Our Voice
...Prologue...
...—Di Masa Depan, Saat Kami Bertemu Lagi—...
...( Gadis Terkutuk )...
...———...
Saat itu, nuansa pagi di awal musim panas sedang tidak berlangsung baik.
Gemuruh angin yang tidak bersahabat kembali mengguncang kota.
Di rumah Nenek, di kamarnya yang tenang, wanita tua itu terbaring lemas di atas kasur yang kasar, berkemul dengan kain tebal yang menjaga kehangatannya.
“Nenek pasti masih di sini, kan? Bertahanlah, Nek,” tuturku walau rasa cemas itu kian bertambah besar.
Nenek perlahan berbalik dan menatapku. Dia menampakkan senyumnya, tetapi tak seperti biasanya.
“Yuna hebat sekali, ya.” Setelah mengatakannya, Nenek berbatuk kecil. Firasatku semakin buruk.
“Aku sama sekali tidak mengerti maksud, Nenek,” kataku.
“Itu bukan senyum yang Yuna tunjukkan seperti biasanya. Kamu pikir Nenek tidak tahu?”
Aku tertawa, sambil menutup mulutku dengan telapak tangan. “Sama halnya dengan Nenek. Dan juga, Nenek sendiri yang mengajarkanku untuk selalu tersenyum, ingat?”
Untuk sesaat, aku bisa mendengar Nenek menarik napasnya, seperti sesak.
“Yuna, ada yang ingin Nenek tanyakan.”
Aku mengangguk. “... katakan saja, Nek.”
Tidak lama, dari bagian depan rumah, pusaran angin dengan kuat mengguncang seluruh kaca jendela kamar Nenek. Saat tekanan udara yang begitu kuat tersebut masuk melewatinya, itu hampir membuatku terhempas. Namun, gemuruh angin itu tidak berpengaruh pada Nenek.
Wajah Nenek berubah takut. “Apa kamu sudah memutuskannya, Yuna?” Gelombang angin yang pekat itu semakin liar, lalu memorak-porandakan semua hal di sekitar kami. Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan saat ini selain kekacauan.
“Ya, aku sudah memutuskannya,” jawabku.
Aku berusaha bertahan, sambil menggenggam tangan Nenek untuk menenangkannya.
Namun, rasa dingin di tangannya bukan berasal dari udara yang mengamuk di sekitar kami. Aku tidak begitu yakin, tetapi, semoga ini bukan pertanda buruk.
“Maafkan aku, Yuna. Nenek sepertinya baru saja merenggut kebahagiaanmu.” Air mata Nenek meluncur jatuh dan membasahi wajahnya. “Demi dunia ini, tolong gantikan ....” Tatapannya menuding gelang yang terpasang di sebelah tangannya. Tidak lama, mata Nenek kembali menutup.
“Nenek?” Kugenggam lebih erat tangannya; lebih dari yang pernah kulakukan.
Akan tetapi, dingin itu semakin menusuk tajam, dan itu sekarang seolah-olah menyebar melalui tanganku
Mungkin, Nenek pasti hanya sedang beristirahat, mengingat dia sudah terlalu banyak berbicara denganku sejak pagi tadi.
Karena itu, aku kembali mengulangi perkataanku, “Nenek pasti masih di sini, kan?”
Satu, dua, tiga, empat, lima detik berlalu.
Masih tidak ada sahutan.
Kali ini, aku berpikir jika Nenek telah pingsan.
Aku kembali tertawa. “Nenek lemah sekali. Ayolah bangun, Nek ....” Suaraku menyatu dengan deru angin yang berputar di sekeliling kami, seperti paduan suara.
Sebanyak apa pun diriku berusaha, wanita tua itu tetap tidak mau membuka matanya.
Aku terus menggerakkan badannya, semakin kencang. “Tidak, Nenek belum pergi; Nenek pasti hanya lelah.”
Selain itu, sesuatu terjadi padaku.
Sulit untuk dijelaskan. Namun, itu kenyataannya.
Air mataku tiba-tiba saja menggenang, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Untuk sesaat, aura positif seperti lari meninggalkanku. Perlahan-lahan aku berdiri sambil melepas tangan Nenek yang lemas, kemudian menempelkan sepasang jariku di lehernya, memastikan denyut nadi itu masih mengalir.
Mataku melebar, meratapi fakta kejam yang ditunjukkan padaku. “Aku, tidak boleh menangis!”
Kugigit bibirku, berusaha menarik paksa genangan air itu kembali pada tempatnya. Tentu saja, tidak ada hal buruk—aku mencoba lari dari kenyataan—yang terjadi padanya.
Hanya saja itu salah. Sebenarnya Nenek telah mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, dan itu yang baru saja terjadi.
Saat kesedihanku mulai mengalir, tiba-tiba arus tekanan udara di sekitarku berubah.
Gemuruh angin yang melanda di dalam kamar, di luar, dan di sekitar jalanan seketika lenyap. Kata Nenek, saat seorang Wanita atau Gadis Pengendali Angin tiada, maka kekacauan yang berada di sekitarnya pun lenyap.
Ini benar. Sekarang aku percaya kalau itu bukan sekadar mitos belaka.
“Ternyata legenda itu benar-benar ada.”
Oleh karena itu, sekarang aku melepas gelang emas berukiran hati yang terpasang di tangan Nenek, secara lembut. Entah bagaimana, tetapi pemikiranku seolah berkata kalau dia akan bangun jika aku tidak berhati-hati.
Suaraku keluar dalam hati. Aku harap tidak ada sesuatu yang buruk setelah ini. Tekad dan hatiku bersatu; aku mengenakan gelang itu dengan mata terpejam.
“Enam, tujuh, delapan, sembilan ....” Aku menghitung detik demi detik yang terus berjalan, bersiap menghadapi sensasi yang hanya bisa dialami oleh calon gadis pengendali angin, seperti yang diucapkan Nenek.
"Tidak ada yang terjadi?"
Saat netraku tertuju ke bawah, jawaban atas keluh kesahku sebelumnya seolah-olah mulai menunjukkan dirinya. “Aku, tidak—apa ini!”
Sebuah tornado berukuran kecil merambat naik ke atas tubuhku. Aku memerhatikannya, dan mereka berputar memenuhi kakiku.
Seiring waktu, tornado itu membesar dan berhasil menggapai puncak kepalaku. Ti–tidak bisa bergerak, resahku dalam hati.
Hingga pada saat yang bersamaan, aku berakhir seutuhnya dalam pusaran angin pekat yang memabukkan, dan sepertinya tubuh dan jiwaku seperti baru saja direnggut.
⠀
⠀
Gemuruh yang berkecamuk tiba-tiba berakhir.
Kilauan cahaya padam; suara angin lenyap; langit tak bergema—hening; udara dari segala arah datang dan berembus dengan lembut mengitari sudut-sudut wajahku yang bergetar. Aku yakin, dan instingku turut berkata, Sejauh ini nenek benar. Angin itu sepertinya baru saja membawaku ke suatu tempat.
Saat aku membuka mata—hamparan dunia yang luas seolah menanti kedatanganku.
“Huh?” Begitu terkejutnya aku. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. "Aku melayang?
Tidak ada tanda kehidupan matahari. Di tengah langit merah ( entah cahayanya dari mana ) yang membentang luas, tubuhku melayang, serta turun perlahan menuju daratan.
Semua yang terlihat olehku sangat jauh dari akal sehat.
"Ja–jangan! itu ...." Aliran angin bergerak dan melingkar secara halus di kedua kakiku. Itu membuatku tertawa karena geli. Akan tetapi, mereka terlihat seolah-olah sedang menopangnya, menjagaku agar tidak terjatuh.
Angin itu berwarna biru, sejernih lautan yang mengisi dua per tiga dunia yang kami tinggali. Ini tidak seperti yang pernah dikatakan orang-orang waktu di sekolah.
“Tunggu, hei ....” Pandanganku seketika dipaksa—oleh angin yang datang dari atas, dan mereka menundukkan wajahku—untuk menatap titik-titik kecil seperti tanah gersang, hutan layu, danau—sungai keruh yang berada di dasar daratan yang luas. Ini jelas bukan dunia kami, pikirku.
Mustahil. Aku benar-benar melihatnya. Menginjakkan kaki di daratan asing itu kerap membuatku takut, tetapi semuanya sudah terlambat.
Aku telah berpijak di atasnya.
"Ternyata sama kayak tanah di bumi." Karena lega, aku mengelap keringat di wajahku dengan lengan tangan, sambil menghela napas.
Turun dari dasar cakrawala itu adalah momen yang nyata, dan aku bisa bertaruh itu dengan semua yang kumiliki.
Selain itu, bentuk alam ini tidak terurus. Sepertinya, dunia ini sudah lama ditinggal oleh waktu. Mungkin mereka bergerak terlalu cepat.
“Eh, itu!” sahutku karena sedikit cemas.
Dari berbagai sisi yang terlihat, sekelompok pusaran angin itu hendak mengepungku. Mereka melaju dengan kencang, dan semakin dekat.
Wajahku tertunduk, mengingat kawanan angin itu mungkin saja akan mencoba menghempaskanku lagi. Tidak lama kemudian, mereka yang sudah berada di dekatku tiba-tiba berhenti berguncang, kemudian menari dengan tenang.
Ini layak disebut seperti sorak-sorai penyambutan seorang tamu.
Mereka semua ... seperti memiliki jiwa, pikirku.
Kawanan angin itu lantas menyebar dan terpecah. Tekanan udaranya melemah, dan kini mereka menghilang serta meninggalkan sisa-sisa partikel udara yang menyejukkan.
Lama-kelamaan, arus udara ini semakin menyenangkan. Mereka seperti mengajakku berteman. "... ini geli," ucapku sambil tertawa. Mereka menampar halus di wajahku, secara bergantian, dan entah bagaimana aku bisa melihat wujudnya yang nyata.
Tiba-tiba, tekanan udara di sekitarnya kembali menguat.
"Eh? Apa ini?"
Pusaran itu kembali terbentuk, tetapi kali ini mereka tidak menghempaskanku. Jika dipikir-pikir lagi, ini mengingatkanku pada kejadian nenek sebelumnya.
Selanjutnya, mereka kembali mengangkatku dari tanah. Setelah semua yang terjadi, kami terbang bersama melintasi dinding langit senja yang rapuh.
Mereka membawaku lebih tinggi, jauh ke atas untuk mengarungi atmosfer langit. Saat aku berada di gemerlap angkasa yang ujungnya melintang bintang-bintang yang redup, aku seperti melihat sesuatu dari kejauhan.
“Apa yang ada di ujung sana?” Pandanganku terbelalak, seperti bola mataku baru saja dipaksa keluar.
Sebuah topan bergerak mendekatiku—berukuran raksasa, dan menjalar teguh dari inti daratan—seolah berusaha menunjukkan kalau dirinya adalah penguasa dunia ini.
"Aku ...." Mereka ( pusaran angin itu ) semua membawaku dengan paksa, menuju gelombang topan yang mematikan. ... harus melawannya, pikirku sambil mencoba menarik tubuhku ke belakang.
Namun, bagaimana caranya? Ini bukan daratan, melainkan langit.
Sia-sia saja.
Secercah tekad itu menghilang, dan aku pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekarang lapisan luar topan itu berpapasan di hadapanku.
Aku hanya bisa terpejam saat topan itu menyerap tubuhku ke dalamnya, membuatku sepenuhnya terjebak.
Kemudian aku kembali membuka mata, dan semua yang terlihat di sekitarku hanyalah abu-abu pekat. Tidak lebih dan tidak kurang.
"Tidak terhempas? Sungguh?"
Bahkan topan itu juga tidak membuatku terhempas seperti yang seharusnya terjadi. Ia seperti baru saja menakut-nakutiku dengan wujudnya yang besar. Namun, sekali lagi, aku merasa jika topan ini mungkin juga sedang mengajakku berteman.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," gumamku karena bingung.
Tanpa sengaja pandanganku teralihkan pada gelang nenek di pergelangan tanganku, dan itu bersinar dengan terang.
Kuhalau pandanganku dengan tangan, berusaha mengerti dengan kondisi apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Tapi ini sangat hangat, pikirku.
Sesuatu yang aneh seketika terjadi. Rasanya jiwa seseorang baru saja keluar dari gelang itu.
"Aah ...," Aku merintih kesakitan—air mataku kembali menggenang. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan seperti masuk ke dalam pikiranku tanpa jeda.
Ini adalah kenangan tentang penderitaan.
Rentetan siksaan yang kejam dan diasingkan.
Penyesalan dari semua gadis atau wanita yang pernah mendapatkan kutukan ini ( Nenek menyebutnya begitu ).
⠀
⠀
Tidak ada siapa pun yang melihat.
Hanya untuk kali ini saja aku akan melakukannya.
“Sudah cukup!” Karena tidak tahan lagi, akhirnya aku menangis.
Setelah sekian lama, air mata itu kembali berjatuhan. Akan tetapi, ini juga sangat membuatku lega.
Tiba-tiba angin topan raksasa itu menghilang, seakan-akan baru saja lenyap di telan daratan. Kumpulan deru angin yang membawaku ke atas langit pun terlihat setia menunggu di luar, lalu mereka kembali membawaku turun secara perlahan.
Untuk yang kedua kalinya aku melihat daratan dunia ini lagi. Itu adalah fenomena yang membuat hatiku bergetar hebat—menyaksikan perubahan yang signifikan dari sisi kehidupan permukaan alam tersebut.
“Apa aku melihat mimpi?” bantahku.
Daratan gersang yang tadi kulihat tiba-tiba berubah hijau. Semua keindahan yang tidak terbayangkan mulai tumbuh di bawah sana. Tiap sisi permukaan pun diwarnai dengan sempurna dan menawan.
Aku melihat tanah yang subur, hutan yang tumbuh itu pun terlihat seperti baru saja direboisasi. Danau mengalirkan mata air dari tempat-tempat yang tidak bisa terlihat, keindahan itu sekilas membuatku terpana.
Hebat sekali. Rasanya, sekarang diriku menolak untuk kembali ke duniaku sendiri.
"Semoga lain waktu aku bisa ke tempat ini lagi nanti," ucapku dengan tatapan berkaca-kaca.
Akan tetapi, tepat saat kakiku akan berpijak di daratan, pandanganku perlahan buram.
“Huh ....” Alunan angin itu bergema dengan riang, seolah menyenandungkan simfoni yang membuatku terlelap. "... aku ... mengantuk?"
Semakin berat dan tak tertahankan.
Itu seperti perintah yang tidak bisa kulawan. Mau tak mau diriku memang harus terpejam.
Akhirnya kesadaranku menghilang dalam kilasan fatamorgana yang bergelora, dan di tengah takdir kejam yang baru saja memilihku.
Waktu itu aku sama sekali tidak menyadarinya.
⠀
⠀
Itu adalah awal mulanya.
Hari di mana aku menjalin kontrak dengan seluruh angin itu. Demi keselamatan duniaku sendiri, aku rela menerima konsekuensinya, bersedia menggantikan posisi nenek.
Sampai saat ini, mengendalikan kawanan angin yang bergerak di seluruh dunia itu tidaklah semudah yang dipikirkan. Setelah aku berjalan cukup lama dan menanggungnya, kutukan itu perlahan-lahan menyiksa hidupku. Jika harus dikatakan, mungkin ini yang dimaksud nenek, mengenai kekhawatiran yang dia rasakan jika aku terus bertahan menjadi gadis pengendali angin.
Akan tetapi, semua kenangan itu telah berlalu.
Ini sebenarnya benar-benar di luar perencanaanku. Namun, setelah kembali memutuskannya dengan matang, akhirnya aku memilih untuk memercayai pemuda itu, berkat satu kalimat yang pernah dia ucapkan.
Sekarang kami sangat jauh, entah di mana sekarang dia hidup. Namun, aku tidak akan pernah melupakannya.
Aku selalu berharap dan berharap. Tahun-tahun di masa depan terus bergerak tanpa henti.
Setiap hari aku berjalan menuju tempat itu; tempat pertama kali kami saling bercakap-cakap.
Seperti saat ini, sekarang diriku kembali berjalan melintasi separuh jalan yang dipenuhi kesibukan, terus bergerak mendekati halte bus itu.
Aku ingat wajahnya; wajah pemuda itu. Dia duduk termenung di sana dengan perut kosong, dan aku memberinya dorayaki untuk menyenangkan hatinya.
Oleh karena itu, aku percaya.
Di masa depan, saat kami bertemu lagi, suaraku dan suara pemuda itu—suara kami pasti akan bergema menghiasi angkasa lagi, jauh dan jauh, mencapai sesuatu yang belum pernah kami ketahui, serta berbagi perasaan yang telah kami pupuk diam-diam tanpa ada seorang pun yang menyadari.
Sungguh, jika itu benar-benar menjadi kenyataan, walau dengan kemungkinan yang amat sangat kecil, aku berjanji akan menceritakan suatu hal yang pernah dia tanyakan padaku.
Kala itu dia memohon, tetapi aku menolak untuk mengatakannya karena sebuah alasan.
Demikianlah mengenai kisahku; kisah bagaimana aku bisa mendapat kutukan itu, dan akan kutambahkan lagi satu kalimat di bagian akhir cerita tersebut.
Satu kalimat ringkas yang telah menjadi realita.
Itu semua adalah tentang dirinya, seseorang yang pernah menyelamatkanku dari titik keputusan yang telah ditakdirkan.
...———...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
CB
wihhh. genre fantasi modern kah?
2022-04-01
1
Susana
saya mampir, Kak. 🙏
semangat, ya.
2022-04-01
1
Neoreul (IG:Neoreul_Bogosipheo
like untuk yuna jo
2022-03-30
1