20 | ANGIN MALAM

"Erva, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya seorang wanita yang terlihat masih muda. Wanita itu mengejutkan Erva yang sedang melamun.

Erva menoleh, melihat wanita itu. "Tidak ada, Ibu. Aku hanya menikmati malam dari jendela kamarku," jawabnya pelan.

Wanita itu, Reika, berjalan ke arah Erva. "Apa kau masih memikirkan Reva?" tanyanya lagi.

Erva membalikkan badan. Sambil tertunduk, ia berdeham. "Iya."

Reika mengelus kepala anak gadisnya. "Erva, sudah sembilan tahun sejak kecelakaan itu Reva menghilang. Kita sudah mencarinya ke mana-mana. Kita sudah minta bantuan dari pihak polisi untuk menyelidikinya. Seperti yang kau lihat, tak ada hasil sama sekali. Reva telah tiada," katanya.

"Tidak," tampik Erva. Ia memegangi benda bergelantungan di lehernya, seperti merasakan sesuatu. "Setiap kali aku berdiri memandangi langit malam, merasakan hembusan angin malam, aku selalu merasakannya. Reva masih hidup. Aku sangat yakin."

"Ibu tahu perasaanmu. Ibu juga merasa kehilangan karenanya. Tapi setelah sembilan tahun berlalu, tidak ada tanda-tanda Reva masih hidup."

"Kami saudara kembar. Aku bisa merasakan ada ikatan yang kuat di antara kami. Perasaan satu sama lain, aku bisa merasakannya," sahut Erva dengan yakin. Ia merasakan hembusan angin yang seolah membisikkan sesuatu padanya. "Angin membawakan kabar untukku. Saat ini dia pasti sedang melakukan hal yang sama denganku."

"Ibu juga berharap dia masih hidup. Kalau begitu Ibu keluar dulu. Jangan berdiri di sana terlalu malam, nanti kau masuk angin," ucap Reika.

Erva kembali memegangi kalungnya yang persis dengan Reva. "Reva, kau ada di mana?"

***

Sementara itu di sudut kamar sederhana, Reva memandangi langit gelap berbintang dari jendela kamarnya. Ia membuka jendela, merasakan angin malam yang dinginnya merasuk ke badan.

"Akhir-akhir ini selalu memikirkan Vian, membuatku melupakan kejadian aneh yang menimpaku," gumam Reva. Ia memegangi kalungnya, mulai memejamkan matanya. "Entah harus kusebut kalung atau gelang, walaupun terlihat cukup aneh, tapi aku suka memakainya."

Ia menyentuh permukaan gelang yang sedikit kasar itu, melihat kembali ukiran namanya di gelang itu. "Hei, gelang, andaikan kau bisa berbicara padaku. Mengapa aku merasakan sakit kepala ketika pertama kali melihatmu? Aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang penting."

Tiupa angin malam semakin kencang, membelai rambut panjang gadis itu. "Juga mimpi aneh yang kualami. Gadis yang bergentayangan di dalam mimpiku itu begitu mirip denganku. Erva, apakah itu nama gadis itu?" tanyanya pada diri sendiri. Angin menderu, seolah membisikkan sesuatu padanya. "Apa yang ingin kau sampaikan padaku?"

Tak lama kemudian ponselnya berbunyi, ada panggilan masuk. Reva meraihnya, langsung menekan tombol untuk menerina panggilan itu. Suara tak asing terdengar dari benda itu.

"Hei, Reva, rupanya kau belum tidur," ucapnya. Reva tersenyum kecil sambil memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit pekat.

"Belum. Tadinya aku ingin tidur, tapi tiba-tiba saja kau menelepon. Ribut, mengganggu, aku tidak jadi tidur," kata Reva dengan nada kesal. Jelas sekali ia berbohong.

Vian tertawa. "Pembohong kelas kakap. Padahal kau tidak bisa tidur. Begitu ada panggilan masuk dariku, kau langsung menerimanya. Serindu inikah kau padaku?" goda Vian.

"Tidak juga. Lalu mengapa kau meneleponku? Jangan-jangan kau yang merindukanku sampai tidak tahan untuk menelepon?" goda Reva untuk membalas Vian.

Vian kembali tertawa mendengar ucapannya. "Iya, aku sangat rindu."

Reva mendengus kesal. "Tidak bisakah kau tidak jujur?"

"Iya, iya. Coba lihat ke langit. Bintangnya terlihat bersinar lebih terang. Ya, walaupun bukan bintang yang bersinar. Bintang hanya memantulkan cahaya dari bulan. Apa kau melihat bulannya?" tanya Vian.

Reva mengeluarkan kepalanya untuk mencari keberadaan bulan. Memang benar, ia bersinar tak kalah dari bintang-bintang di sekelilingnya. "Iya, begitu bersinar."

"Apa yang sedang kau lakukan," tanya Vian lagi.

"Hanya memandangi langit ditemani deru angin malam. Entah mengapa aku seperti pernah melakukan hal serupa dengan seseorang. Memandangi langit, menghitung bintang-bintang yang tak ada habisnya, dan berbicara dengan angin malam. Ini aneh. Tiba-tiba saja aku merasa begitu," jawab Reva yang masih memandangi rembulan.

"Seseorang? Siapa?" tanya Vian.

Reva mengangkat bahunya. "Entahlah. Hanya perasaanku. Apa kau tahu? Menikmati pemandangan malam ditemani dengan angin malam ini membuatku kembali teringat pada mimpi aneh itu dan kalung yang kupakai," sambung Reva.

Vian terdiam sejenak. "Mimpi yang kau alai tiga hari berturut-turut itu?"

Reva berdeham. "Iya. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat. Padahal akhir-akhir ini aku sudah mulai melupakannya. Rupanya mimpu yang kualami bukan mimpi biasa."

"Iya. Mungkin saja ada kaitannya. Terkadang apa yang kau rasakan itu ada benarnya. Semua itu ada artinya," jelas Vian. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kamar, membelakangi bintang berkelap-kelip.

"Apa maksudmu mimpi dengan gelang itu ada kaitannya, dan baru kusadari malam ini di tengah deru angin?" tanya Reva untuk memastikan.

Vian mengangguk pelan. "Benar. Seperti itulah yang kumaksud."

"Oh iya bicara tentang mimpi, akhir-akhir ini aku tidak mengalaminya lagi. Hanya saja ketika aku melakukan sesuatu, tiba-tiba aku merasa pernah melakukannya dengan seseorang. Perasaan itu muncul begitu saja," jelas Reva. Ia menarik napas sejenak, memberikan sedikit jeda. "Tapi tak jarang juga aku merasakan sakit kepala yang hebat ketika mendengar sebuah nama atau melihat benda tertentu. Seperti waktu itu, saat Kevin memanggilku dengan nama Erva. Aku merasa pernah mengenal orang ini, bahkan pernah bertemu dengannya."

"Itu bisa saja terjadi. Apa kau tahu? Jauh sebelum kita lahir ke dunia ini, Tuhan telah memperlihatkan pada kita perjalanan hidup yang akan kita lalui di dunia ini. Oleh karena itu, terkadang kau berkunjung ke suatu tempat yang baru pertama kali kau kunjungi. Namun kau merasa pernah berkunjung ke tempat itu sebelumnya. Atau dapat pula kau seolah mengenal seseorsng yang bahkan tak pernah kau temui. Semua itu perjalanan hidup yang telah Tuhan atur untuk kita," jelas Vian.

Reva mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. "Artinya dalam hidupku, aku memang mengenal seseorang yang bernama Erva?" tanyanya.

"Mungkin seperti itu. Apa yang kau rasakan ketika mendengar namanya?" Vian balik bertanya.

Reva berpikir sejenak. Ia menekan-nekan bibirnya sambil memperbaiki posisi duduk. "Aku merasa sangat dekat dengannya. Ketika melihat kalung ini, aku langsung teringat pada nama itu. Apa mungkin seseorang yang muncul dalam mimpiku itu adalah Erva?"

"Mungkin. Semua itu akan terjawab nanti. Kau tak perlu memikirkannya terlalu jauh. Oh iya, Reva, ada satu lagi yang ingin aku tanyakan padamu," kata Vian sambil senyum-senyum denga sendirinya.

"Tanyakan saja," balas Reva. Ia menutup jendela kamar karena udara yang semakin dingin. Ia beralih merebahkan diri ke kasur empuknya.

"Bagaimana perasaanmu ketika mendengar namaku?" tanya Vian.

"Aku langsung teringat pada orang menyebalkan yang suka menjailiku, menertawakanku, dan membuatku kesal. Rasanya aku ingin sekali memukulnya, tapi tidak bisa. Kalau aku memukulnya, dia pasti akan mengejekku dan bilang kalau pukulanku itu tidak ada rasanya sama sekali," jawab Reva dengan nada kesal. Ia memandang langit-langit kamar, kembali berpikir. "Ya, walaupun begitu Vian itu adalah orang yang sangat baik. Dia suka menolongku di saat yang tepat. Dia suka menghiburku walaupun terkadang tingkahnya membuatku kesal. Tapi tingkah itulah yang kusukai dari Vian. Bagiku, tingkah Vian yang menyebalkan itu sudah mencari diri khas. Aku menyukainya."

Vian terdiam sejenak. Tak lama terdengar tawa kecil dari telepon. "Sudah kuduga. Kau memang berbeda dari gadis lain."

"Eh, berbeda apa?" tanya Reva penasaran. Ia langsung kembali pada posisi duduk, ingin mendengar jawaban Vian lebih jelas.

"Intinya berbeda. Tapi aku juga menyukainya," jawab Vian.

Reva tersipu malu mendengar ucapannya. Walaupun hanya berbicara lewat telepon, tapi kata-katanya itu terdengar seolah-olah Vian ada di hadapannya. "Su-Sudah malam. Apa kau tidak tidur? Nanti kau akan terlambat ke sekolah, aku tidak mau tanggung jawab."

"Baiklah. Tapi aku hanya akan menutup telepon jika kau sudah tertidur," sahut Vian.

Reva mengernyitkan alisnya, kembali bertanya, "Eh, bagaimana mungkin kau tahu aku sudah tidur atau belum?"

"Ah, benar juga. Bagaimana kalau kita menghitung bintang saja? Aku sedang tidak bisa tidur," ucap Vian.

"Aku juga tidak bisa tertidur. Tapi apa kau yakin ingin menghitung bintang?" tanya Reva lagi. Ia kembali melihat pemandangan malam dari balik jendela.

"Yakin. Jangan matikan ponselmu! Kita akan menghitung bintang. Orang yang pertama kali tidur dinyatakan sebagai yang kalah. Kau mengerti, kan?" tanya Vian.

Reva mengangguk berkali-kali. "Baiklah. Aku pasti akan menang," katanya dengan penuh percaya diri.

Mereka mulai menghitung bintang hingga larut malam. Tak lama kantuk Reva datang. Ia tak tahan lagi. Matanya merayu untuk terus menutup. Hingga akhirnya ia menyerah. Mimpi mendekapnya.

"Selamat malam, Reva."

Terpopuler

Comments

Triana R

Triana R

lanjutkan kakak author. semangat 💪

2020-07-28

1

Raisu

Raisu

Sip dah 👌

2020-07-09

1

Adine indriani

Adine indriani

like like untuk kakak

2020-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!