembali bangkit, sambil membenarkan sebagian kecil dari rambutnya yang terurai keluar.
Kak Aina tersenyum tipis. “Tidak, kau hanya mengingatkanku dengan cerita Morikawa saat dia berbincang dengan Hiro.”
"Eh, aku?"
Setelah mengatakan itu, Kak Aina melingkarkan tangannya di bahu Kak Ryuji. Akan tetapi, entah kenapa tatapan pasangan itu terlalu sensual, dan ini tidak baik untuk dilihat. Aku berusaha membuang wajahku, meski kumparan magnet itu kerap kali menariknya.
“Morikawa?” Yuna bertanya sambil menelengkan lehernya.
“Ya, dia adalah ketua di organisasi kami.” Kak Ryuji mengulurkan tangannya ke depan, seperti memberi penjelasan.
Wah gawat nih; jangan sampai lanjut, pikirku.
Kekhawatiranku memuncak jika rasa ingin tahu Yuna semakin menjadi-jadi, dan jika gadis ini masuk dalam lautan penasaran, situasinya pasti akan berubah buruk.
“Jadi begitu, ya ....” Yuna tersenyum manis kala meresponsnya, membuat hati dan pikiranku kembali cerah.
Tidak lama, Kak Ryuji menggenggam tangan Yuna. Pandangannya lantas berbinar-binar, sedikit mengacaukanku. “Tapi kau adalah gadis yang cantik. Di masa depan kau pasti akan beruntung.”
Ketika dia membelai tangan gadis tersebut, rasanya aku ingin bergerak dan berkata, "Hei, lepaskan itu, kau sudah memiliki orang lain; jadi jangan coba-coba dekati dia lagi." tetapi hal demikian tidaklah pantas terucap dari lisanku.
Sejauh ini, otakku lambat laun memanas, seperti bunyi peluit ketel air yang mendidih.
“Tunggu sebentar, apa kau sakit, Yuna? Tanganmu dingin sekali—tidak, ini sangat ....” Pujian pria besar itu berubah menjadi cemas.
“Uh!” Yuna seperti tersentak. “Ya, maaf tidak mengatakan itu kepada kalian sebelumnya, aku hanya ingin menerima ajakan Kak Aina, soalnya.” Senyumnya menipis, walau ada sesuatu yang dia sembunyikan.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments