...Bab 15...
...—Awal Dari Perubahan—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Tanganku kali ini sibuk membilas semua piring yang berbusa dengan air keran, dan sepertinya terasa dejavu.
“Cuci semuanya; cuci semua, ayo!” seruku untuk menyemangati diriku sendiri.
Di kota ini, mungkin aku akan menemukan arti kehidupan itu. Entah bagaimana, tetapi firasatku berkata demikian. Membantu Pak Fujima sekarang merupakan titik awal yang harus dicapai, dan membanggakannya pun adalah sebuah keharusan karena sudah mau menerimaku di sini.
Namun, perlu dicatat. Ini bukanlah pekerjaan sungguhan. Jadi akan kujadikan ini sebagai pengalaman, tidak lebih dan tidak kurang.
Pak Fujima kemudian memanggilku. “Hei, Sato.” Suaranya bergema dari belakang.
Setelah menoleh, aku melihatnya berdiri di depan pintu dapur.
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu sebelumnya?” tanyanya sambil mengerutkan kening.
Tu–tunggu sebentar. Apa aku berbuat salah? tanyaku dalam hati. Akan tetapi, rasanya setelah bekerja sejak pagi hingga saat ini, aku yakin tidak menghancurkan apa pun. “Maaf, apa aku melakukan suatu kesalahan?”
Pak Fujima menempelkan tangannya di dahi, kemudian menunduk. “Aku sudah bilang sebelumnya ...,” ungkapnya, dan sedikit demi sedikit pria itu kembali tersenyum. “Jangan memaksakan dirimu, Sato. Kau boleh tinggal di sini tanpa harus bekerja sekeras itu.”
“Ah, tidak-tidak." Aku menolak gagasannya dengan halus.
Soalnya, aku ini bukan model pemuda yang hanya bermalas-malasan saat seseorang telah berbuat baik kepadanya, karena itu sangat bertentangan dengan tujuanku. “Aku sama sekali tidak memaksakan diri. Ini malah semakin membuatku bersemangat."
Setelah mendengarnya, Pak Fujima tetap menyunggingkan senyum. Tidak lama dia kembali pergi serta menutup pintu dapur itu.
Aku menghela napas untuk menumbuhkan rasa lega. “Ternyata itu, toh. Aku kira karena salah atau sesuatu.”
⠀
⠀
Beberapa saat telah berlalu. Akhirnya, semua piring itu telah kembali pada almari piring yang terbuat dari jati cokelat; tempat seharusnya mereka berada.
“Lelah sekali, tapi itu tidak masalah bagiku!” Aku mengusap keringat di leherku dengan sapu tangan.
Kali ini, ngomong-ngomong aku mengikuti gerakan Pak Fujima, seperti yang dia lakukan saat di taman beberapa hari yang lalu.
Selain itu, karena semua pekerjaanku telah beres, maka aku bergerak menuju Pak Fujima untuk memberitahunya.
“Aku sudah selesai di sana, Pak Fujima.”
“Oh, cepat sekali." Dia tampak terkejut. “Butuh waktu dua puluh menit bagiku untuk mencuci semuanya. Tapi kau, yah ... jiwa pemuda memang sedang membara setiap saat.” Pak Fujima tertawa, lalu dia berjalan menuju kulkas tiga pintu selebar sembilan puluh sentimeter, kira-kira.
“Hmm, yang mana, ya ....” Pak Fujima bergumam. Sepertinya dia hendak mengambil sesuatu, tetapi barangnya bersembunyi di suatu sisi.
Baiklah, aku akan membantunya sebagai langkah awal lanjutan.
“Apa ada sesuatu yang sedang anda cari?” tanyaku sambil bergerak mendekatinya.
“Ya, kurasa ....” Pak Fujima meletakkan telunjuknya di bibir, seperti sedang berpikir. “Aku membutuhkan buncis, tapi aku lupa di mana meletakkannya,” katanya.
"Hmm, baiklah." Netraku mulai menyortir satu demi satu tingkatan yang terlihat di dalam kulkas tersebut. Selain itu, ada banyak uap es yang keluar dari mesin pendingin tersebut.
“Kulkas ini besar sekali. Aku heran kenapa dulu dia membeli kulkas seperti ini.” Pak Fujima kemudian kembali memfokuskan pandangannya pada setiap sisi yang bisa terlihat di kulkas, atau lebih tepatnya itu untuk kami berdua.
Ah, itu dia, pikirku. Ternyata buncis itu terselip di antara bungkusan daging ( mungkin daging ayam ) dan beberapa kemasan sarden yang masih terbungkus rapi di area bawah kulkas. Hanya saja buncis itu sedikit menjorok ke dalam, jadi wajar saja kalau Pak Fujima kesulitan untuk menemukannya.
“Yang anda cari ada di sana, Pak Fujima.” Aku berjongkok, lalu mencondongkan sedikit badanku untuk meraihnya. “Sedikit lagi ... dan ....” Butuh waktu sepuluh detik untuk kerja keras itu, dan akhirnya aku berhasil mendapatkan buncisnya. “Ini dia, pesanan anda.” Setelah berdiri, aku menjulurkan buncis itu pada Pak Fujima.
Pria itu pun tampak terlihat sangat senang.
“Terima kasih karena sudah membantuku, Sato. Sekarang aku jadi bisa melanjutkan tugasku,” katanya, lalu Pak Fujima kembali pada talenannya bersama dengan seikat buncis segar tersebut.
Setidaknya, setelah empat hari di sini, ada orang yang menganggapku berguna, pikirku.
Senang sekali rasanya bisa membantu seseorang lagi. Sepertinya hari-hari ini akan menjadi lebih panjang—dan juga menyenangkan.
⠀
⠀
Dari hari ke hari, jumlah pelanggan yang berkunjung ke restoran kami pun kian semakin bertambah. Tempat ini juga sudah lebih terlihat hidup. Tidak seperti saat aku memakan ramen itu beberapa waktu yang lalu.
Meski ini adalah awal dari sisi positifnya, tetapi sekarang aku harus kembali pada pekerjaanku dan berhenti untuk terpana dalam jangka waktu yang berlebihan. Sekarang tiba saatnya untuk membersihkan setiap meja makan yang kotor setelah pelanggan tersebut pergi.
“Ini sangat mudah, aku semakin terbiasa dengan pekerjaan ini," gumamku.
“Huh, lapar sekali. Makan siang di sini sepertinya layak,” teriak seorang wanita. Suaranya sedikit serak, seperti baru bangun tidur seraya membuka pintu restoran tersebut.
Saat aku menajamkan pandanganku, seseorang yang berdiri di sana lantas membuatku terkejut. Wanita itu adalah—“Kak Aina?” Seragam polisi gadungan itu telah membuktikan eksistensinya.
“Hah ...! Siapa yang berani memanggilku?” Saat Kak Aina mengangkat kepalanya, wajahnya pun terlihat garang. “Eh? Kau, kan ....” Dia tersentak, tepat setelah kami saling bertatapan.
"Ya, Kak?"
"Ya, kau, kan ...."
“Maaf, tapi bisa tolong untuk tidak menghalangi jalan? Sebenarnya aku juga ingin makan di sini,” ucap seorang gadis lagi. Ia berada di belakang Kak Aina.
Namun, kali ini aku tahu siapa orang itu.
“Huh—Yuna?” Mataku melebar drastis. Kedatangan mereka berdua secara bersamaan benar-benar berada di luar dugaanku. Selain itu, diriku juga saat ini sangat berantakan dengan semua noda yang hinggap memenuhi pakaianku.
“Kau mengenalnya?” tanya Kak Aina berwajah datar, sambil menuding Yuna dengan jempolnya.
“Iya,” jawabku.
“Begitu, ya, kalau aku sih tidak.” Setelah semua itu, aku mengira jika Kak Aina juga sudah mengenal Yuna. Ini sedikit membuat batinku bersabar, terlebih sekarang wanita itu berjalan ke arahku.
“Ngomong-ngomong apa kau tidak lupa sesuatu, huh?” Tiba-tiba dia merenggut kerah bajuku, lalu memelototiku dengan tatapan penuh kebencian—atau hawa-hawa kedengkian seperti sedang berlabuh di sekitar area kami berdiri.
Meski begitu, pandanganku tetap terpaku pada Yuna. Dia masih berdiri di depan pintu, seolah-olah diriku mengabaikan semua musibah yang berada di depan saat ini. Sekarang barulah aku kembali menatap Kak Aina. "Maaf ... tapi kenapa—"
“Bisa-bisanya kau tidak membangunkanku saat kau ingin pergi dari markas kami; itu sangat bertentangan dengan aturan organisasi, kau tahu?” Cengkeramannya semakin kuat, dan sekarang aku tahu jika kakiku sudah tidak menginjak daratan lagi. Sedikit melayang ke atas.
Aku ingat sekarang. Saat pergi dari sana, aku memang tidak membangunkan Kak Aina mau pun si besar itu. Karena ketika mereka tidur di atas meja waktu itu memang terlihat sangat nyenyak. Tentu saja, aku tidak ingin membangunkan mimpi indah keduanya, tetapi aku tidak tahu jika situasinya akan seburuk ini, dan juga, aku bukan salah satu dari kalian, kenapa kalian menyuruhku mematuhi peraturan kalian! Kecaman untuknya bergema di hatiku.
“Karena kalian sedang terlelap, jadi aku tidak mau mengganggu.“ Aku berusaha menjelaskan situasinya.
“Huft, hari ini aku sudah mendengar omong kosong terlalu banyak.” Suara Kak Aina kembali memelan, sambil melepas cengkeramannya dari kerah bajuku. “Jika kau membangunkanku sebelumnya, aku pasti tidak akan marah,” tambahnya sambil menghela napas.
Mungkin Kak Aina benar. Aku seharusnya berpamitan dulu dengannya sebelum pergi kala itu. Maka dari itu aku berusaha mencairkan situasinya seraya berkata, “Tapi karena sekarang Kakak sudah di sini, bagaimana jika kita makan siang bersama?” tawarku.
“Kurasa itu pilihan yang tepat!” Suaranya tiba-tiba berubah semangat.
Setelah itu Yuna datang mendekati kami. “Aku setuju, ayo makan bersama,” katanya sambil tergelak senyum.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments