...Bab 14...
...—Pemuda Di Luar Batas—...
...( Hiro Sato )...
...———...
“Anu, begini, Pak Fujima,” ucapku sambil menyeruput ramen tersebut.
“Ya?”
Sejak aku makan di meja ini, dia ikut duduk bersamaku. Kami berseberangan dan hanya dipisahkan meja bundar berisi double ramen ini.
“Apa tidak ada pekerjaan lain yang anda lakukan? Seperti memasak, atau ....”
Pak Fujima lantas menyeringai. “Kau ingin mengatakan sesuatu, bukan? Sejak tadi, lebih tepatnya.”
Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Maksudku, tidak mungkin dia melihatku tadi, pikirku terheran-heran.
“Uhm, aku, tidak ....” Sendok yang kupegang mulai bergetar, ini gawat.
“Saat sebelum aku masuk ke dapur, ponselku tertinggal di mesin kasir. Jadi, ya ... aku kembali untuk mengambilnya, dan tidak sengaja aku mendengarmu mengatakan sesuatu seperti siapkan pidato dan mentalmu, Hiro, kira-kira begitu,” jelasnya.
Untuk apa dia membawa ponsel ke dapur, coba?
Akan tetapi, selain itu pun Pak Fujima telah memperagakan bagaimana caraku mendongak tadi. Ekspresi wajahnya pun akurat.
“Kira-kira pidato itu ditujukan untuk siapa, Sato?” tambahnya lagi. Kali ini aku seperti dipojokkan di sudut gawang.
“Aku ... aku ....” Keringatku bercucuran, beberapa di antaranya nyaris mendarat di atas ramen panas itu. “... ada yang ingin kubicarakan denganmu, Pak Fujima.” Setelah mengakuinya, pandanganku tertunduk.
Pemilik restoran itu lantas tertawa untuk beberapa saat, kemudian tidak lama berhenti. “Ada apa? Sepertinya sangat serius.”
“Aku butuh pekerjaan.”
“Di sini?”
“Ya, aku datang ... untuk itu, salah satunya.”
Saat aku mengangkat kepalaku, Pak Fujima mengerutkan dahinya. “Tapi ... kau berumur enam belas tahun. Bagaimana caranya aku menerimamu?”
"Eh?"
"Kau sendiri yang berkata begitu di akhir pembicaraan pas di taman sebelumnya."
Be–benar juga. Dia bisa tahu itu karena perbincangan kami saat di taman itu, sesalku dalam hati.
“Ah, tidak—aku sendiri sebenarnya sudah tujuh belas tahun, mungkin saat itu aku salah dengar, haha." Sudah tiba saatnya untuk mengeluarkan kartu as itu dari dompetku agar dia memercayainya. “Ini dia, jika anda ingin buktinya,” ujarku sambil menyerahkan kartu tanda penduduk palsu itu padanya.
“Eh?” Pak Fujima lantas terbelalak.
“Kenapa? Ada yang salah?”
“Aku hanya terkejut,” ungkapnya seraya mengulurkan kartu pengenal itu lagi padaku. “Apa Kota Narumi semakin buruk sekarang ini?”
“Sepertinya begitu.”
Tidak terlalu terkejut, sih. Hampir semua orang di dunia ini pasti tahu buruknya tinggal di neraka itu.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu keluar dari kota itu?”
Pertanyaannya memicuku untuk terdiam sejenak. Namun, setelah beberapa saat aku berkata, "... itu karena ...."
Pada akhirnya, aku menceritakan sebagian kecil dari rasa sakit itu kepada Pak Fujima. Di samping itu, aku juga akan jujur mengenai umurku yang sebenarnya. Semoga saja dia mau menerimanya, aku berharap banyak.
⠀
⠀
“Kau benar-benar pemuda di luar batas, Sato ...,” kejutnya dengan ekspresi tidak habis pikir.
“Maaf, tapi itu satu-satunya cara agar aku bisa ke luar dari sana.”
Aku sudah tahu. Semua orang yang ada di dunia ini, bahkan teruntuk Pak Fujima sendiri pasti akan kaget setelah mendengar fakta tentang pelarianku yang bermodalkan nekat.
Alasannya cukup sederhana. Kota itu setiap waktu dijaga ketat oleh ratusan petugas keamanan.
“Jadi kau sebenarnya masih ....”
“Enam belas tahun.” Aku menghela napas. Setidaknya kejujuran itu jauh membuatku lebih lega. “Tapi, apa aku boleh bekerja di sini? Aku akan melakukan apa saja,” pintaku, seraya membungkuk di hadapannya.
“Kota ini tidak mengizinkan seorang pemilik usaha untuk mempekerjakan seseorang yang berusia di bawah tujuh belas tahun. Sayang sekali, tapi maafkan aku.” Pak Fujima mengangkat badanku, sambil tersenyum.
