...Bab 9...
...—Suaramu Terputus—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Berjalan dari perempatan jalan menuju Stasiun Kirina kira-kira membutuhkan waktu sekitar tiga puluh lima menit.
Sebelumnya, aku juga meminta penjual es krim tersebut untuk memindahkan es krimnya ke dalam kemasan box.
Sejujurnya ini membuatku terlihat seperti orang yang tidak bersyukur, tetapi lega rasanya saat dia tetap mengabulkan permintaanku yang terkesan rakus tersebut.
Ya, semoga penjual es krim itu tidak terpaksa karenanya.
⠀
⠀
“Sebentar lagi, uang ini akan ....” Jari-jari tanganku dengan lihai menghitung sisa uang pemberian Ketua Morikawa.
Sebelumnya wanita itu memberikanku 5000 Yen sebagai pegangan, dan sekarang hanya tersisa separuhnya.
Gadis itu pun sebelumnya memintaku untuk menunggunya di salah satu gedung yang terdapat di Distrik Alkina, dan saat ini posisiku berada di Distrik Nagisa.
Sejauh yang kutahu, butuh sekitar sepuluh kilometer dari sini untuk sampai ke sana dengan menggunakan Kereta api. Beberapa masyarakat berkata jika kereta api di sini sangatlah cepat ( memiliki kecepatan maksimum hingga 350 Kilometer per jam ).
Akan tetapi, bukan itu hal yang harus ditakutkan. Masalah sebenarnya adalah mengenai kekhawatiranku saat berhadapan dengan mesin tiket otomatis ini.
“Semoga ini tidak langsung membuatku bangkrut,” gumamku.
Aku melelan ludah keras-keras, waktu telunjuk ini menekan tarif keberangkatannya. Begitu nominal tampil dengan transisi vertikal untuk setiap digit, angka-angka tersebut menunjukkan 200 Yen dengan teks tebal yang tegas.
"Waah!" Wajah berseri-seri kembali menyorotku; aku dengan percaya dirinya memasukkan uang sesuai dengan notifikasi yang tertera ke dalam slot pembayaran khusus kertas.
Tidak perlu waktu lama, tiket itu keluar dari lubang lainnya.
“Syukurlah, perjalananku tidak jadi berakhir di sini!” seruku, sambil menghela napas.
⠀
⠀
Di dalam gerbong kereta, tempat duduk ganda beralaskan alas bantal yang empuk ditempatkan untuk saling berhadapan satu sama lain. Pendingin udara kereta sepertinya diatur mencapai suhu terendahnya, dan aku berpikir untuk kembali menggunakan jaket kulit itu lagi.
“Tidak seperti kereta api pada umumnya, yang satu ini memang sangat cepat,” pujiku.
Dari balik kaca berembun gerbong kereta yang lebar, aku bisa melihat banyaknya bangunan dengan berbagai ketinggian. Gedung-gedung yang terpajang seolah-olah menghilang dengan cepat, mirip seperti kilat pembuka badai saat gradasi angkasa melukiskan warna kelabu.
Lain daripada itu, baterai pada ponselku juga tersisa satu batang—notifikasi merah dengan ikon tanda seru besar mulai mengancam lebar-lebar.
"Jika ia mati, maka aku akan benar-benar sendiri."
Tiba-tiba, sebuah dering panggilan kembali terdengar. Aku hendak melihat nama kontak yang baru saja meneleponku.
Ketika mengetahuinya, aku sedikit terkejut. "Eh, Keira? Ya, itu ...."
Sebenarnya aku berharap jika panggilan itu datang dari seseorang yang ingin mempekerjakanku ( jika tertarik ), atau sesuatu yang bisa membuatku tetap hidup. Namun, tak disangka jika itu datang darinya, dan jika harus berterus terang, aku sangat malas untuk mengangkatnya kali ini.
Hanya saja, jariku kemudian refleks menggeser ikon telepon itu. “Ini baru satu hari sejak kau meneleponku kemarin, Keira,” gerutuku.
“Jangan galak-galak gitu, sob. Lagi pula, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu.” Aku bisa mendengar suaranya yang seperti sedang menahan tawa.
“Apa?”
“Masih kuat berkelana?” Setelah mengatakan itu, dia terbahak-bahak dengan bebas.
Aku menahan jawabanku; mencoba tenang dan memotivasi diri sendiri agar sanggup bersabar dengan satu-satunya sahabatku ini.
Hingga tanpa kusadari, kereta yang kunaiki sekarang bergerak masuk menyusuri terowongan. Di dalamnya sangat gelap, hanya terlihat lampu-lampu kecil yang menempel di dinding pekat yang lembab. Untuk itu, aku tidak bisa melihat siapa pun kecuali layar ponsel yang bercahaya, dan aku bisa memanfaatkan momen ini dengan alasan klasik.
“Suaramu terputus ... maaf ... aku tidak ... mendengarmu, Keira—ya, jadi ....” Bip.
Pembicaraan kami selesai setelah aku mengakhiri panggilannya dengan sekali klik.
Itu adalah skenario terbaiknya.
Tidak lama, gemerlap pemandangan kembali terlihat. Kilauan cahaya bersinar dan memantul di banyak sisi; lautan sejauh mata memandang hadir di bagian kiri gerbong, serta arus ombak bergerak halus dan perlahan datang mendekati tepian pantai.
“Indah sekali." Tanpa sadar aku sudah berdiri dari bangku kereta.
Aku terpukau dengan semua panorama ini.
Akan tetapi, tidak lama suara Ting Nung mulai terdengar.
Suara keresek dari pengeras suara yang terpasang di bagian atas pintu gerbong pun turut mengambil ancang-ancang sebelum bersuara. Sepertinya itu adalah pemberitahuan yang akan disampaikan setiap kereta api saat ia tiba pada rute pemberhentiannya.
”Terima kasih karena sudah bersedia menggunakan pelayanan kami. Saat ini, anda telah berada di Stasiun Watanabe, Distrik Alkina. Mohon untuk turun dengan hati-hati dan perhatikan celah peron. Terima kasih kembali atas perhatiannya, dan semoga hari anda menyenangkan.”
Desisan halus terdengar saat kereta api memperlambat lajunya, kemudian berhenti.
Ini sama sekali tidak ada kaitannya, tetapi wajah gadis itu seolah kembali terbayang dalam pikiranku.
Itu wajar saja. Mengingat pertemuan kami semakin dekat.
Aku membuat gerakan seperti yang biasa dilakukan anak kecil, melompat turun dari pintu gerbong otomatis yang telah terbuka.
Di belakangku ada banyak orang yang sedang turun, tetapi aku berada di baris terdepan kali ini, sedikit membuatku bangga.
Selain itu, seorang masinis dari kereta api yang baru saja kunaiki juga turun dari gerbong terdepan, serta masinis lainnya datang dan mendekat. Mereka saling berjabat tangan, lebih seperti rekan sejawat. Satu hal yang mungkin terjadi adalah para masinis itu sedang melakukan pergantian shift kereta, sesuai dengan ketentuan jadwal yang telah diatur.
“Huh?” Sedikit terkejut, tidak—ini lebih dari yang kubayangkan.
Setelah menajamkan pandanganku ( masih dengan berjalan ), aku melihat gadis dengan jaket bertudung yang menutupi kepalanya sedang berdiri di depan pintu putar stasiun.
Rupanya, setelah sekali lagi memerhatikannya dengan saksama, itu benar-benar gadis si pembuat permintaan.
“Aku di sini menunggumu, jadi cepatlah!” teriaknya dengan suara kencang, kemudian sebelah tangannya pun terlihat sedang melambai-lambai ke arahku.
Dia menungguku di sini? heranku dalam hati.
Akan tetapi, aku tidak terlalu memedulikannya.
Maka dari itu aku mempercepat langkahku, agar tidak mengecewakannya.
⠀
⠀
Keadaan siang ini tidak jauh berbeda dengan waktu kemarin. Tentu saja, siapa pun yang bisa melihat tahu itu.
Kami berjalan melewati banyak hal. Tanaman segar tumbuh menghiasi tepi jalan; parit mengalir jernih dengan ikan-ikan yang bergerak tenang; seorang pelukis jalanan sibuk memamerkan kemampuannya di atas kertas tebal bersandar kanvas; toko swalayan dipenuhi orang-orang pemburu kebutuhan pokok. Masih banyak kegiatan yang menghidupkan kota metropolitan ini, kurasa.
Tiba-tiba saja senyumnya memudar. “Hmm, kau terlihat lesu sekali.” Ekspresi gadis itu lantas berubah cemberut.
“Yah, wajar saja,” jawabku sambil memasukkan ponselku ke dalam saku celana. “Perjalanan menuju tempat ini cukup lama.” Tidak—sepertinya aku salah ucap. Sebenarnya, performa atau pun kecepatan kereta api tadi benar-benar di luar perkiraan.
Dia kembali menatapku dari sudut matanya, seperti menuai keraguan. “Aku tidak percaya,” gumamnya.
“Ma–mari kita lupakan itu, hahaha!”
Tidak lama, situasi itu kembali mencair. “Aku setuju denganmu.” Gadis itu merogoh sesuatu di dalam saku jaketnya. “Ini untukmu.”
Ia menawarkan hal yang sama seperti sebelumnya.
Aku sedikit heran, terlebih saat gadis ini masih memilikinya. “Bukankah itu ....”
Ia kemudian melebarkan senyumannya. “Kau lapar, kan?” Gerak-geriknya yang mencurigakan seperti mencoba menggodaku.
Sebenarnya apa yang gadis itu katakan benar. Sekarang dia kembali memberiku kue dorayaki, dan ini sama persis ketika kami berada di halte waktu itu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang mustahil untuk beberapa orang di dunia ini ketahui. Misalnya, kira-kira berapa stok dorayaki yang tersisa di saku jaketnya? pikirku, dan aku harap jawaban itu akan terkuak seiring waktu.
“Apa aku boleh mengambilnya?” pintaku seolah lapar itu sendiri yang baru saja mengucapkannya.
“Dengan senang hati.” Ia mengulurkan kue manis itu ke depan, semakin dekat. Jantungku turut berdegup kencang, tetapi tanganku dengan luwes menerimanya.
“Terima kasih banyak,” ucapku, dengan suara rendah.
Padahal, nantinya jika nanti aku memberikannya box es krim tersebut, skor kami akan imbang dalam hal tolong-menolong.
Namun, entah bagaimana aku merasa kalah lagi setelah menerima ini.
Langkah gadis itu perlahan berhenti, lalu ia kembali menoleh padaku. “Ya, tapi tidak terasa ya. Kita sudah sampai.”
“Benar juga.” Aku mendongak, meratapi sinar mentari yang menghilang, dan menyisakan bayangan gelap yang menaungi area di sekitar kami.
Sebagian dari dataran rendah tertutup oleh tingginya gedung pencakar langit. Selain itu pula, di sinilah seharusnya kami berjumpa.
"Saatnya sudah tiba. Sekarang, kita akan naik ke atap gedung." Gadis itu lantas terkikik.
Sepertinya ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan itu.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments