...Bab 3...
...—Berlari Dari Kesalahan—...
...( Hiro Sato )...
...———...
Aku menoleh ke belakang untuk menghadapi orang itu, kemudian berniat menjelaskan situasi rumit yang membuatku hampir kesulitan untuk berpikir.
“Ma–maaf, tapi aku—“ Suaraku terhenti setelah melihat rupa wanita itu.
Ia mengenakan topi dengan bintang perunggu tengah-tengahnya. Seragam biru tua beratribut lencana aneh yang menempel serta berkilauan di sana sini, dan dugaanku semakin kuat setelah melihat tongkat hitam mengilap sedang menggantung di sabuk pinggangnya.
“Kau akan memiliki masalah sekarang juga. Jadi ....” Wanita itu—sepertinya seorang polisi—membuatku bergidik.
Untuk itu, aku mencoba berpikir keras tentang pelarian apa yang biasa dilakukan oleh seorang aktor dalam film laga.
Aku menarik napasku kuat-kuat, lalu berteriak, “Tidak!” Ini memang gila, tetapi aku langsung menarik pandanganku darinya, kemudian berlari dengan semua yang kumiliki.
“Hei, tunggu dulu—berhenti!” Polisi itu dengan lantang meneriakiku.
Sepertinya jika dilihat-lihat, ia hanya bertugas untuk keperluan lalu lintas. Namun, bagaimanapun juga, orang itu pun punya hak untuk menangkapku, atau mungkin tidak. Tiang itu tampak sama sekali tidak terluka, dan seharusnya aku tidak perlu sepanik ini, kan?
“Lari, ya? Tapi, ke mana?” Napasku mulai tidak beraturan; aku terus berlari dan menatap lurus ke depan, tidak peduli dengannya.
Di depan sana terlihat banyak orang yang berjalan melewatiku, tetapi dengan cerobohnya aku menabrak mereka semua tanpa ragu. Suara-suara yang memuakkan itu mulai terngiang, bergema seperti festival konser dadakan.
“Hai sia*lan, pakai matamu!”
“Kau menjatuhkan rotiku! Aku sudah mengantrenya sejak lama, kau tahu?”
“Kalau tidak bisa melihat jangan lari, bocah tol*ol!” Teriakan terakhir dari seorang gadis sekolah menengah itu cukup membuatku tahu.
Kota ini terlalu keras untuk dihuni.
Pelarianku tidak berhenti di trotoar saja. Sampai saat ini, sepertinya aura-aura polisi itu sudah menghilang. itu hanya firasatku. Namun, aku hendak memastikan situasinya dengan menoleh.
"...!" Pandanganku seketika terbelalak. “Si–sial, aku salah.”
Tongkat hitam itu; ia masih berlari memburuku.
Selain itu, aku bisa melihat pergerakan aneh di tangannya—sebuah protofon—yang sepertinya digunakan untuk memanggil bala bantuan.
“Dia—ah, bakal makin buruk, nih!” seruku dengan nafas terengah-engah.
Ini artinya jelas. Aku baru saja melamar pekerjaan sebagai buronan di kota ini.
Siulan peluit mengiang-ngiang dari belakang, menimbulkan gema nyaring yang memekakkan telingaku. Kali ini, dia pasti memintaku untuk berhenti. Akan tetapi, aku tidak akan menyerahkan diriku begitu saja karena kasus yang konyol, dan aku pastikan itu tidak akan menjadi kenyataan.
"Aku harus kabur secepat mungkin!" Setelah beberapa saat berkelana di banyak kota, akhirnya keringatku kembali tumpah dengan deras. Ini jauh lebih melelahkan daripada menunggu kenyataan yang tidak pernah datang.
Sebelumnya di salah satu kota lain yang pernah kudatangi, aku ditangkap oleh satuan polisi dengan kasus menendang tanaman di depan rumah seorang kakek. Pria tua itu terus saja memeloroti uangku, dan saat aku membalasnya dengan tendangan pot, tanpa sadar polisi berada tepat di belakangku. Tentu saja setelah kakek tua itu bermain dengan modus playing victimnya, aku sama tidak bisa melawan. Akan tetapi, untung saja para polisi di sana hanya memberiku pengarahan agar tidak melakukan itu lagi.
Akan tetapi, tidak kusangka jika hal yang sama terjadi lagi.
Lampu penyeberangan lantas bertukar merah. Aku menyeberangi jalan dan tidak memerhatikan arus lalu lintas kendaraan yang padat. Sekarang kututup telingaku dengan telapak tangan, bersiap mengabaikan semua ocehan klakson yang bergema tersebut.
"Huff, huff, huff, aku lelah sekali. Tekanan ini!" seruku.
Saat ini derap langkahku kembali berlari di lintas trotoar yang berbeda dan sepi. Aku mempercepat pelarianku untuk menghindari kejarannya.
Dia tidak tahu kapan harus menyerah, pikirku.
Di saat yang bersamaan, di depan ujung trotoar yang akan berbelok, ada sejumlah tanaman hias yang berdiri berjajar di tepi jalan, beragam varian, dan sangat mencolok.
Hanya saja, bukan itu permasalahan utamanya. Akan tetapi—
"Hehe, mau lari ke mana kau, Nak?" seru seorang pria berbadan besar. orang ini mengenakan seragam yang sama dengan wanita itu. Ini menjadi lebih buruk lagi ketika dia keluar dan mengagetkanku dari balik tanaman hias itu, ditemani dengan senyumnya yang menyeringai.
"Ah—Hiro, bagaimana ini? Tidak mungkin berbelok." Aku mengusap keringat di dahiku dengan lengan tangan.
Saking derasnya, mereka semua berjatuhan tak keruan.
Semua strategi pelarian matang dadakan yang sudah kupersiapkan dengan baik telah pergi. Namun, ketika aku kembali memikirkan solusinya dalam-dalam, sesuatu yang aneh pun terjadi.
Eh? Suhunya? Kenapa udara di sini terasa berbeda? tanyaku heran dalam hati.
Semua itu terjadi saat diriku berpas-pasan dengan seorang gadis yang sedang terduduk di bangku jalan.
Tidak mungkin salah. Matahari pasti masih bersinar di atas sana. Teriknya bahkan sejak tadi hampir saja membakar kulitku. Namun, arus udara yang begitu dingin darinya terasa sangat nyata, dan jarak kami bahkan hanya berkisar setengah meter, bahkan kurang.
"Gadis itu? Ini semua karenanya?" gumamku.
Kubuang semua rasa cemas itu, tidak memedulikan lagi apa yang sedang menghalangi di depan. Saat ini, pandanganku sepenuhnya teralihkan padanya.
Gadis itu termenung, seolah berputus asa dengan kehidupan keji yang disajikan dunia ini. Selain itu, ia juga mengenakan jaket dengan tudung yang menutupi wajahnya.
Ini bercanda, kan? Suhunya benar-benar dingin saat berada di dekatnya, dan panas kembali menerjang tatkala langkahku sudah menjauh dari gadis tersebut.
Sederet pertanyaan beruntun masuk ke dalam kepalaku, tetapi tidak ada satu pun darinya yang berhasil terjawab. Ini logika yang tidak bisa kusandingkan dengan ilmu-ilmu terapan yang tersebar luas di lautan dunia ini.
Hanya saja, tidak lama darinya, aku—
Brak!
Karena tidak melihat ke depan, aku menabrak polisi besar itu hingga membuatku terjatuh. Pada akhirnya aku jatuh tertelungkup di atas trotoar yang menyengat, panas, dan penuh dengan bau langkah sepatu.
“Jadi ini akhirnya, ya?” Pandanganku mulai samar-samar, tetapi aku kerap mengacuhkan ocehan si besar itu. Tidak tahu kenapa, hanya saja aku sangat penasaran dengan gadis itu. Padahal situasinya sedang tidak mendukung untuk saat ini.
Kupertahankan kesadaranku sekuat mungkin karena gadis itu lantas memandangiku.
Saat dia hendak berdiri dan mendekat, kesadaranku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
⠀
⠀
Sepertinya aku pingsan untuk waktu yang cukup lama.
Terdengar suara keramaian yang mendekat; bersulang dengan bangga. Terompet dibunyikan seolah-olah perayaan besar sedang terjadi. Jika harus disimpulkan dengan kata-kata, aku tidak tahu di mana diriku berada kali ini.
"Di mana aku?"
Gelap kerap mengintai di mana-mana, dan mataku seperti tertutup sesuatu.
"Akhirnya kau sadar juga, Nak." Suara itu, ia pasti polisi wanita yang tadi mengejarku.
Benar, benar!
Tidak salah lagi.
Satu-satunya hal yang tersirat di wajahku adalah penyesalan. "Apa aku akan diinterogasi?"
“Ke–kenapa berpikiran begitu?”
“Karena saya di kantor polisi, kan?” tanyaku, sambil mencondongkan badan. “Tolong lepaskan saya; saya menyesal karena sudah memukul tiang itu.”
"Huh?" Wanita itu nampak terheran-heran dengan pernyataanku.
"Eh?"
"Intinya ... kau lari karena itu?" Aku bisa mendengar tawa jahatnya. Jantungku saat ini melompat-lompat karena takut.
Aku berusaha menyelaraskan situasinya. “Bukan, saya hanya—“
“Tenang saja, Nak. Ini tidak seburuk yang kau kira.” Wanita itu merendahkan suaranya. “Aku atau pria yang kau tabrak tadi itu bukan polisi sungguhan.”
"Eh ...!" Aku menganga, meratapi penyesalanku setelah lari seperti orang gila di tengah-tengah lajur kota yang padat.
“Lalu, lalu, kenapa kalian mengejarku? Aku yakin tiang itu tidak rusak, dan ini bukan salahku!”
“Heh? Justru itu. Kami baru saja ingin menolongmu.” Kali ini si pria besar yang mengajakku berbicara. Suaranya cukup berat. "Selain itu, aku merasa bersalah karena sudah membuatmu menabrakku. Ya, meski itu tidak sepenuhnya salahku, sih."
Satu hal yang ingin aku katakan adalah, “Tapi, bisa tolong lepaskan penutup mata ini? Aku ingin ....” pintaku.
“Baiklah.” Tawa wanita itu memudar.
Aku bisa merasakannya. Saat ini dia sedang berdiri dan berjalan di belakangku. Tangannya pun sibuk melepas penutup mata itu.
"Ah, ini ...." Saat cahaya lampu menyambut terang, lambat laun aku bisa melihat banyak hal.
Di sekelilingku, orang-orang dengan seragam yang sama sedang asyik berbincang satu sama lain di tempat mereka. Meja bar panjang berisikan gelas-gelas alkohol yang bertebaran di sekitar ruangan yang cukup besar, dan banyaknya tisu yang berserakan di bawah lantai kayu yang kotor.
Tempat ini mirip seperti bar yang tidak terawat.
Aku berusaha mengabaikan situasi ini dan mencoba kembali bertanya pada wanita itu.
“Berapa lama aku pingsan?”
Wanita itu tampaknya masih sangat muda, mungkin sekitar dua puluh tahun. Lipstik merah telah membasahi bibirnya yang lembut, dan rambutnya diikat kepang.
Si besar itu pun melingkarkan tangannya di bahuku seraya berkata, “Mungkin, enam atau tujuh jam. Bukan begitu, Aina?” ujarnya, sambil tersenyum lebar.
“Benar. Tapi selain itu, kau juga harus berterima kasih.” Wanita bernama Aina itu berkata dengan nada malas, lalu dia menguap.
“Untuk apa?” tanyaku protes.
Dia lantas menyeringai, sangat lebar, membuatku nyaris ingin sesegera mungkin lari dari tempat ini.
“Kami bisa saja meninggalkanmu di sana. Tapi pria tangguh ini tidak akan membiarkannya. Ya, dia ini memang baik hati, sih.” Kak Aina kemudian memukul kepala si besar itu tanpa ragu.
“Hei, Aina, itu sakit, lho.” Karena geram, si besar itu melepaskan tangannya dari bahuku.
“Nah, sekarang kau harus membantu kami; kalau kau mau keluar dari sini.” Dari sorot mata Kak Aina, dia seperti punya niat buruk.
Aku harap ini akan baik-baik saja. Namun, wajahku mulai menuai cemas.
“Aku ... harus apa?” Meski dia mengatakannya dengan riang, tetapi ini membuatku—
“Pakai ini.” Pria besar itu terbahak-bahak, sambil mengulurkan celemek serta sepasang sarung tangan plastik di atas tanganku.
“Huh?” Raut heran mulai memenuhi diriku.
“Ya, aku pikir kau sudah menduganya.” Kak Aina menepuk-nepuk bahuku dengan keras. Ini terasa sakit, tetapi tetap saja aku masih tidak mengetahui arti dari perkataannya.
“Kamu akan jadi tukang cuci piring kami malam ini,” tambahnya.
Senyumnya pun melebar, seolah menyemangati penderitaanku.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
CB
ohhh okeoke. aku paham. jadi ini flashbacknya Yuna yang baru ketemu pemuda itu yaaa. okeoke
2022-04-01
0
CB
Ngakak😭. Masa iya tiang berdarah2 gitu. Dasar yuna😭
2022-04-01
0