18 | MENOLONG LIZHA

Bella masuk kelas dengan penuh keringat. Ia langsung menduduki bangkunya, mengibaskan tangannya berkali-kali.

"Eh, anak yang dihukum baru sampai di kelas," ledek Edward.

Mendengar itu, Bella naik pitam. Ia menepuk mejanya dengan keras. "Diam kau!"

"Dasar pemarah. Enak sekali dihukum?" tambah Edward.

Bella mengepalkan tangannya. "Enak. Tadi aku dikasih sarapan gratis sama guru-guru karena sudah membersihkan satu sekoah ini," jawab Bella.

Edward terdiam, buru-buru menghampiri Bella. "Benarkah?"

Bella mengangguk berkali-kali untuk meyakinkan. "Tentu saja. Lauknya banyak, mengenyangkan. Dengan begitu aku tidak perlu makan di kantin. Aku bisa hemat uang untuk hari ini," tambah Bella.

"Kalau begitu aku juga mau dihukum membersihkan halaman sekolah. Minggu depab aku tidak bawa baju ganti," ujar Edward dengan semangatnya. Setelah melontarkan kata-kata itu, ia langsung berlari keluar kelas.

"Dasar bodoh," kata Bella.

Reva dan Vian masuk kelas, tak lama setelah Edward keluar. Bella terkejut melihat luka-luka di tubuh Reva.

"Rev, kau terluka? Mengapa bisa terluka?" tanya Bella masih mengibaskan tangannya.

"Aku tadi terjatuh saat berlari di lapangan," jawab Reva.

"Iya, jatuh karena kerjaan si Mira itu. Dia sengaja membuat Reva jatuh," tambah Vian.

Bella langsung berdiri, mengacak pinggang, matanya melotot. "Apa? Ini ulah si nenek lampir itu? Tunggu saja aku akan membalasnya!"

Reva berjalan mendekati Bella, menenangkannya. "Aduh, Bella. Tidak apa-apa. Lagi pula tadi dia sudah minta maaf di depan teman-teman."

Bella mengangkat alisnya sebelah. "Itu mana cukup. Lain kali aku akan membuatnya malu lebih dari itu," kata Bella. Ia kembali duduk. "Tadi aku melihatnya sedang berkumpul dengan teman-temannya itu. Entah apa lagi yang akan dia rencanakan," sambung Bella.

Reva dan Vian menatap Bella bersamaan. "Apa?"

"Mengapa kalian sampai terkejut begitu? Memangnya baru pertama kali mendengar kalau Mira dan teman-temannya berkumpul?" tanya Bella yang nerasa heran dengan tingkah mereka.

"Apa Lizha ada di sana?" Reva balik bertanya.

Bella berpikir sejenak. "Bukannya Lizha jga temannya Mira? Tentu saja dia ada di sana."

"Ya ampun. Vian, bagaimana ini? Jangan-jangan Mira akan melakukan sesuatu pada Lizha." Reva mulai terlihat cemas

Bella mengernyitkan alisnya. "Situasi macam apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku ketinggalan apa?" Bella menghujani mereka dengan pertanyaan.

"Ah, tadi saat teman-teman berkumpul, aku meminta mereka bersaksi kalau Mira sengaja membuat Reva terjatuh. Salah satu yang bersaksi adalah Lizha," jelas Vian. "Apa kau tahu, Bel? Tadi kata-katanya tepat mengenai sasaran layaknya panah," sambung Vian sambil tertawa.

Reva menepis tangan Vian. "Ini serius, Vian." Reva mengalihkan pandangannya ke Bella. "Bella, di mana kau melihat Mira berkumpul dengan teman-temannya?" tanya Reva.

"Di belakang kelas yang sudah tidak terpakai. Saat membuang sampah, awalnya aku mau lewat sana, tapi karena ada rombongan Mira, aku lewat jalan lain," jawab Bella.

Begitu mendengar jawaban Bella, Reva bergegas pergi, berinisiatif untuk menemui rombongan Mira sendirian.

"Reva, kau mau ke mana?" tanya Vian.

"Tentu saja untuk membantu Lizha. Mira pasti melakukan sesuatu padanya," jawab Reva tanpa menoleh.

"Biarkan aku ikut. Dengan luka di badanmu itu kau mana bisa melawan Mira," kata Vian. Ia kemudian menyusul Reva, bergegas pergi ke tempat yang dimaksud Bella.

***

Di lain sisi, Mira memojokkan Lizha di belakang kelas tak terpakai itu.

"Lihatlah teman kita, Lizha. Tapi apakah ia pantas disebut sebagai teman? Atau kita bisa menyebutnya gunting dalam selimut?" tanya Mira sambil menatap tajam ke arah Lizha.

"Terserah bagaimana kah ingin menyebutku, Mira. Aku tidak peduli," jawab Lizha. Ia balas menatap Mira dengan tajam.

"Sekarang kau sudah berani melawanku rupanya. Apa Reva sudah memengaruhimu sehingga kau lebih membelanya tadi?" Mira mendekatkan wajahnya pada Lizha.

"Dia tidak pernah memengaruhiku. Justru kaulah yang memengaruhiku selama ini untuk ikut-ikutan membenci Reva. Bukan hanya aku, tapi mereka juga," jawab Lizha. Matanya menatap teman-temannya yang lain.

Mira menarik rambut Lizha. "Dasar gadis bermuka dua. Oh iya, Lizha, sepertinya aku belum pernah memberikan hadiah untukmu. Hari ini aku akan memberikannya," ucap Mira sambil tersenyum licik. Ia menarik rambut Lizha lebih kuat, lalu melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Lizha.

Di luar dugaan, Lizha justru tertawa setelah mendapatkan tamparan itu. "Jadi memberikan tamparan pada orang lain membuatmu terlihat hebat? Begitukah?" Asal kau tahu, meskipun kau sampai membuatku terbunuh, kau hanya akan dipandang sebagai orang yang menjijikkan," tambah Lizha.

Mira naik pitam mendengar kata-katanya. Sekali lagi ia melayangkan tamparan. "Bukankah gadis bermuka dua sepertimu lebih menjijikkan?"

"Hei, Mira, apa kau tidak menyadari dirimu sendiri?" tanya Vian yang tiba-tiba datang dengan Reva. Ia meminta Reva untuk berdiri di belakangnya.

Semua yang berada di tempat itu menatapnya. "Apa urusanmu datang ke sini?" tanya Mira. Matanya melotot, apa lagi ketika melihat Vian datang bersama Reva. "Oh, jadi gadis ini yang mengadu padamu? Dasar manja."

"Jaga ucapanmu, Mira! Urusanku ke sini adalah untuk menyelamatkan yang benar, yaitu Lizha. Kata-katamu tadi terdengar cukup menarik. Butuh latihan berapa lama untuk merangkai kata-kata seindah itu?" kata Vian yang diselingi dengan ledekan.

"Kau tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Sebaiknya kau pergi dengan gadis manja itu!" suruh Mira sambil menunjuk-nunjuk Reva.

Vian berjalan mendekatinya. "Eh, kau sebut apa tadi pacarku? Gadis manja?" katanya sambil tertawa. Reva tersentak mendengar ucapan Vian.

"Ya ampun, Mira. Kau salah. Dia itu bukan gadis manja. Justru sebaliknya, dia sangat mandiri. Sebenarnya dia sendiri yang ingin datang ke tempat ini, tapi karena aku takut kau membunuhnya, makanya aku datang bersamanya," sambung Vian. Ia menatap tajam ke arah Mira. "Dan juga masalah ini ada hubungannya denganku. Aku yang memulai semuanya. Aku yang meminta teman-teman bersaksi bahwa kau yang sengaja nembuat Reva terjatuh. Sebenarnya Reva tidak ingin memperbesar masalah ini, tapi aku yang ingin memperbesarnya. Oh ya, aku juga tidak menyangka Lizha akan bersaksi juga. Rupanya dia sudah sadar kalau selama ini salah bergaul denganmu," kata Vian.

Sebuah tamparan dari Mira mendarat di pipi Vian. "Perkataanmu itu sampah. Kau banyak bicara. Hebat juga Reva sudah memengaruhimu hingga kau seperti ini. Nampaknya dia sudah membuatmu membenciku," kata Mira.

Vian mencengkeram tangan Mira. "Jangan membawa-bawa nama pacarku. Dia tidak pernah sdkali pun memengaruhiku, apa lagi membuatku membencimu. Tapi kau sendiri yang memicuku untuk membencimu." Vian melepaskan tangan Mira dengan kasar. Kemudian membalikkan badannya.

Mira mengambil napas denga cepat. Api kemarahan merah menyala di dalam tubuhnya. "Mengapa kau terus daja membela dan melindunginya? Padahal aku lebih baik darinya. Dia hanyalah gadis lemah yang bisanya berdiri di bawah naungan orang lain. Aku jelas lebih baik. Aku punya segalanya. Tapi kau lebih memilih dia!" teriak Mira. Ia mengarahkan telunjuknya ke arah Reva. Matanya berkaca-kaca karena menahan emosi.

"Kau punya segalanya? Tidak. Kau bahkan tak punya hati," sambung Vian. Kata-katanya menusuk mengenai Mira. "Cukup, Mira. Kau hanya akan membuatku semakin membencimu," sahut Vian dengan dingin, tanpa menoleh sedikit pun. "Jam istirahat sudah hampir usai. Lizha, ikutlah dengan kami!"

Lizha tanpa sepatah kata pun langsung ikut bersama Vian dan Reva. Mereka bertiga bergegas meninggalkan Mira yang dikuasai amarah.

"Apa sebenarnya salahku pada Mira sehingga ia sangat membenciku?" tanya Reva di tengah perjalanan.

"Seperti yang kubilang tadi. Mira sangat iri padamu karena ada sesuatu yang kau miliki, tapi tak dapat ia miliki" jawab Vian.

Lizha mengangguk. "Benar, Reva. Mira hanya iri padamu. Kau tidak pernah melakukan kesalahan apa pun padanya," tambah Lizha. "Tapi mengapa kalian berdua membantuku? Dari mana kalian tahu Mira membawaku ke tempat itu? Padahal kalian tahu selama ini aku berpihak pada Mira. Mengapa kalian membantuku?" tanyanya.

"Bella yang memberitahu kami. Kami membantu karena merasa kau memang harus dibantu. Kau sudah bersaksi, mengakui Mira sengaja membuat Reva terjatuh. Bukankah kebaikan seseorang harus dibalas dengan kebaikan juga?" ucap Vian.

Senyum kecil terukir di wajah Lizha. "Aku memang tidak salah mengambil keputusan, membela kalian. Terima kasih banyak."

Terpopuler

Comments

Zanuba Mashud (ririn)

Zanuba Mashud (ririn)

like

2020-07-12

1

Raisu

Raisu

oke jejak disini dlu

2020-07-07

1

Adine indriani

Adine indriani

aku hadir di awal pagi semangat

2020-07-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!