Miaoling menatap gerak-gerik ayahnya. Tidak ada yang aneh. Tidak panik, tidak sedih, dan tidak ada senyuman yang dipaksakan.
Setelah memastikan hal tersebut, Miaoling menepuk tangan Meiliang pelan, menenangkannya, “Kakak Ipar, tenang saja. Ekspresi Ayah terlihat santai, tidak mungkin ada yang terjadi kepada Kakak Kedua.”
Pancaran mata Meiliang segera melembut, napasnya kembali normal dan tidak memburu. “Begitukah?” tanyanya dengan wajah yang masih sedikit khawatir. Kemudian, dia menoleh menatap Huang Qinghao dan mengangguk. “Ya, kau benar. Mungkin dia berada di antara para prajurit dan aku tidak bisa melihatnya.”
Sebenarnya, Miaoling tahu kalau hal itu tidak mungkin. Kakaknya, Huang Jieli, adalah wakil jenderal. Pria itu seharusnya berada di sebelah sang Ayah. Akan tetapi, Miaoling tidak bisa memberitahu hal tersebut kepada Meiliang yang baru saja kembali tenang.
Mendadak, sebuah suara terdengar dari belakang telinga Meiliang. “Nona Cantik, maukah kau memperkenalkan dirimu padaku?”
Meiliang dan Miaoling menoleh dengan kaget hanya untuk mendapati Huang Jieli dengan dandanan seperti seorang pedagang muncul di belakang mereka. Tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di sekeliling mereka, Shang Meiliang langsung melingkarkan tangannya di pinggang Huang Jieli, mengejutkan Miaoling yang langsung merona malu.
Huang Jieli membeku untuk sesaat. Pria itu sangat kaget karena ternyata istrinya begitu senang melihat dirinya kembali. Hubungan mereka memang baik, tapi Huang Jieli tidak menyangka kalau perasaan Meiliang kepadanya begitu kuat.
“Ehem, ehem.” Miaoling berdeham pelan, menyadarkan kakak iparnya untuk menjaga perilakunya.
Beberapa pasang mata yang melihat perilaku Meiliang yang kurang senonoh hanya bisa tersenyum penuh pengertian. Lagi pula, keduanya adalah pasangan suami-istri yang sudah terpisah begitu lama. Akan tetapi, tentu saja … ada beberapa orang yang menatap sinis dan menganggap tindakan Meiliang sangat tidak sopan.
Antara mereka tidak pernah merasakan penyiksaan terpisah dari pasangan mereka untuk waktu yang lama atau mereka hanya sirik melihat hubungan suami-istri yang begitu baik. Mungkin saja, mereka bahkan tidak tahu apa itu cinta dan kasih sayang.
Ketika sadar kalau dirinya sedang berperilaku kurang sopan di tengah publik, Meiliang segera menjauhkan dirinya dari Jieli. “M—maaf,” ucapnya setengah berbisik dengan wajah merah seperti tomat.
Tahu kalau Meiliang malu karena baru saja bersikap begitu agresif, Jieli malah semakin senang dan girang. Alih-alih menjaga sikapnya, Jieli malah langsung menarik Meiliang ke dalam pelukannya. Dia sangat merindukan istrinya itu.
Huang Miaoling hanya bisa tersenyum pasrah melihat Meiliang dan Jieli. Kakaknya memiliki jiwa yang begitu lepas, khas seorang prajurit. Pria itu tidak mempedulikan pendapat orang lain yang melihat mereka. Yang pria itu tahu adalah … dia berhasil pulang kembali ke keluarganya.
“J—Jieli, lepaskan aku. Begitu banyak orang melihat kita,” bisik Meiliang dengan wajah yang semakin merah.
“Kau kira aku peduli?” balas Jieli.
“Kurasa kau harus peduli, Kak. Kalaupun kau tidak, Kakak Ipar pasti peduli karena dia punya reputasi yang harus dijaga,” ujar Miaoling membuat Jieli mengangkat pandangannya.
Untuk sesaat, Huang Jieli hanya terdiam sembari menatap Miaoling. Di benaknya, dia berpikir, ‘Siapa gadis ini?’
Sadar apa yang ada di pikiran kakaknya, Huang Miaoling tersenyum dengan lebar menutupi kekesalannya. “Kakak, jangan bilang kau tidak mengenali adikmu lagi?”
Jieli melirik gadis yang berada di jauh di belakang Miaoling. Perawakan yang cantik dan lembut itu pasti Huang Wushuang. Kalau begitu, gadis di hadapannya ini …!!!
“Huang Miaoling!?” ujarnya setengah berseru.
Alis Miaoling berkedut, kesal. ‘Berlebihan! Reaksinya terlalu berlebihan! Aku tidak berubah banyak!’ teriak Miaoling dalam hatinya.
***
Setelah penyambutan di depan Gerbang Selatan, para pejabat dan pangeran bersama dengan rombongan keluarga Huang bersiap untuk pergi ke istana berdasarkan perintah kaisar yang disampaikan oleh Pangeran Mahkota. Para prajurit yang memiliki jabatan rendah diperintahkan oleh Huang Qinghao untuk pergi memberi kabar dan kompensansi kepada keluarga para prajurit yang telah gugur. Setelah itu, mereka dipersilakan untuk kembali ke rumah masing-masing.
‘Kompensasi …. Kompensasi sebesar apa yang cukup untuk menggantikan orang yang kau cintai?’ pikir Miaoling ketika mendengar perintah Huang Qinghao.
Ketika Huang Qinghao memutar kepalanya untuk menghadap anak-anaknya, dia menyadari ekspresi Miaoling. Dengan sebuah senyuman hangat, Qinghao berkata, “Kau bertambah dewasa, Miaoling.”
Setelah sepuluh bulan, Qinghao menyadari sebuah perubahan dari perilaku Miaoling. Gadis itu tidak lagi sembrono dan bersikap begitu manja seperti sebelum-sebelumnya. Gerakannya lebih anggun dan lebih lembut dibandingkan terakhir kali Qinghao melihatnya. Gadis itu bahkan … terlihat seperti seseorang yang berbeda.
Setelah itu, Qinghao melirik Wushuang yang berdiri dalam diam. “Wushuang? Ada apa?”
“Ayah …. Aku … tidak apa-apa,” balas Wushuang dengan sebuah senyuman lemah.
Dalam hati Miaoling, dia memaki, ‘Dasar ular.’
Miaoling tahu kalau Wushuang sedang berusaha membuat ayahnya sadar kalau dirinya sedang sedih. Setelah sang Ayah memaksa Wushuang untuk bercerita, gadis itu pasti akan melaporkan kejadian hari ini kepada ayah.
Huang Wushuang masih berusia lima belas tahun! Akan tetapi, hatinya sudah sebusuk ini. Tidak heran di kemudian hari dia akan menjadi begitu kejam!
“Ada apa? Ceritakanlah kepada Ayah,” bujuk Qinghao yang merasa ada yang Wushuang tutupi darinya.
Sebelum Wushuang sempat mengatakan apa-apa, Jieli menghampiri ayahnya dan melapor, “Ayah, semuanya sudah beres. Kita sudah bisa berangkat ke istana.”
“Baiklah.” Huang Qinghao mengangguk. Kemudian, dia melihat kalau ada tiga kereta dengan lambang keluarganya. "Wushuang, kau duduklah bersama Ayah dan ceritakan apa masalahnya.”
Huang Qinghao duduk di dalam kereta bersama Wushuang, Miaoling bersama dengan kedua adik kecilnya dan kedua pasangan yang lain berada dalam satu kereta. Hal ini tidak pernah terjadi di kehidupan sebelumnya. Di kehidupan sebelumnya, sang Ayah tidak naik ke dalam kereta melainkan menunggang kuda bersama Jieli yang memutuskan untuk menemaninya.
Sepertinya, tindakan Miaoling mampu merubah beberapa hal. Masuk akal, hukum sebab dan akibat berlaku di setiap waktu. Akan tetapi, Miaoling tidak takut. Jebakan apapun yang Wushuang siapkan untuknya, Miaoling akan dengan senang hati membalasnya.
Setelah beberapa saat, rombongan keluarga Huang pun tiba di istana. Di saat kereta melalui gerbang istana yang begitu megah, Huang Miaoling bisa merasakan tenggorokannya terasa kering. Dia melirik keluar jendela dan mendapati jantungnya berdetak begitu cepat.
Kepingan demi kepingan ingatan mengalir ke dalam benaknya. Tawa, tangis, kecewa, marah …. Setiap emosi, setiap kejadian, semuanya berbekas dengan jelas di dalam ingatan Miaoling. Hatinya terasa begitu sakit, begitu pedih. Kepalanya terasa pening dan pandangannya pun membuyar.
Ketika gelombang emosi menyerbu gadis itu, sebuah tarikan pada bajunya membuat Miaoling membuka matanya. “Kakak, kau tidak apa-apa?” Junyi bertanya selagi memasang wajah khawatir, sama seperti Hanrong yang mengerutkan kening dan menatap Miaoling bingung.
Sebuah senyuman merekah di wajah Miaoling ketika dia melihat ekspresi khawatir di wajah kedua adiknya. Miaoling mendudukkan Junyi pangkuannya. “Kakak tidak apa-apa. Terima kasih telah mengkhawatirkan Kakak,” ujar Miaoling.
“Dari cerita Kakak, kami tahu kalau keluarga harus saling menjaga!” seru Hanrong dengan seringai lebar.
‘Ya, semuanya berbeda sekarang. Aku tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Yang terpenting adalah menjaga keluargaku. Oleh karena itu, aku harus menyingkirkan mereka yang berniat mencelakai orang-orang yang kusayangi.’
Setelah kereta kuda berhenti, Miaoling pun turun dan menatap puluhan, ratusan, mungkin ribuan anak tangga menuju aula besar yang begitu megah. Setengah jalan sampai ke anak tangga paling atas, dua patung singa berkepala naga berwarna emas berdiri kokoh bak penjaga mulia istana tersebut. Mata mereka yang terbuat dari batu mirah delima terlihat menyala akibat pantulan cahaya matahari.
Di kehidupan sebelumnya, Miaoling teringat betapa takutnya dia mengenai patung naga-singa tersebut. Kadang-kadang, menjelang malam, setiap kali Miaoling melihat ke arah patung tersebut, kedua mata itu menyala merah seakan benar-benar hidup.
Di kala Miaoling sibuk memperhatikan bangunan istana, Qinghao turun dari kereta bersama Wushuang. Setelah Miaoling menoleh ke arah ayahnya, dia bisa melihat kalau air muka Qinghao sangat buruk. Di sisi lain, mata Wushuang terlihat sedikit merah.
‘Hmm, jurus lama.’ Miaoling tersenyum mengejek.
Ketika Qinghao melihat Miaoling, ekspresi wajahnya terlihat sangat marah dan kecewa. Wushuang yang melihat hal ini tersenyum kecil, berusaha menahan rasa senangnya. Tentu saja, Miaoling melihat hal tersebut dan hanya membalas keduanya dengan senyuman dan anggukan kepala. Betapapun sang Ayah ingin menegurnya, dia tidak akan melakukan hal tersebut di istana.
Tak lama, para kasim dan pelayan wanita datang dan membimbing setiap anggota keluarga Huang ke dalam istana. Semakin banyak anak tangga yang Miaoling injak dan lalui, semakin berat juga hatinya. Di saat Miaoling akhirnya menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, pintu aula besar telah terbuka seakan menunggu dirinya.
‘Tak kusangka aku akan kembali secepat ini.’
Di saat Miaoling dan keluarganya tiba di depan pintu aula utama yang begitu megah, seorang pelayan yang sudah diberikan khusus untuk melayani gadis itu selama di istana pun menghampirinya. “Nona, mari.”
Miaoling menatap wajah gadis itu untuk sesaat. Gadis itu masih sangat muda dan cantik. Kentara kalau gadis itu tidak memiliki usia yang jauh berbeda dengan Miaoling.
Kenyataan bahwa gadis itu tidak akan pernah menginjakkan kaki di dunia luar istana membuat dada Miaoling sesak. Hanya ketika gadis itu bisa mendapatkan majikan yang baik hati di istana yang bersedia menjodohkannya dengan seorang pria yang ditentukan, barulah gadis itu bisa pergi dari istana. Kalau tidak, maka gadis itu harus tetap berada di istana sampai dia tua dan tidak kuat lagi melayani para majikan di istana.
Di saat Miaoling masuk ke dalam aula utama, seorang kasim mengumumkan kedatangan keluarganya. Semua orang pun menoleh dan berdiri untuk memberikan hormat kepada Huang Qinghao.
Mata Miaoling menatap lurus ke depan, kepada seseorang yang duduk di sebuah kursi megah yang terbuat dari emas. Dengan mahkota yang hanya dikenakan oleh ‘sang Anak Langit’, seorang pria paruh baya dengan jubah keemasan bersulamkan naga duduk di sana. Wajahnya yang tegas dengan alis yang tebal dan mata yang tajam menunjukkan kalau dia bukanlah seseorang yang lemah dan mudah dimanipulasi, melainkan mampu mengintimidasi.
“Hamba memberi salam kepada kaisar,” seru Huang Qinghao sembari berlutut, diikuti oleh anak-anaknya.
“Jenderal Huang.” Sang Kaisar segera berdiri dari singgasananya dan mulai melangkah menuruni anak tangga menghampiri jenderal besarnya itu. “Berdirilah.” Dengan pegangan tegas penuh harapan pada pundak sang Jenderal, sang Kaisar menyuruh bawahannya itu untuk berdiri. “Kau akhirnya kembali. Kerajaan Shi berutang budi besar kepadamu,” ucapnya dengan sebuah senyuman lebar yang bangga.
Selesai menegakkan tubuhnya, Miaoling melirik wanita yang terduduk di sebelah takhta emas sang Kaisar. Alis yang disulam penuh tekanan menunjukkan ketegasan dan kekuatan, pulasan merah di bibirnya menambah warna kehidupan di wajah wanita yang sangat anggun itu. Senyuman tipis yang mencerminkan keyakinan dan wibawa membuat jantung Miaoling berdetak kencang.
Melihat sang Kaisar sangat menghargai kepulangannya, Huang Qinghao merasa sangat terharu. “Sudah tugas hamba untuk melayani baginda dan kerajaan ini.” Sadar bahwa dia belum sempat memberi salam kepada permaisuri, Qinghao dengan cepat kembali berlutut dan berseru, “Hamba memberi salam kepada permaisuri!”
Permaisuri mengangguk sembari tersenyum, “Berdirilah, Jenderal Besar Huang.” Wanita itu tidak berkata banyak, tahu kalau suaminyalah yang akan mengambil tindakan berikutnya. Keduanya seakan memiliki telepati setelah bertahun-tahun duduk berdampingan di aula besar ini.
Kaisar menepuk pundak Huang Qinghao. “Duduklah. Hari ini aku telah menyiapkan sebuah perayaan besar untukmu!”
Para wanita pun dipersilakan duduk di rentetan sebelah kiri selagi para pria berada di rentetan sebelah kanan aula utama. Yang dipersilakan di jamuan itu hanyalah istri sah dan anak-anak para pejabat dan menteri. Begitu banyak pasang mata saling melirik dan menilai. Beberapa melemparkan senyuman penuh arti, yang lain memberikan tatapan tajam penuh keirian.
Ini adalah pemandangan biasa di dalam istana.
Miaoling menutup senyuman yang muncul di bibirnya dengan lengan bajunya. ‘Pemandangan yang menjijikkan.’
____
A/N: Oof, tough! 'Menjijikkan' katanya gengs. Ha ha ha.
Chapter kali ini terasa pendek, ya? Atau cuma Author aja? Padahal words countnya melebihi yang lain .... Hmmmmmm.
Anyway! Gak penting! Di bawah ada ilustrasi (yang sudah pasti bukan milik author) untuk merepresentasikan Permaisuri Mingmei dan Kaisar Wang Weixin ya!
Don't forget to vote, comment, share, and like~ hahaha! Support kalian sangat membantu :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 312 Episodes
Comments
Evelyne
gw baca cerita ini karena rekomendasi seorang pembaca di noveltoon juga... setelah bosan dengan cerita yang gitu gitu aja...ternyata yang ini keten abis... alur cerita nya bagus...bahasa nya mudah di pahami... walau nama2 tokoh nya sulit di ingat..tapi secara keseluruhan cerita ...kereeen...top deh
2023-06-07
1
alur ceritanya dari prolog sampe bab 10 ini kayak ikutin novel sebelah cuma nama tempat lain lain di ganti
2022-11-16
0
fifid dwi ariani
sehat selalu
2022-09-18
0