...Bab 16...
...—Kembali Ke Tempat Itu—...
...( Hiro Sato )...
...———...
“Maafkan aku, tapi tidak bisakah kau membuka tudung jaketmu?” kata Kak Aina. “Itu pasti tidak nyaman saat dirimu lagi makan, bukan?”
Yuna kemudian meletakkan sendoknya. Meski begitu, ekspresinya tampak sedikit gelisah. “Ah, aku ...,” tuturnya dengan suara rendah.
Selama ini gadis itu hanya menampakkan seluruh wajahnya padaku, tepat saat kami berada di atas langit gedung beberapa waktu yang lalu. Selebihnya, tudung itu setia menutupinya dari waktu ke waktu.
“Sebenarnya yang Kak Aina katakan itu benar, Yuna,” terangku sambil mengelap sisa makanan yang hinggap di ujung mulutku dengan tisu. “Kau bisa membukanya di sini. Lagi pula, sekarang hanya ada kita bertiga, kan?” Walau aku sudah mengatakannya, tetapi sekarang malah Yuna tertunduk.
“Ku–kurasa tidak masalah ....” Perlahan-lahan Yuna membuka tudungnya. Di saat yang bersamaan, rambut putih panjangnya menjulur dengan elok, dan wangi sampo yang khas darinya kembali tercium. Itu membuatku tersedak.
"Woah, kau cantik sekali," puji Kak Aina.
"Te–terima kasih banyak."
"Wow ...." Satu kata itu refleks keluar dari lisanku.
“Kau kenapa, Hiro?” Yuna meletakkan tangannya di bahuku. Secara simultan pipiku pun berubah merah.
“Tidak, tidak, tidak; aku baik-baik saja, sungguh!” seruku.
Andai dia tidak segera melepaskan tangannya dariku, mungkin ini akan membuatku terbang dengan mode mabuk ke puncak langit.
“Itulah pria, mereka memang lemah jika dihadapkan dengan pesona gadis manis sepertimu. Aku pasti benar, kan, Hi–ro?” Suara Kak Aina benar-benar mirip dengan salah seorang tokoh di bar yang sedang menggoda beberapa pria hidung belang untuk mendapat permainannya.
Konsepnya sama dan terencana dengan baik.
“Kau tidak berpikiran kotor kan, Kak Aina?” tanyaku dengan datar, sedikit terpicu olehnya.
“Hmm, aku tidak mengerti.” Yuna tampak kebingungan.
Syukurlah jika dia tidak mengerti itu.
“Abaikan saja,” kata Kak Aina, kemudian dia melirik Yuna. “Tapi ngomong-ngomong, kita belum berkenalan.” Matanya berbinar-binar saat berbicara dengan gadis tersebut, seperti permata yang berkilauan.
Untuk beberapa waktu Yuna terdiam. Namun, tidak lama dia kembali tersenyum. “Ya, aku Yuna,” jawabnya pelan.
“Kalau begitu aku Aina, senang berjumpa denganmu.” Wanita itu ikut tersenyum lebar. Akan tetapi, tiba-tiba pandangannya kembali tertuju padaku. “Kalau mau jujur, nih. Sekarang aku jadi kesal padamu, lho, Hiro."
Yiik, apa dia masih marah padaku? tanyaku dalam hati, dan juga senyumku turut bergulir karena takut.
“Kau temannya, kan?” Karena tatapan Kak Aina yang mengerikan, aku memutuskan untuk melihat tongkat hitam mengilapnya saja yang menggantung setia di sabuk rok wanita tersebut.
“Ya, benar." Lisanku lambat laun bergetar.
Dari sudut mata Kak Aina, aku bisa melihat kebencian yang amat nyata. “Apa yang kau lihat, breng*sek?” Ternyata dia mencurigai mataku—ini tidak sesuai dugaannya.
Aku harus segera meluruskan ini.
“Aku tidak melihat yang itu, sumpah!” teriakku, sedang cucuran keringat mulai meluncur dengan luwes dari keningku. Ini terasa sedikit geli.
“Ya, ya, pria memang akan seperti itu, kembali lagi ke konsep utamanya.” Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Kak Aina katakan sejak tadi. “Nah, Yuna, sekarang aku ingin bertanya padamu.” Dia kembali tersenyum dan menatap Yuna.
Yuna mengangguk seraya menjawab, “Hmm?”
Aku tidak menyangka jika responnya yang singkat bisa sedingin itu.
“Aku sering memerhatikan orang-orang yang ada di kota ini, tapi sepertinya kau orang baru, ya?” tanya Kak Aina.
Wajah Yuna lantas berseri-seri. “Benar, aku baru satu minggu tinggal di kota ini.”
Yuna juga baru di sini? Tapi rasanya dia sudah menguasai jalanan yang ada di kota ini, pikirku.
Hal ini terjadi karena dua hari yang lalu Pak Fujima sempat memintaku untuk berbelanja ke salah satu swalayan besar. Namun, karena aku masih belum mengetahui lebih banyak tentang Kota Satsumi, jadinya pun aku meminta bantuan pada Yuna untuk menemaniku pergi ke tempat tersebut. Beruntung saja semuanya berjalan dengan mulus, bahkan waktu itu, aku merasa jika kami seperti sedang melakukan kencan singkat, meski itu hanya sebatas khayalan dalam rekaman otakku.
“Ini sebuah keberuntungan, tidak salah lagi!” seru Kak Aina. Matanya memelototi kami, dan itu sangat tajam.
“Huh?” Aku dan Yuna, kami terkejut secara bersamaan setelah mendengarnya.
Sepertinya ini tidak akan menjadi baik.
⠀
⠀
“Hiro?” Ini yang keempat kalinya Yuna memanggil namaku. Sejak kami berada di tempat ini, bola mata Yuna tak pernah berhenti berputar-putar menatap sekitarnya.
Mungkin ini yang bisa disebut dengan pembiasaan diri.
“Ada apa lagi, Yuna?” tanyaku.
Raut gadis itu berubah suram. “Tempat ini lebih seperti ....” Aku yakin dia sedang berpikir oh tidak, kakiku baru saja menginjak sampah; sangat menjijikkan.
Andai dia benar-benar mengatakannya, aku pasti akan mengangguk.
“Ya, aku tahu.” Aku menurunkan mataku, berusaha memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini. Namun, bagaimanapun juga, inilah yang sekarang bisa aku katakan. “Bersabarlah, Yuna. Dulu aku juga kaget saat pertama kali datang ke sini.”
Tumpukan krat bir sedang berkumpul ria memenuhi sudut ruangan; lampu gantung menampakkan kesan remang-remang ( sepertinya harus diganti ), dan juga suara gelas yang dibenturkan dengan gelas lainnya. Di tempat yang terlihat seperti aula utama tersebut, puluhan dari orang-orang organisasi berkostum polisi gadungan tersebut tampak sedang berhimpun di sini, sedangkan sisanya mungkin sedang berpatroli di luar sana.
Tidak habis pikir bila aku akan kembali lagi kemari, sangat disayangkan.
Aku mendengar suara Kak Aina di belakang kami, tidak jauh. “Maaf telah membuat kalian lama menunggu, teman-teman.”
“Oh, dia datang juga,” ucapku sambil memutar badan, begitu pula dengan Yuna.
Di sebelah Kak Aina terdapat seorang pria kurus kering dengan behelnya yang masih sanggup bertahan di tempat suram ini. Kalau tidak salah, namanya adalah Suzuki Hiroto? seingatku.
“Ah, tempat Kakak bagus sekali, ya, aku jadi merasa tersanjung berada di sini.” Yuna tersenyum manis, tetapi satu hal yang paling tidak kusangka dari dirinya adalah: tidak hanya tentang penampilan, bahkan sarkasnya pun tak kalah hebat, pikirku dalam-dalam.
Wanita yang sepertinya salah satu dari petinggi organisasi kepolisian embel-embel ini terbahak-bahak, aroma wine nya sontak menyegat kuat di hidungku. “Terima kasih, kami sangat tersanjung, bukan begitu, Suzuki?” tanyanya sambil menyiku behel itu.
Saat Suzuki menghela napas, itu seperti menunjukkan keterpaksaannya ketika dibawa ke sini. “Aku tidak punya banyak waktu, kalian ingin diramal, kan? Ayo ikut aku.”
“Sejak kapan aku—“
“Aku tidak pernah—“
Aku dan Yuna menolak perkataannya di waktu yang bersamaan. Kak Aina sama sekali tidak memberitahukan hal ini. Oleh karenanya, kejadian itu pun lantas membuat kami menatap wanita itu lagi.
“Kami tidak pernah meminta hal itu, Kak Aina,” jelasku sambil meninju udara.
Di sini aku yang berbuat banyak, melakukan aksi protes untuk mendapat klarifikasi darinya. Akan tetapi, Yuna malah sibuk dengan gawainya, seperti sedang bermain gim.
“Sudahlah kalian ini, ayo ikut saja.” Kak Aina berjalan sambil menarik tanganku dan tangan Yuna dengan keras, lebih seperti berniat untuk menyeret jika kami tidak mengikuti kemauannya.
⠀
⠀
Pada akhirnya kami terlihat seperti sepasang tikus yang terperangkap di ruangan yang lebih redup daripada aula utama. Aku berharap bisa menulis wasiat terakhirku dan mengirimkannya pada Pak Fujima, karena mungkin saja aku tidak akan pernah kembali lagi ke restoran itu.
Kami duduk dan saling berhadapan secara berpasangan di antara meja kayu setinggi satu kaki. Selain itu, sudah pasti bisa ditebak siapa makhluk hidup yang berada di sebelah Kak Suzuki, aku sedang malas mengatakan namanya.
Kak Suzuki menyeringai dengan lebar. “Hehe, aku akan memulainya.”
“Cepatlah dimulai; aku ingin pulang sekarang juga,” gerutuku karena terpaksa.
“Sama, aku juga mau mandi.” Yuna memegang kedua bahunya, secara bersilangan.
Tanda-tanda yang jelas kalau dia ingin segera minggat dari tempat ini.
Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan, tetapi bola kaca salju yang berada di tengah-tengah meja itu sekarang mulai bersinar terang.
Ramalan itu tidak ada. Ini pasti hanya tipu muslihat mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa kami bayangkan, tidak lebih dari itu.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments