...Bab 18...
...—Aku Harus Merahasiakannya—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Ini yang ke tujuh kalinya di kota ini aku melihat langit kembali bertabur bintang.
"Lelahnya berjalan ke tempat Kak Aina, lalu ke markasnya." Aku mengangkat jari-jariku untuk menghitung banyaknya peristiwa yang telah terjadi hari ini. "Kemudian pergi ke stasiun untuk mengantar Yuna, dan kembali lagi ke restoran; hariku semakin berwarna saja." Setelah selesai, aku mendaratkan badanku di atas kasur yang empuk.
Beberapa detik kemudian, aku kembali memikirkan Pak Fujima. Dia sekarang berada di bawah sambil melayani beberapa pengunjung yang datang. Entah bagaimana, tetapi jika diizinkan, aku ingin melakukan banyak hal lagi untuk pria itu.
"Padahal aku masih ingin membantunya." Mataku secara refleks teralihkan pada jendela kamar yang sedikit terbuka. "Dia benar-benar pria yang baik. Sifatnya sama sepertimu, Keira," bisikku sambil berdiri.
Di lantai tiga restoran terdapat tiga buah kamar. Kamar yang berada tepat di depan tangga berputar adalah milik Pak Fujima, sedangkan kamarku berada di sebelahnya. Satu kamar lagi saat ini tidak dihuni oleh siapa pun, dan sepertinya itu sudah dijadikan gudang.
"Selain itu ...." Aku kembali mengingat percakapanku dengan Kak Aina.
Saat itu Yuna sedang pergi ke toilet, dan aku tidak tahu kenapa Kak Aina hanya ingin membicarakan hal tersebut padaku saja.
"Oh, Hiro. Kau sudah tahu tentang organisasi kami?" tanyanya, tetapi baru kali ini aku melihat ekspresinya yang begitu serius.
"Sepertinya belum," jawabku ringkas.
"Tidak mungkin. Bukankah dia sudah memberitahumu?"
"Awalnya iya, tapi kenyataannya tidak begitu. Mungkin dia lupa."
"Si pikun itu ...." Kak Aina menggelengkan kepala dan menempelkan jarinya di dahi.
"Memangnya ada apa, Kak Aina?" tanyaku, sedikit penasaran.
"Aku hanya ingin memperjelasnya, sih ...." Kak Aina menarik napasnya, kemudian mengangkat kedua jarinya dengan pose V. "Kami adalah Organisasi Anti Gadis Pengendali Angin, atau bisa disingkat OAGPA!" Dia terlihat gembira saat mengatakan itu.
Aku sedikit terkejut. Namun, untung saja aku masih bisa menahannya. "Anti gadis pengendali angin? Artinya ...."
"Eh?" Kak Aina ikut tersentak setelah diriku.
"Kenapa Kakak juga kaget gitu?" tanyaku.
"Kau sudah mengetahui legenda tentang gadis itu?"
Waktu itu, aku ingat janjiku pada Yuna. Maka darinya aku akan meredam pengetahuanku, seolah-olah informasi itu hanya berasal dari segulung koran yang dulu pernah Ketua Morikawa berikan.
"Tidak banyak sih, aku pernah melihat ceritanya saja. Itu sangat singkat," terangku. "Ya, tapi, aku jadi penasaran."
"Tentang itu?"
"Ya, untuk apa organisasi ini didirikan?"
Kak Aina mendongak, terlihat seperti sedang berpikir. Namun, tidak lama dia kembali kepadaku.
"Jika merujuk dari apa yang Ketua Suguha katakan, gadis atau wanita pengendali angin itu adalah pembawa musibah yang nyata bagi dunia ini. Jadi, untuk menghindari hal tersebut, kami bertekad untuk menjaga kedamaian kota ini darinya. Atau dengan kata lain, mengusirnya jika dia ada di sini."
Itu adalah tanda yang jelas sekaligus peringatan yang buruk bagi Yuna. Namun, daripada terus-menerus memikirkannya, sekarang diriku membuka jendela kamar, sembari menikmati kesejukan udara malam yang berhembus dengan damai.
"Pembawa musibah yang nyata? Aku sama sekali tidak mengerti," gumamku sambil mengulang-ngulang kalimat itu beberapa kali.
Aku juga tidak bisa menyimpulkannya dengan cepat.
Kak Aina juga mengetahui hal demikian dari Ketua Morikawa, dan berarti itu tentu saja belum bisa dipastikan. Hanya saja sekarang aku berteman dengan gadis itu. Aku juga telah mengetahui kebenarannya, serta tidak akan menganggapnya sebagai ancaman untuk saat ini.
Melihat dari sudut pandang lainnya, aku juga harus menjaga identitas organisasi ini dari Yuna. Mungkin saja gadis itu akan bersedih setelah mengetahui jika dirinya dibenci oleh orang-orang ini.
⠀
⠀
Seperti biasa, di pagi hari tanpa pelanggan, aku mengelap beberapa meja makan yang terletak di beberapa titik restoran. Mungkin kemarin aku kurang teliti, tetapi di sana masih ada beberapa bekas noda makanan yang tertinggal.
Ini akan buruk jika Pak Fujima melihatnya.
"Ya! Sudah selesai!" Aku menjatuhkan kain lap itu ke dalam ember berisi air di bawah lantai. Beruntungnya kain itu masuk dengan akurat.
"Kau bangun pagi sekali, Sato." Pak Fujima memanggilku. Dia berjalan dari pintu masuk restoran bersama dengan sepasang tas keranjang yang ada pada kedua tangannya.
Dengan sigap aku mengelap keringatku, kemudian merapikan rambutku yang sedikit berantakan.
"Saya kira anda masih tidur, Pak Fujima, haha," guyonku sambil mencoba menggodanya.
"Kau yakin?"
"Huh?"
Pak Fujima menyeringai dengan lebar. "Dengar anak muda, aku ini belum tidur lho."
"Eh? Tapi, ah ...." Benar juga; itu bisa saja terjadi. Aku lupa restorannya buka 24 Jam, jadi tidak tidur di malam hari itu pasti sudah jadi hal yang lumrah baginya, pikirku.
Sepertinya sekarang aku yang terkena getahnya. "... ah, begitu, toh," kataku dengan gugup, menahan malu.
Pak Fujima lantas tersenyum dan berkata, "Ngomong-ngomong, bisa tolong bawakan ini ke dapur?" Pria itu mengulurkan salah satu tas keranjangnya padaku.
Aku mengangguk sigap. "Tentu saja, apa ini untuk ...."
"Benar, keperluan dapur!" sahutnya, sambil meninju udara. "Aku membeli kentang, ubi, buncis, selada, keju, timun, kerang ...."
Kali ini, aku bisa melihat semangatnya kembali bergelora, seperti seorang pemuda.
⠀
⠀
Saat ini dapur terasa seperti berjalan di gurun pasir, lengkap dengan sorot matahari yang tajam.
Ini berbeda jauh dari perkiraanku ( seperti hari-hari biasanya ), tetapi sekarang aku sangat berkeringat. Mungkin setelah jam makan siang nanti aku akan segera mengganti pakaianku.
"Kau kenapa, Sato?" Pak Fujima tiba-tiba berdiri di sebelahku.
"O–oh, aku hanya—rasanya musim panas kali ini semakin menyengat, ya?" tanyaku sambil tergelak.
Pak Fujima terlihat mencengkeram bagian atas celemeknya, kemudian menarik dan mendorongnya beberapa kali agar udara bisa masuk. "Benar, dan karena kau mengingatkannya, ini seolah menjadi sugesti bagiku."
Tidak lama, terdengar suara Ting Nung dari bagian luar dapur. Sebenarnya itu adalah bel yang terpasang di setiap meja makan restoran ini, agar para pengunjung bisa memesan makanan atau membuat permintaan lainnya.
"Wah, ada pelanggan. Kalau begitu tolong potong buncisnya ya, Sato." Kemudian dia berlari menuju pintu keluar dapur, dengan langkah tergesa-gesa.
"Baik, Pak!" seruku, dengan semangat yang sama.
Aku lantas mendekati meja tempat Pak Fujima untuk memotong sayuran tersebut. Di sana ada talenan, sebuah pisau, dan tentu saja seikat buncis yang bertengger sebagai bahan utamanya.
"Jika cuma ini, pastinya akan sangat mudah." Aku melebarkan senyum, dengan rasa percaya diri tinggi.
⠀
⠀
"Hari ini pelanggan kita sepertinya semakin meningkat ya, Sato?" Ini pertama kalinya bagiku melihat pak Fujima melepaskan celemek putihnya.
"Apa anda ingin pergi ke suatu tempat?" tanyaku, sambil mengangkat beberapa plastik daging untuk dimasukkan kembali ke dalam kulkas.
Pak Fujima menempelkan telunjuknya di bawah mulut. "Ya, seperti makan malam," katanya.
"Dengan istri anda?"
"Tidak, ini untuk ulang tahun anakku." Pak Fujima tersenyum, lalu melepas topi kokinya secara perlahan.
"Oh, aku kira ...." Ternyata dugaanku salah. "Lalu anak anda, selama ini, maksudku di sini ... aku belum pernah melihatnya."
"Dia tinggal bersama dengan Ibuku. Aku meminta dia untuk merawatnya."
"Eh ...." Pandanganku terbelalak, tepat setelah melihat senyum Pak Fujima yang perlahan menipis.
Tunggu, apa sesuatu telah terjadi pada keluarganya? pikirku dalam hati.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments