15 | DI TENGAH HUJAN

Esok harinya di sekolah. Hujan membungkus, meskipun tidak terlalu deras. Vian memasuki kelas. Seperti biasa, setiap hujan mengguyur, para siswa akan datang lebih lambat. Ini sudah seperti tradisi turun-temurun. Namun ia tak sendirian, ada Kevin di dalam kelas, sedang menatap ke luar jendela.

"Yo, Kevin Ardhana. Bagaimana sebaiknya aku memanggilmu?" Vian mencoba bicara dengannya. Kevin membalikkan badan, memperbaiki kacamatanya.

"Kevin. Seperti itu saja," jawabnya. Tatapannya dingin, sedingin cuaca saat itu.

"Kau datang pagi juga. Di mana rumahmu?"

"Jalan Lati. Kau Alvian, benar begitu?" Kevin menebak.

Vian tersenyum, mengangguk untuk mengiyakan.

"Ya. Kebetulan sekali kau ada di sini. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Sepertinya hanya kau yang bisa menjawab pertanyaanku ini."

Kevin mengangkat kepalanya, mempersilakan Vian untuk bertanya.

"Sederhana. Siapa itu Erva?"

Petir menyambar setelah Vian menyelesaikan kalimatnya. Hujan mengguyur semakin keras, sepertinya akan awet. Vian mendekatkan dirinya pada Kevin, agar dapat mendengar suaranya. Terdengar suara helaan napas panjang Kevin.

"Bukankah kau juga tahu siapa itu Erva?" Kevin mengembalikan pertanyaan Vian.

Vian semakin dibuatnya bingung. "Aku hanya mengenal yang bernama Reva, bukan Erva. Sepertinya kau terbalik menyebutkan namanya."

Kevin menatap Vian, balas memasang wajah bingung. "Dia Erva, bukan Reva. Aku tidak terbalik menyebutkan namanya. Namanya memang seperti itu."

Penjelasannya belum dipahami Vian. Ia memberi tatapan seolah-olah mengatakan bagaimana mungkin bisa seperti itu.

"Tentu saja bisa. Aku mengenalnya sejak SMP, kami sekelas. Namanya Arselya Erva," sambung Kevin.

"Baiklah. Tapi satu hal yang aneh, mengapa Reva tidak mengenalimu? Bukankah kau mengenalnya sejak SMP?" tanya Vian.

Kevin kembali menghela napas panjang. "Itu yang membuatku bingung. Erva, sejak SMP dia dikenal sebagai anak yabg pendiam, dingin, dan cuek. Setiap hari hanya di kelas. Dia juga tidak suka bergaul dengan orang lain. Hingga akhirnya ia tak memiliki teman satu pun. Aku yang sekelas dengannya juga tidak berani mendekatinya. Terkadang aku melihatnya melamun, entah apa yang ia pikirkan. Seperti ada masalah besar yang ditanggungnya."

Vian menyela pembicaraan. "Tapi apa kau yakin tidak salah orang? Maksudku sifat mereka memang sangat berbeda jika dibandingkan saat SMP dengan yang sekarang."

"Sifatnya memang berbanding terbalik. Tapi aku sangat yakin, tidak mungkin salah mengenali orang. Wajahnya itu benar-benar mirip dengan yang kutemui di SMP. Tidak mungkin ada orang yang semirip itu, kecuali saudara kembar."

Petir menggelegar. Vian terdiam sejenak mendengar penjelasan Kevin.

"Benar. Apa mungkin yang kau temui itu-"

"Tidak mungkin, Alvian. Erva tidak memiliki saudara kembar." Kevin menatap Vian, menyela pembicaraannya. Dahi Vian berlipat-lipat.

"Bagaimana jika mereka adalah saudara kembar yang terpisah?"

Pertanyaan Vian membuat Kevin menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat seperti mengatakan jangan bercanda. "Tidak, itu tidak mungkin. Aku pernah melihat data diri Erva, di ruang Tata Usaha. Ia anak tunggal, ayahnya telah meninggal. Ia tinggal bersama ibunya, di Shomba. Walaupun aku rabun, aku tidak mungkin salah melihat data itu," jelas Kevin.

"Lalu apakah kau pernah satu SMA lagi dengannya?" Vian kembali bertanya.

Kevin menundukkan kepalanya, lalu kembali melihat rintik-rintik hujan melalui jendela.

"Tidak. Setelah lulus SMP, aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku rasa wajar ia tidak mengenaliku karena aku dan dia dulunya tidak akrab. Tapi mengenai namanya yang tiba-tiba berganti, aku jadi bingung."

Vian terdiam, mencermati penjelasan Kevin, kemudian berpikir. "Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya. Mungkin saja."

Tiba-tiba Kevin menatap Vian, kali ini sangat serius. "Aku peenah melihatnya konsultasi ke psikiater. Waktunya aku tidak begitu ingat, tapi aku yakin tidak mungkin salah lihat. Ia pergi untuk berkonsultasi ke sana. Mungkin ada hubungannya dengan itu."

"Hubungan apa?" tanya Vian dengan cepat.

"Hubungan bahwa ia berkepribadian ganda." Jawaban Kevin langsung diiringi dengan sambaran petir. Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya.

"Apa? Tapi bagainana mungkin? Jangan membuat simpulan langsung!" Kalimat Kevin terdengar seperti lelucon bagi Vian.

"Aku tidak bercanda. Saat itu aku sedang berjalan. Sendirian. Aku melewati sebuah klinik psikiater. Tapi tiba-tiba saja aku melihat Erva, membuka pintu klinik itu, langsung berjalan keluar. Aku memicingkan mata, melihatnya lebih jelas. Sambil aku dekati ia, ternyata benar. Itu adalah Erva. Aku melihatnya membawa secarik kertas dan kantong plastik. Saat aku memanggilnya, ia menatapku sebentar, dan langsung berlari. Dari situlah aku menduga ia memiliki masalah psikologi."

"Mungkin dugaanmu boleh jadi benar. Tapi kau tidak bisa mengambil simpulan seperti itu. Kau belum bisa membuktikannya, bukan?"

"Gadis itu memiliki nama dan sifat yang berbeda. Jelas sekali ia memiliki masalah psikologi, kepribadian ganda!" tambah Kevin dengan nada sedikit tinggi.

Sementara itu Vian hanya dapat terdiam. Ingin sekali menyanggahnya, namun Vian tak memiliki argumen yang kuat. "Ya, mungkin saja."

Kevin mengangguk, menyilangkan tangan di depan dada. "Meskipun aku tak begitu mengenali Erva, tapi aku yakin ia adalah anak yang baik. Ya, dibalik sikap dingin dan cueknya itu. Oh iya, terkadang aku memergoki ia sedang menatap kalung, gelang, atau benda apalah itu namanya."

Mata Vian membulat. "Benda apa?"

"Kalung. Ah, bukan. Sebenarnya itu adalah gelang, namun ia menggantungkan gelang itu di lehernya menggunakan tali kecil. Jadilah seperti kalung," jelas Kevin sambil mengingat-ingat.

"Apa gelang yang dijadikannya kalung itu terbuat dari emas dan ada namanya?" tanya Vian lagi.

Kevin menatapnya, lalu mengangguk. "Terbuat dari emas, memang iya. Tapi soal ada tidaknya nama pada gelang itu, aku tidak tahu. Itulah yang memperkuat argumenku ketika melihat gadis yang kau sebut Reva itu. Kalung yang dipakainya sama dengan Erva. Tidak salah lagi, dia adalah Erva."

Vian terdiam sejenak. Ia kembali berpikir, perihal kalung itu, rancangannya. Baru beberapa hari sejak kalung itu ia rangkai untuk Reva, tapi Kevin tiba-tiba mengatakan ia pernah melihat Erva ketika SMP memakai kalung yang serupa. Pikirannya ditambah dengan mimpi Reva bahwa ia melihat seorang wanita memberikan hadiah ulang tahun berupa gelang emas kepada dua anak kembarnya.

"Hei, ada apa?" pertanyaan Kevin membuyarkan lamunan Vian. Ia menggeleng pelan, tapi masih terus memikirkan hal itu.

"Hujannya masih sangat deras. Kelas juga masih sangat sepi," Vian mengalihkan pembicaraan. Ia melihat jam tangannya. "Padahal sudah pukul 07.01."

"Eh, kalian kelihatan akur sekali." Suara seorang gadis mengejutkan mereka. Vian dan Kevin menoleh bersamaan, mendapati Reva sedang berdiri di belakang mereka sambil memasang senyum lebar.

"Reva?"

"Erva?"

Suara mereka terdengar bersahut-sahutan. Sementara Reva mengerutkan dahinya. Ia melepas jaketnya, melipatnya, lalu meletakkannya di laci meja.

"Sejak kapan kau datang?" tanya Vian.

"Baru saja. Kalian cepat sekali akur. Apa yang sedang kalian bicarakan?" Reva balik bertanya, membuat Vian dan Kevin saling tatap. Tatapan mata mereka seolah mengisyaratkan untuk tidak memberitahu Reva mengenai apa yang baru saja mereka bahas.

Vian tersenyum. "Tidak ada. Kami hanya berbicara sedikit." Ia kemudian menyenggol pelan tangan Kevin, mengajak bekerja sama.

"Ah, iya. Hanya bahas seputar sekolah ini. Kebetulan aku belum terlalu mengenal lingkungan di sini," sambung Kevin.

"Oh, begitu. Ternyata kau bisa cepat akrab. Vian hebat juga, bisa membuat Kevin berbicara santai." Reva mengacungkan jempol, memuji Vian.

"Tentu saja. Ayo puji lagi aku!" goda Vian.

Reva menepisnya, memasang wajah cemberut. "Tidak jadi. Aku tarik kembali kata-kataku mengenai pujian itu. Aku tidak akan memujimu lagi!"

"Merajuk lagi." Vian menepuk pelan kepala Reva sambil tertawa.

Hari itu berlalu lebih lama karena hujan yang tak kunjung berhenti. Pembelajaran pun terhambat karenanya.

Terpopuler

Comments

Kadek

Kadek

mantap kk

2020-08-11

0

akun nonaktifkan

akun nonaktifkan

Aku bomlike yaa tapi sampai disini aja dulu, ntar aku lanjutkan like loh😁

2020-07-16

1

Adine indriani

Adine indriani

aku datang kakak semangat ya👍😊

2020-06-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!