...Bab 13...
...—Peluang Untuk Bertahan—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Baiklah, aku sudah memikirkannya.
Sebelum berpisah dengan Yuna di stasiun, aku memutuskan untuk melamar pekerjaan di Restoran Pak Fujima. Sepertinya beliau tidak memiliki satu karyawan pun, dan ini akan menjadi peluang besar.
Akan tetapi, sekarang aku menghadapi masalah terberatku. Untuk seorang pemuda berumur enam belas tahun, tentu saja sulit bagiku untuk menanyakan jalan kepada penduduk kota.
“Hmm ... begini, Tuan ... aku ingin ....”
Berbicara normal ketika seseorang memulai pembicaraannya denganku akan sangat mudah, tetapi itu akan berbeda jika sebaliknya.
“Bisa cepat katakan apa maumu? Aku sedang ada jadwal rapat yang berlangsung delapan menit lagi.” Pria berjas dengan koper hitam itu menatap arlojinya dengah wajah kesal. “Kau akan menghilangkan uang-uang yang berharga itu, jadi tolong aku.”
“A–apa anda tahu di mana letak Restoran Pak Fujima?”
Ini pertanyaan yang serius. Aku benar-benar lupa dengan hal itu. Sangat lucu ketika diriku yang baru saja datang ke sana dini hari tadi, atau mungkin karena arah rute perjalanan dari Stasiun Nagisa yang berlawanan-lah yang membuatku buyar.
Tidak lama pria itu menepis dahinya, memasang raut keheranan. “Aku tidak tahu, kumohon menyingkirlah!” Ia meneriakiku, lalu berjalan dengan menyelinap melewatiku tanpa menoleh.
“Baiklah, semoga harimu menyenangkan!” sahutku dengan senyuman, walau hatiku merasa murung.
⠀
⠀
Tidak terasa, tetapi langit cerah telah berganti gelap. Malam dengan bintang-bintang yang indah pun sekarang kembali membumbung tinggi angkasa.
Kepadatan kota yang terjadi di mana-mana seharusnya kembali mereda.
Aku masih tidak menyangka jika beberapa di antara penduduk kota itu masih berpaku pada rutinitas pekerjaannya, dan pria tadi adalah salah satu contoh yang konkret.
Semoga di masa depan nantivaku tidak mendapatkan pekerjaan yang mengorbankan jam istirahatku. Ini akan menjadi pengharapan yang besar.
“Aku akan mencobanya lagi,” kataku, setelah melihat seorang pejalan kaki dengan payung di tangannya.
Ini sedikit membingungkan, padahal kondisi awan malam tidak sedang bergemuruh. Deduksiku mengatakan jika dia mungkin pria yang trauma karena hujan, pikirku.
Kakiku mulai berjalan mendekatinya, kemudian melontarkan pertanyaan yang sama dan sedikit ambigu. “Hmm ... begini, Tuan ... aku ingin ....”
“Ada yang bisa kubantu? Jangan gugup seperti itu; aku bukan monster high dominant class yang akan membantaimu.” Pria itu terlihat asyik. Namun, aku tidak mengetahui maksud dari perkataannya,
“Anu, apa anda tahu Restoran Pak Fujima?” Aku mengabaikannya dan langsung masuk ke pertanyaanku.
“Tentu saja. Aku sering makan di sana. Mau kutunjukkan?” tanyanya dengan berkenan, wajah pria itu tampak seperti ingin memaparkan denah di sepenjuru kota ini.
“Ya!” Aku langsung mengeluarkan sebuah pulpen dan secarik kertas dari saku bajuku, bersamaan, dan bersiap mencatat.
"Oke, dengarkan aku!"
"Ya!"
“Dari tempat kita berdiri, kau hanya perlu berjalan sekitar dua ratus meter ke arah sana.” Tangan pria itu menunjuk lurus ke depan, mataku pun teralihkan padanya. “Lalu lihat deretan taksi yang terparkir di sana? Kau harus berbelok dan terus berjalan.”
“Baik, aku mengerti!” jawabku dengan semangat.
“Setelah berjalan selama kurang lebih lima menit dengan rentang jarak tempuh selama tiga ratus meter, kau akan menemukan kotak pos hitam yang menggantung di depan rumah beratap lebar, sedikit saja—sedikit." Pria itu menggesekkan jempol dan telunjuknya dengan sangat halus seraya tersipit, seperti menekankan informasi yang satu ini. "Dan itu juga dihuni oleh seorang gadis cantik; aku tidak bohong. Ya ampun, dia benar-benar membuatku jatuh hati."
Maaf, nih, apa? aku bergumam dalam hati, karena tanpa sengaja ikut mencatat itu—maksudku, selain dia mengatakan informasi jalan itu dengan sangat rinci, kenapa harus ada curhatan mengenai dirinya juga kali ini?
“Di sana kau bisa melamarnya, tapi aku tidak merekomendasikan hal ini.” Pria ini mulai membuatku muak. “Dia juga sudah tunangan; oh iya. Kau juga harus menyapa seorang pelukis di sana. Kemampuan melukisnya benar-benar sangat ....”
Lama-kelamaan pria itu mulai mengatakan hal-hal yang identik seperti perselingkuhan dan sakit hati. Ini sudah bukan tentang alamat yang ingin aku ketahui atau bagaimana caranya agar bisa kembali ke restoran Pak Fujima.
Oleh karenanya, sekarang aku akan mendengar apa yang menurutku berguna, lalu membuang semua omong kosong itu jauh-jauh ke lautan.
⠀
⠀
“Akhirnya tiba juga.” sahutku lega.
Sesuai dengan perkataan pria yang melampaui batas barusan, sekarang itu kembali membuatku berdiri di depan pintu restoran, berpose seperti orang yang melakukan penghormatan di acara pentas seni yang memukau.
Kemudian aku mendorong pintu restoran dengan sikuku; masuk dengan tenang melewatinya.
"Ah, ini ...." Kesejukan udara berputar dengan ramah dan mengisi bagian dalam ruangan. Pak Fujima terlihat sedang berdiri di belakang mesin kasir, lengkap dengan senyum hangatnya.
“Selamat malam.” Aku berjalan untuk mendatanginya. Suara pintu restoran yang kembali menutup pun terdengar halus.
“Oh, Sato, bagaimana kabarmu?” sapa Pak Fujima.
“Tidak terlalu buruk, tapi aku ingin pesan ramen lagi sekarang.”
Pak Fujima terbahak-bahak. "Haha, berapa yang kau inginkan?” Dia bertanya sambil melipat kedua tangannya.
“Satu saja.”
“Bagaimana dengan dua? Itu pasti akan mengenyangkan.”
Aku menginginkannya, tetapi aku tetap harus bijak dengan pengeluaranku. “Ya, ah ... aku—“
“Yang itu gratis. Kau hanya perlu membayar yang satunya saja,” kata Pak Fujima, sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Apa anda yakin?” Aku takut jika kebaikannya akan membuat restoran Pak Fujima lebih cepat—bangkrut—tutup.
“Duduk saja di sana dan tunggu pesanannya.” Pak Fujima tersenyum, kemudian dia memutar badannya.
“Wanginya ....” Ketika dia membuka pintu dapurnya, aroma dari bumbu dapur yang menguar harum membuatku terlena. Kali ini aku membayangkan nikmatnya ramen panas yang akan disajikan di atas meja bundar itu nanti. Air liur pun mulai berjatuhan dari sudut bibirku yang lapar.
Setelah Pak Fujima menghilang, aku kembali membuka ponselku. “Siapkan pidato dan mentalmu, Hiro!” tegasku sambil mendongak.
Rupanya, langit-langit atap dilapisi dengan kain tirai berwarna merah, dengan dua set lampu gantung yang dipasang secara simetris dan menjorok ke bagian depan restoran. Aku kembali menatap gawaiku.
Catatannya ... banyak sekali catatanku, pikirku. Jariku bergerak naik dan turun, meluncur dengan lihai, mencari *f*ile dari narasi yang harus kukatakan padanya. Aku harus menghafalkan teks lamaran pekerjaan yang akan digunakan untuk berbicara dengan Pak Fujima, atau nanti aku akan gugup lagi.
Ini dia! batinku berpesta ria—akhirnya terlihat juga.
Waktunya masih banyak—berdasarkan cara pikirku. Butuh sekitar tiga menit sebelum Pak Fujima kembali keluar dan menyajikan ramen itu. Oleh karenanya, sekarang aku mengatur napasku, kemudian membaca Sehubungan dengan adanya penerimaan karyawan di perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin, saya bermaksud untuk mengajukan surat lamaran kerja agar dapat diterima bekerja di tempat yang Bapak/Ibu pimpin sebagai ....
“Tidak mungkin, ini ....” Setelah mengulang kembali bacaan itu dalam hati, aku tersadar akan sesuatu.
Tulisan ini lebih cocok dijadikan sebagai surat saat seseorang hendak melamar pekerjaan. Ini tentu saja mengacaukanku, terlebih setelah mendengar suara pintu yang perlahan terbuka. Di sini aku berharap sesuatu yang terbuka itu berasal dari bagian depan restoran. Namun, ternyata suara itu datangnya dari arah dapur.
Jadi, baiklah. Mulai dari sini aku akan berimprovisasi, sesuai yang diajarkan di sekolahku dulu.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
DamnJo
:(
2022-04-16
0
lysaa
gk boleh kerja di bwh umr 16 thn😔,
2022-04-16
0