“Anda benar,” jawabku dengan lesu.
Rasa kecewa itu tentu saja ada. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk tetap hidup selain dengan bekerja. Akan tetapi, faktor umur ini terkadang memang sangat menghambat.
Sekarang, mungkin satu-satunya cara adalah kembali lagi ke kota busuk itu dan bertemu lagi dengan Keira. Hanya saja, itu tidak akan pernah terjadi, gumamku dalam hati.
Jika Pak Fujima saja sudah menolakku, maka mereka semua yang ada di kota ini juga pasti akan melakukan hal yang sama. Andai saja diriku kaya, maka hal seperti ini pasti tidak akan terjadi. Namun, bagaimana pun caranya, sejauh apa pun aku berpikir, atau seberapa banyak kota yang aku datangi, semua itu akan berakhir dengan kata-kata yang sama; selama aku berkata jujur.
Ini terkadang menyakitkan, tetapi aku memang tidak pandai dalam berbohong.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan ke depannya?” Dia bertanya lagi. Namun, pikiranku sekarang berada dalam kehampaan, tidak tahu lagi harus berkata apa.
“Mungkin akan pergi dari sini dan menyambangi kota lain, seperti biasa.” Aku mulai berdiri, kemudian berjalan dengan ransel berat itu menuju pintu restoran untuk keluar. “Terima kasih sebelumnya, Pak Fujima.” Kulambaikan tanganku padanya sebagai bentuk perpisahan.
Saat aku hendak menyentuh gagang pintu itu, Pak Fujima berteriak, “Aku punya ide, Sato.”
Aku menoleh, berusaha mengemas semua rasa cemasku dalam senyuman. “Ada apa, Pak Fujima?”
"Ada yang ingin kutanyakan tapi sebelumnya." Pemilik restoran itu berjalan menghampiriku.
“Apa kau sekarang sendiri?”
“Ya.”
“Tidak, maksudku ... seperti sudah—”
“Ya, aku benar-benar sendiri sekarang.” Aku merendahkan suaraku.
Ini tentang kedua orang tuaku, dan adik perempuanku yang menggemaskan. Di tempat kelahiranku itu, mereka semua pergi tanpa sepatah kata. Kebahagiaan yang seharusnya berlangsung hingga akhir itu nampaknya harus tertunda, bahkan mungkin yang demikian tersebut tidak akan pernah berlanjut lagi. Tiba-tiba saja pandanganku mulai berkaca-kaca.
“Jika kau mau, aku akan memberikanmu pilihan.”
“Huh?” Aku menarik pandanganku ke atas, sedikit terkejut setelah melihat Pak Fujima kembali menyunggingkan senyumnya.
”Kau bisa memilih untuk berada di luar sana, walau dengan keterpurukan yang tidak bisa aku bayangkan,” katanya. Itu terdengar kejam. “Mungkin saja di lain tempat kau tidak akan selamat, lihat? Luka di pipimu itu saja sudah membuktikannya.” Dia benar lagi. Hal-hal buruk memang sedang terjadi padaku belakangan ini.
“Anda menakutiku..” Aku tertawa tipis, tetapi di balik itu hatiku menangis.
“Atau kau bisa tinggal di sini dan membantuku saja; aku tidak keberatan.”
Aku mendelik, sedikit kaget dibuatnya. “Huh?” Perkataan seperti itu sebelumnya tidak pernah terlintas di kepalaku.
“Aku tetap tidak akan menggajimu seperti seorang karyawan, Sato,” katanya, sambil memegang bahuku. “Tapi aku berjanji akan menjamin hidupmu, karena kau masih harus mendapatkannya.”
“Kenapa anda?” Ini sulit dipercaya, tetapi aku yakin dia baru saja mengatakannya dengan tulus. Aku bisa melihatnya dari ekspresi Pak Fujima.
“Tentu saja, aku tidak bisa membiarkan anak kecil sepertimu bertarung di luar jalanan, karena kemungkinan terbesarnya adalah ....” Dia seperti sedang menahan tawanya. “... kau pasti akan kalah, bukan?”
Awalnya, mulutku menganga setelah mendengar itu. Namun, bagaimanapun juga—“Anda benar, Pak Fujima,” balasku sambil menghela napas.
Aku tidak akan tersinggung, karena fakta itu memang-lah benar. Tentang pria bertato yang kemarin menggangguku saja sudah sangat menakutkan, dan saat itu aku juga hanya bisa melihat kepergiannya tanpa bisa berbuat banyak.
Terkadang pun aku merasa jika diriku seperti anak kecil yang persianya berada di atas pohon tadi siang, lucu sekali.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments