Pagi ke sekian di sekolah. Tidak seperti kemarin yang hujan deras, hari ini cuaca tampak lebih bersahabat.
Bella tergopoh-gopoh, langsung masuk ke dalam kelas. Napasnya tersengal-sengal. Bahkan ia sampai terbatuk-batuk. Di depan pintu kelas, Reva menahannya.
"Bella, mengapa lari-lari begitu?" tanyanya.
Bella mengambil napas panjang, menghembuskannya, menenangkan dirinya sendiri. "Aku... Aku pikir sudah terlambat. Hari ini aku bangun kesiangan."
"Dasar Bella. Bukan lagi hampir, kau sudah terlambat karena bel baru saja berbunyi," sambung Reva.
Bella menatap Reva. Matanya bergerak ke atas dan ke bawah. "Kau mau ke mana dengan baju ganti itu?"
Reva mengerutkan dahinya. "Tentu saja ganti baju. Sekarang jam olahraga. Tunggu dulu, apa kau lupa membawa baju olahraga?"
Bella menepuk dahinya dengan keras, berteriak sekencang-kencangnya. "Ya ampun! Aku lupa!" Teriakannya membuat seluruh pandangan di kelas tertuju padanya. "Aduh, sudah pasti aku dihukum karena tidak membawa baju olahraga. Sudah datang terlambat, lupa membawa baju olahraga, kira-kira kesialan apa lagi yang menungguku hari ini?" tanyanya dengan geram.
Tak lama kemudian, pak Dodi-guru olahraga, menegur Bella karena tidak mengganti pakaiannya. Atas perbuatannya, ia diberi hukuman membersihkan halaman sekolah. Lebih sialnya lagi, hanya ia sendiri yang dihukum.
"Reva, Bella ke mana?" tanya Vian yang tiba-tiba datang. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Reva.
"Dihukum karena tidak bawa baju olahraga. Kasihan sekali dia harus membersihkan halaman sekolah sendirian," jawab Reva.
"Oh, begitu. Lalu mengapa kau masih duduk di sini?" tanya Vian lagi.
"Aku masih malas olahraga. Lagi pula aku tidak bisa berolahraga," jawabnya.
Vian mengetuk kepala Reva. "Dasar. Kalau kau malas olahraga, tentu saja kau tidak akan bisa."
"Justru karena aku tidak bisa, makanya aku malas olahraga," balas Reva tak mau kalah.
Vian menutup mulut Reva. "Itu terbalik."
Reva mencoba melepaskan tangan Vian, ingin membalas perkataannya. "Tidak. Kau yang terbalik," katanya sambil menunjuk Vian.
"Ya ampun. Cepat sana olahraga!" Vian mendorongnya paksa. Hampir saja Reva terjatuh, untunglah kakinya masih bisa menyeimbangkan.
"Aduh, kau hampir menjatuhkanku. Untuk apa sampai mendorong begitu? ketus Reva.
"Aku hanya memberikan dorongan. Kau tahu? Dorongan agar kau semangat."
"Seharusnya memberi motivasi, bukan dorongan sampai aku hampir jatuh!" sahut Reva. Ia meninggikan nadanya.
"Bukannya aku sudah benar? Memberikan dorongan, ya motivasi. Bukannya motivasi artinya dorongan?" Vian terkekeh.
Sementara itu Reva menepuk keras dahinya. "Ya ampun, Vian. Konteks kalimatnya tidak sesuai. Aku mulai meragukan kepintaranmu."
Vian mengangkat jarinya, seperti sedang menghitung. "Kau sudah mengucapkannya sebanyak 27 kali. Nah, ini yang ke-28," katanya. Wajahnya tidak menunjukkan ia sedang bercanda.
"Kau bahkan sampai menghitungnya. Sudahlah. Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Jangan beri aku dorongan lagi!" teriaknya. Dengan berdengus kesal, Reva meninggalkan Vian. Langkah kakinya besar-besar, pandangannya lurus ke depan.
Vian hanya tertaea melihat tingkahnya. "Hei, hati-hati di depan ada lubang!" teriak Vian.
Reva pura-pura tidak mendengarnya, mengabaikannya bagai angin lewat. Ia berpikir Vian mempermainkannya lagi.
"Dasar. Selalu saja bercanda. Pasti dia mau bercanda lagi," gerutunya. Tapi tiba-tiba kakinya masuk ke lubang, membuatnya tidak seimbang. Seketika ia terjatuh. Tak jauh dari tempatnya, ia dapat mendengar suara tawa Vian.
Reva menatapnya sambil memasang wajah kesal. "Terus saja tertawa sampai puas!"
"Aku sudah peringatkan ada lubang, tapi tidak didengar. Kau memang bebal," ucap Vian sambil berjalan mendekatinya, tapi meniru gerakan Reva.
Reva langsung membuang muka begitu melihat Vian semakin mendekat.
"Ayo berdiri! Kau suka sekali duduk di lapangan berumput? Sampai kapan mau duduk di sana?" Tidak. Ucapan Vian itu terdengar seperti ledekan bagi Reva.
"Kalau mau meledek, pergi saja. Tertawa puas-puas di sana!" katanya. Reva langsung beranjak, tidak memedulikan kata-kata Vian, langsung meninggalkannya. Di lapangan semen, pak Dodi memberi aba-aba kepada para siswa untuk segera berbaris.
Setelah para siswa dirasa telah lengkap, ia langsung memerintahkan mereka untuk berlari sebanyak dua putaran sebagai pemanasan. Reva menghela napas panjang. Sudah kesal karena Vian, sekarang kesal karena harus berlari memutari lapangan. Rasanya ia ketularan penyakit sial Bella hari ini.
"Oh, Reva, larimu kuat juga." Mira berlari tepat di sebelah Reva, memasang senyum aneh.
Reva menoleh, memilih tak menjawab. Ia hanya menganggap ucapan Mira sebagai angin lewat, biarkan saja berlalu.
Mira mengaitkan kakinya pada kaki Reva, membuat Reva tersungkur. Semen kasar itu menggores lutut dan lengan kanannya. Sementara itu, Mira melanjutkan berlari, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Teman-temannya yang lain melihat Reva, lalu tertawa.
Reva hanya tertunduk, melihat luka-luka di tubuhnya. Tiba-tiba cahaya meredup, rupanya ada seseorang berdiri di hadapannya. Ia menatap ke atas, mendapati wajah Vian.
"Kau pasti ingin menertawakanku lagi, tertawa saja!" katanya. Wajahnya memerah. Di satu sisi ia malu, tapi di sisi lain ia kesakitan.
Di luar dugaan, Vian menjulurkan tangannya, memberi pertolongan. "Bodoh. Sekarang bukan saatnya tertawa. Ikut aku!"
Reva mengelak, menolaj pertolongan Vian. Bahkan ia membuang mukanya.
"Tidak mau menerima pertolonganku juga? Baiklah," tambah Vian. Tanpa bicara lagi ia langsung menarik tangan Reva, membawanya pergi meninggalkan lapangan.
"Pelan-pelan. Kau mau membuat lututku patah?" Reva protes, sesekali ia mengaduh kesakitan.
Vian melihat luka di lutut Reva yang semakin memerah. Darah yang keluar semakin banyak. "Kalau tidak cepat, lukanya bisa semakin parah. Lagi pula lututmu yang luka itu tidak akan sampai patah kalau hanya berjalan cepat."
Mereka tiba di depan UKS.
"Cuci dulu lukamu!" suruh Vian sambil menunjuk sebuah keran air di depan UKS.
"Kau gila? Ini bakal perih. Aku tidak mau," tolak Reva.
Vian mendekatinya. "Oh begitu? Sini biar aku yang cuci. Gerakanmu lambat. Lukamu bisa semakin parah." Ia memaksa Reva berjalan mendekati keran untuk membersihkan lukanya.
"Aduh, Vian. Kau ini tidak berperasaan sama sekali. Ini sakit," jerit Reva.
"Cuma segini kau bilang sakit? Lemah. Sekarang kau ini pasienku. Menurut saja pada kata-kata dr. Vian!" suruhnya. Ia lanjut membersihkan luka Reva.
"Dokter dari Hongkong! Kalau begini pasienmu bisa-bisa mati kesakitan!" balas Reva tak mau kalah.
Mendengar ucapannya, Vian terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. "Ya ampun, Reva. Kau ini berlebihan. Dimana-mana cara menangani luka memang begini."
Selesai dibersihkan, Vian membawanya ke ruang UKS. Ia menyiapkan kotak P3K.
"Sini, biar aku sendiri yang melakukannya," kata Reva sembari merebut kotak itu.
Vian menariknya kembali dari tangan Reva. "Kau ini pasien. Mana ada pasien mengobati dirinya sendiri. Sudahlah. Menurut saja sama dokter. Dasar keras kepala."
Pertama-tama, Vian menyapu cairan dingin di atas lukanya. Reva hanya menurut, memejamkan matanya karena sakit, namun berusaha menahannya. "Pelan-pelan sedikit," katanya.
Vian tersenyum kecil melihatnya. "Dasar Reva. Bisa-bisanya kau hanya diam setelah terjatuh di lapangan. Padahal kau tahu, Mira sengaja membuatmu jatuh," ujar Vian. Ia mengoleskan obat di atas lukanya sambil bercerita.
Reva memegangi kakinya. "Aku malu. Lagi pula semua orang menertawakanku, termasuk kau." Reva menatap Vian sambil menunjuk-nunjuknya.
Vian menghela napas, mengambil kain kassa dan plester. "Aku tidak tertawa saat kau jatuh di lapangan semen itu." Ia lanjut menempelkan kassa pada lututnya, lalu merekatkannya menggunakan plester.
"Tidak mungkin. Kau pasti ikut tertawa," balas Reva.
"Aku bersumpah. Aku tahu kapan harus menertawakanmu, kapan harus diam." Vian meraih tangan kanan Reva, meneteskan cairan di atas lengannya itu, lalu menutupnya dengan kain kassa.
"Apa maksudmu?" tanya Reva.
"Aku memang suka mengganggumu, lalu menertawakanmu. Tapi jika ada orang lain yang mengganggumu, aku enggan tertawa. Aku tidak suka melihatnya," jelas Vian.
Tiba-tiba Reva terdiam. Walaupun Viab sangat menyebalkan baginya, entah mengapa ia tetap menyukai sosok itu. Apa lagi melihatnya mengobati lukanya dengan sangat piawai. Benar-benar seperti tangan dokter. "Mengapa kau bisa mengobati luka?" tanya Reva tiba-tiba.
Vian menatapnya sejenak, lalu mengambil sesuatu di dalam kotak P3K. "Ayahku adalah seorang dokter bedah. Sejak kecil aku sudah diajarkannya menggunakan alat-alat seperti ini." Vian menghentikan sejenak ucapannya. "Tadi siapa yang mengatakan aku adalah dokter yang akan membuat pasien mati kesakitan?" goda Vian.
Reva memalingkan wajahnya. "A-Aku hanya bilang kau bisa mengobati luka. Bukan berarti aku tidak merasakan sakit karena kau obati," katanya.
"Aduh, iya, iya. Hadap sini sebentar!" suruh Vian lagi.
Reva menatapnya, mendspati wajah Vian sangat dekat. "Kau sedang apa?" tanyanya dengan suara kecil.
"Sttt...." Vian berbisik, mengisyaratkan untuk diam sejenak. Ia mengoleskan obat ke pipi Reva. "Ada sedikit goresan di pipimu."
Reva memejamkan matanya, tak sanggup melihat wajah Vian dari dekat. Suara jantungnya dapat ia dengar dengan jelas.
"Mengapa kau menutup matamu? Apa kau tidak sanggup melihat ketampananku?" goda Vian.
"Justru karena wajahmu menyeramkan aku tidak sanggup membuka mata," sahut Reva.
"Oh, jadi begitu? Kau sudah boleh membuka mata," ucap Vian.
Reva menatap balutan di lukanya. "Walaupun kau menyebalkan, tapi terimakasih sudah membantuku," ucapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Triana R
10 like buat kakak sudah mendarat
2020-07-26
1
Euyyy_zaaa
next
2020-07-26
1
Raisu
jejak dlu gan 👌
2020-07-05
1