...Bab 5...
...—Pemberian Kecil—...
...( Hiro Sato )...
...———...
“Eh, apa aku terlalu kasar? Kenapa matamu ....” Ketua Morikawa memelankan suaranya.
“Ti–tidak, aku hanya ....“ Aneh rasanya ketika menyadari air mataku hampir saja keluar. Padahal dengan berterus terang mengenai kondisi finansialku, semua masalah ini pasti akan terselesaikan.
“Ya ampun, sepertinya cara bicaraku memang sangat keras,” kata Ketua Morikawa.
Pemimpin organisasi itu memutar kursi kantornya seperti sesosok model yang sedang melakukan pemotretan, menghadap tembok dengan rambut halusnya yang digerai.
Aku mengucek-ngucek mataku layaknya anak kecil. “Sejujurnya aku tidak punya uang lagi.” Wajahku semakin lesu. “Kumohon, tolong jangan—“
Dengan cepat Ketua Morikawa kembali memutar kursinya. Itu membuatku terkejut, hingga tidak berkedip. “Kau bicara apa, sih? Aku sedang tidak memalakmu," katanya sambil memelototiku.
“Tapi, saat tadi anda bertanya tentang uang itu, aku ... hmm ....”
“Ternyata kau ketakutan karena itu?” Ketua Morikawa terbahak-bahak. “Laki-laki macam apa kau ini? Begitu saja langsung ciut, kau itu—” Dia menepuk kepalaku beberapa kali dengan keras, seperti menggiring bola basket.
Meski terasa sakit, tetapi kali ini aku refleks menahan tangannya, kemudian meletakkannya lagi di meja seraya berkata, “Maaf, tapi bisa izinkan aku pergi?”
“Eh, kenapa buru-buru sekali? Apa kau tidak nyaman di sini?” Tawa wanita itu menghilang, dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Tidak, tidak. Aku hanya merasa tidak enak berlama-lama di sini, sungguh,” ujarku dengan gerogi.
Ini adalah kebohongan pertamaku di kota ini.
Mulut Ketua Morikawa terbuka sedikit, seperti terkejut. “Tu–tunggu sebentar.” Dia menatap arloji perak yang dikenakan di pergelangan tangannya. “Ini jam satu malam, apa kau yakin mau pergi sekarang?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan.
Ketua Morikawa kemudian berdiri. Dia berjalan memutari meja, lalu mencondongkan tubuhnya dengan wajah cemas. Aku bisa melihat seragamnya yang dipenuhi berbagai medali, mirip seorang Jenderal.
Aku tersenyum tipis karenanya. “Ku–kurasa tidak apa-apa. Di luar sana tidak ada siapa-siapa, kan? Lagi pula ini masih pagi.”
“Tentu saja ada! Apa kau tidak tahu?” Ekspresi Ketua Morikawa berubah ketakutan.
“Tidak, kurasa?”
“Benar juga. Kau bukan penduduk sini, dasar pikun—hahaha!” Ketua Morikawa lantas kembali tertawa. Akan tetapi, kali ini nada suaranya yang jahat membuatku bergidik.
Apa berjalan di luar sana saat dini hari seperti ini benar-benar berbahaya?
Selain itu kami sangat dekat. Napasnya terasa begitu hangat saat berhembus melewati telingaku, kemudian mencoba membisikkan sesuatu. “Legenda Gadis Pengendali Angin, kau tahu cerita itu, kan?” tanyanya dengan ujung kalimatnya yang ditekan.
“Aku, baru mendengarnya saat anda mengatakan itu.” Kualihkan pandanganku pada tas ransel di bawah lukisan itu.
“Payah.” Ketua Morikawa mendorongku jatuh dari kursi itu. Seketika rasa denyut mulai melanda bokongku saat usai melakukan pendaratan dadakan di lantai.
“Apa yang anda lakukan? Ini ....”
“Aku kecewa. Kau menghancurkan panggung dramanya.” Ketua Morikawa membuang mukanya sambil terpejam, lalu berjalan mendekati tas ranselku dengan gaya aktris model lawas.
“Ini punyamu, kan?” Wanita itu mengangkat dan mengulurkan tas itu padaku hanya dengan telunjuknya.
Sungguh, ransel itu sangat berat dan aku tahu itu.
“Benar,” ucapku.
Maka aku kembali berdiri. Kedua tanganku berusaha meraihnya, dan tanpa sengaja pandanganku terpaku pada sisi ritsleting yang sedikit terbuka di bagian ruang yang menyimpan semua kebutuhanku. Hanya saja, sekarang aku tidak terlalu memedulikan itu.
“Kami tidak mengambil apa pun. Tapi sekali lagi, apa kau benar-benar ingin pergi sekarang?” Ketua Morikawa berusaha meyakinkanku sekali lagi.
Akan tetapi, tekadku telah berkata lain.
“Tidak apa, anda sangat baik.” Aku membungkukkan diri untuk memberinya hormat. “Terima kasih karena sudah mengizinkanku berada di sini sebelumnya.”
Dia tiba-tiba berdesis, seolah menatap dengan rasa sukar. “... formal sekali kau, Nak.”
⠀
⠀
Nuansa malam yang hening terasa sangat kental.
Rumah yang menjadi tempat perkumpulan organisasi itu ternyata memiliki tiga lantai. Dinding yang terbuat dari beton yang dicat cokelat kayu bercorak alami, jendela yang terbuka di beberapa tempat ( salah satu di antaranya mengeluarkan asap rokok yang begitu tebal ), serta sebuah cerobong asap raksasa berdiri dengan kokoh di puncaknya. Kami berdua sekarang berada di luar.
Ketua Morikawa kembali bertanya, “Apa kau tidak mau masuk ke dalam perkumpulan kami? Jika mau aku akan ....”
“Maafkan aku.” Aku terpejam dengan keras, berusaha menolak permintaannya dengan sebaik mungkin.
Sejak dia mengantarku keluar dari tempat ini, dia sudah menanyakan pertanyaan itu sekitar empat kali. Tentu saja aku tidak mau ternodai dengan silsilah organisasi yang tidak jelas kebenarannya, meski peluang untuk mendapatkan tempat tinggal sekarang juga jelas berada di depan mata.
“Ngomong-ngomong, kau tidak lupa sesuatu?” Ketua Morikawa menyipitkan matanya.
“Sepertinya, tidak.”
“Kau belum mengatakan namamu, dan itu sangat tidak sopan setelah kami mengizinkanmu di sini.” Dia menghela napasnya.
Wajahku memerah, itu seperti kecerobohan yang dilakukan seorang anak kecil karena minim ilmu pengetahuan. “Ah—benar! Maaf, namaku ....” Bagaimana aku bisa melupakan hal sepenting itu? “... aku, Hiro Sato, atau anda bisa memanggilku Hiro secara langsung.”
Ketua Morikawa terdiam sejenak, seperti sedang memproses kalimatku yang berantakan.
“Kalau begitu, aku ada hadiah untukmu. Anggap saja karena kau sudah membantu menyelesaikan pekerjaan kami,” ujarnya, sambil menggaruk kepala.
Ya, pekerjaan itu adalah mencuci piring yang tumpukannya mirip seperti koleksi artefak di museum.
“Apa yang ingin anda berikan?”
Firasatku, tekadku, hatiku, semuanya mengharapkan sesuatu yang bisa digunakan untuk bertahan hidup.
Ketua Morikawa meletakkan sebuah dompet mungil dan segulung koran di kedua tanganku, lalu wajahnya berubah merah. Pemimpin organisasi itu seperti sedang mengucapkan sesuatu seperti terima kasih, tetapi dia mengungkapkannya dengan cara lain.
“Eh, ini ....” Benar saja. Itu sesuai dengan ekspektasiku.
“Kau tidak punya uang, kan?” terangnya, dengan percaya diri. “Gunakan ini seperlunya. Ingat itu, Hiro."
Ketua Morikawa tersenyum dan menelengkan lehernya.
⠀
⠀
Saat ini aku berada di sebuah restoran 24 Jam yang tidak jauh dari tempat organisasi itu.
Sendiri, berada dalam keheningan, sambil menikmati semangkuk ramen panas seharga 900 Yen dan duduk di kursi dengan bantalan empuk yang lembut. Ini sangat memanjakan.
Benar-benar makanan yang berbeda level, pujiku dalam hati.
Aku terus menyeruput mi itu dengan segenap jiwa, sambil mencoba melupakan penderitaan yang telah berlalu. Saat ini pun menatap kilauan lampu-lampu jalan yang menyala dan menampilkan kesan intrinsik terlihat sangat menenangkan.
“Kau mau lagi?” Seseorang menyambar momenku, dan saat aku meliriknya, ternyata benar.
“Tidak, terima kasih," jawabku dengan lembut.
Orang itu adalah pemilik restoran ini. Umurnya mungkin masih 30 Tahun. Ia memiliki janggut yang cukup tebal, bercelemek putih, dan menampakkan paras sebagai seorang koki profesional.
“Kalau begitu, terima kasih sudah datang. Kami jarang sekali kedatangan pelanggan akhir-akhir ini,” ucapnya sambil tersenyum, lalu pria itu kembali menuju tempat kasirnya.
Aku mengangguk sambil membalas senyumnya, dan saat itu pula dirinya membuatku tersadar.
Ternyata tidak hanya aku yang menjalani kehidupan yang berat, ya, pikirku.
Melihat tatapan dari pria itu, ia sepertinya sangat sabar dengan semua ini. Akan tetapi, ada satu hal yang bisa kupelajari darinya. Tersenyum dan tabah adalah kunci untuk menghadapi segala cobaan yang datang di kemudian hari.
Tidak lama, tepat di depan jalan restoran yang sepi, tiba-tiba seorang gadis dengan tudung yang menutupi wajahnya lewat di hadapanku. Pandangannya tertunduk, muram, seolah menunjukkan ada hal berat yang baru saja menimpanya.
“Dia ....” Kujatuhkan sumpit besi itu di atas mangkok ramen, tepat setelah kembali mengingatnya.
Gadis itu, mengenai suhu udara yang terasa berbeda saat aku melewatinya kemarin membuat rasa penasaranku kembali bangkit.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
CB
lanjuttttt. keren bgtttt. vibes jepang dan fantasi nya dapet wehhh. sukaaa😭
2022-04-01
1
CB
ahhhh gemoyyy😭
2022-04-01
0
CB
Strong girlll
2022-04-01
0