...Bab 2...
...—Langit Biru Di Kota Baru—...
...( Pemuda Yang Mencari Arti Kehidupan )...
...———...
Beberapa waktu yang lalu, aku nekat meninggalkan tempat kelahiranku.
Berkelana mengelilingi delapan belas kota sejauh ini pun cukuplah panjang.
Dari kaca yang terbentang hingga bagian depan kursi sopir, aku duduk di bagian paling belakang bus. Tidak ada alasan yang pasti, tetapi sandaran yang disediakan di tempatku memang yang paling empuk.
Selain itu, aku baru saja tiba. Di sebuah kota yang sama sekali tidak aku ketahui seluk-beluknya.
Perjalanan ini akan kembali dimulai.
⠀
⠀
"Padahal sudah sejauh ini, tapi tenagaku seperti tidak ada habisnya," gumamku dengan percaya diri.
Sebelumnya, tekadku sudah bulat. Sekarang aku ingin mencari tahu sesuatu; tentang arti dari nilai kehidupan yang pernah ibu ceritakan padaku saat kecil. Kala itu, dia mengatakannya dengan riang, sambil mengangkat badanku tinggi-tinggi ke atas langit.
Mengesampingkan itu, persediaan untuk hidup dengan jangka waktu lima sampai delapan hari ke depan ( mungkin ) telah tersimpan rapi di tas ranselku—Sikat gigi dan odol; wafer dan air mineral; koran dan novel; dompet dan sebuah kartu pengenal—yang besar dan cukup berat untuk di bawa ke mana-mana.
Jika berbicara tentang tabungan, itu cukup berat untuk dibahas. Namun, saat ini uang memang diperlukan untuk bertahan hidup. Tidak jarang aku mencoba berdialog pada diriku sendiri.
"Ayo kita cari tahu berapa banyak yang tersisa."
Aku membuka ritsleting yang berada di bagian depan ransel, lalu meraih dompet kecil berwarna cokelat dan mengangkatnya setinggi dada.
Kok perasaanku mulai cemas, ya?
Firasatku berkata jika meletakkannya kembali di dalam tas akan jauh lebih baik— maksudku, bagaimana jika isinya ..., pikirku dalam hati.
Jantungku mulai berdegup tak keruan.
"Tidak ada waktu!" Untuk mengetahui jumlah uang yang tersisa saat ini, satu-satunya cara adalah dengan memberanikan diri membukanya.
"Baiklah, kumpulkan tekadmu Hiro," bisikku.
Sekarang sepasang jariku bergerak membuka ritsleting dompet itu, hingga fakta yang mencengangkan mulai terkuak.
"Sudah kuduga," gumamku sambil menghela napas.
Banyaknya butiran debu tampak telah bersarang di dalamnya. Ini sangat memuakkan, dan aku jatuh pada ekspektasi sendiri.
“Huh, mereka punya kaki?” guyonku sambil mendongak.
Mana mungkin aku menerima kenyataan ini!
Sangat aneh; bagaimana bisa? Apa kemarin ada kesalahan? Aku yakin sudah mencatat pengeluaranku dengan baik; setiap malam, di sudut-sudut halte kota saat aku kembali diturunkan ( walau sepertinya kali ini akan menjadi pagi ). Seharusnya masih ada beberapa lembar uang yang tersisa.
Hanya saja rasa panik tidak akan mengembalikan lembaran yang telah pergi meninggalkan singgasananya.
Bekerja. Cepat atau lambat, aku harus mendapatkannya di kota ini. Aku menguatkan tekad dalam hati.
Ini satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar bisa menggantikan kilauan debu yang hinggap di dompetku.
Tidak lama, bunyi dering yang diikuti getaran menjalar melalui pahaku. Aku sadar. Seseorang jelas sedang mengajukan panggilannya padaku.
"Huh?" Dengan cepat aku merogoh ponsel dari saku jins, menekan tombol hijau, lalu menempelkannya rapat-rapat di sebelah telingaku.
Aku memasang raut murka sambil mengingat kondisi finansial yang mencekik saat ini. “Apa ada yang bisa kubantu? Aku sedang—“
“Hei, Hiro. Apa kabarmu? Sudah lelah jalan-jalan ke negeri orang?”
Itu adalah sindiran pertama sahabatku di kota ini. Nada bicaranya semakin menusuk saat hari demi hari telah berganti, atau mungkin dia berniat menjatuhkan mentalku.
“Dengar, ini peringatan. Jika tidak ada hal penting yang ingin kau katakan, aku akan mengakhiri pembicaraan ini,” balasku sambil berdesis.
“Santai saja, kawan.” Suaranya berubah seperti anak kucing yang hendak meminta makan. “Intinya, apa ada yang salah di sana?”
“Satu-satunya kesalahan adalah saat kau menelepon seseorang yang sedang berpikir keras.”
Itu benar, ini tentang bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup malam ini.
“K**ejam sekali, Sob.” Dia sering memanggilku dengan beberapa sapaan yang berbeda, tetapi mungkin ini hanya perasaanku. “Tapi jika bukan karena aku, kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana. Kau tahu itu, bukan?”
Mataku melebar, sedikit terkejut karena perkataannya benar. “... ya, ini semua memang berkat kau.” Kurendahkan suaraku. “Aku ... ya, sepertinya baik-baik saja di sini; tidak perlu mengkhawatirkanku. Sudah puas?”
“Senangnya, tapi aku bersyukur karena bisa mendengar suaramu lagi. Aku kira kau sudah ditangkap poli—“
“Tolong jangan mendoakan temanmu sendiri dengan hal yang aneh-aneh, Keira!” timpaku dengan berteriak.
Tanpa disadari, semua orang di bus mengalihkan pandangannya kepadaku, dan ini sangat memalukan.
Wajahku mulai memerah. Refleksi sinar matahari pun memantul dari balik kaca tempat aku bersandar.
“Ki–kita bicara lagi nanti. Aku mau turun,” tuturku dengan lemah, sambil menahan malu.
⠀
⠀
Sementara itu, waktu terus berdetik.
Ini sudah dua belas menit sejak aku turun dari bus antar kota itu.
"Huh, dia merepotkan saja." Kubenarkan tali tasku yang hampir merosot.
Untuk sesaat, aku kembali teringat dengan Kota Narumi; tempat kelahiranku.
⠀
⠀
Kota itu memiliki aturan di mana penduduknya hanya diizinkan untuk pergi keluar kota jika mereka telah berusia di tujuh belas tahun. Pemerintah di sana berkata jika itu adalah regulasi yang sudah ditetapkan berdasarkan referendum yang adil.
Tidak hanya demikian.
Wajib militer, kota yang terisolasi dari wilayah mana pun, aturan mutlak dibuat tanpa persetujuan masyarakat dengan konsekuensi yang berat, alasan inilah yang membuatku melarikan diri.
Jika harus berterus terang, tidak ada yang tersisa di sana kecuali kesedihan.
Sebenarnya, waktu itu usiaku masih lima belas tahun ( saat hendak melarikan diri ), dan sekarang telah bertambah satu tahun. Alasan kenapa aku bisa melakukan ini adalah karena Keira. Dia adalah sahabatku yang ahli dalam bidang teknologi, dan dia pun adalah orang yang bersedia membuatkanku identitas palsu—kartu tanda penduduk—untuk mengelabuhi para petugas keamanan yang berjaga di tepi-tepi perbatasan Kota Narumi.
Aku masih ingat. Saat keluar dari wilayah yang mengekang itu, seketika perasan gembira bergetar hebat dan menjalar ke seluruh jiwaku.
Kulangkahkan kaki, kemudian berlari, lalu berkelana dengan bus yang membawaku bergerak menuju kota-kota yang akan memberikan kebahagiaan baru.
Akan tetapi, semua harapan itu tidak seperti dengan yang orang-orang katakan. Pengangguran enam belas tahun sepertiku ternyata sangatlah sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun, hal-hal seperti itu tentu saja tidak akan membuatku menyerah.
"Aku akan pulang setelah menemukannya. Tunggu aku Keira, dan setelah hari itu datang, aku pasti bisa merubah kota itu."
Aku harus mewujudkannya, karena saat itu aku sudah mengambil janji di hadapannya.
Tidak lama perutku mulai bersuara. Itu membuatku teringat dengan sebungkus wafer yang tersimpan di tasku.
Saat aku hendak mengambilnya, lisanku refleks berkata, "Ah, tidak. Itu untuk makan siang." Aku menahan diri, sambil mengalihkan perhatian pada tiang lampu jalan yang berdiri tenang.
"Jangan sekarang!" Bisikan itu kembali menggodaku. Namun, tanpa ragu kedua tanganku spontan memukuli tiang tak bersalah itu demi mengusir rasa lapar yang datang.
Pergilah jauh-jauh! pintaku keras dalam hati.
Seperti merapal mantera sihir, lisanku tidak berhenti bergumam. Kehabisan uang, dan ini adalah kepastian yang membuatku tidak bisa memenuhinya.
Dari sudut jalan, seberang taman, ruko-ruko saling berhimpit, dan semua tempat ketika orang-orang kota bisa melihat apa yang sedang kuperbuat, tetapi aku tidak peduli dengannya. Ini demi—
“Kamu benar-benar merusak fasilitas umum wahai anak muda,” terang suara yang asing.
"Huh!" Karena terkejut, kuhentikan kegilaan itu.
Seseorang jelas sedang berdiri di belakang. Nada suaranya seolah sedang menggodaku, dan mungkin dia adalah seorang wanita karir dengan kepercayaan diri yang tinggi.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
CB
Ealahhh. Yuna teh cowok. Kukira cewek:v
2022-04-01
1