Kevin Ardhana, siswa baru itu terus memperhatikan Reva bahkan hingga waktu istirahat tiba. Saat itu, Reva baru tiba di kelas setelah mengantar buku ke ruang guru. Ia melihat Vian masih duduk di bangkunya, asyik dengan buku-bukunya. Sepertinya ia sedang belajar, karena memakai kacamata. Sedangkan Kevin sedang berdiri di belakang bangkunya.
"Vian, apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Reva. Ia mendekati meja Vian untuk melihat apa yang ia lakukan. Reva menatap Kevin sebentar, ternyata ia juga melakukan hal yang sama. Dengan cepat Reva memutar bola matanya, mengalihkan pandangan.
"Ah, aku sedang mengulang pelajaran tadi," jawab Vian sambil memandangi Reva.
"Kalau begitu, apa aku boleh ikut belajar?" Vian tersenyum, lanjut mengangguk.
"Oh iya, anak baru, namamu Kevin, kan? Apa kau mau belajar bersama juga?" tawar Reva. Namun Kevin menatapnya tanpa ekspresi.
"Dia kembali menatap Reva seperti itu. Memangnya ada apa?" Vian bertanya-tanya di dalam hati.
"Ka-Kalau tidak mau tidak apa-apa. Maafkan aku," ucap Reva menahan rasa takut.
"Tunggu!" katanya. Reva terkejut mendengar suaranya. Lantas ia membalikkan badan, menatap Kevin.
"Apa kau tidak mengingatku?" tanya Kevin tanpa basa-basi. Pertanyaannya membuat Reva dan Vian saling pandang.
"Eh? Tapi kita baru bertemu hari ini. Aku baru mengenalmu," jawab Reva sambil tertawa kecil.
"Tidak. Kita pernah bertemu sebelumnya. Kita pernah satu sekolah," sanggah Kevin. Vian terkejut, terlebih lagi Reva.
"Tidak, kau pasti salah mengira. Aku tidak pernah bertemu denganmu," sahut Reva. Ia terlihat semakin bingung karena perkataan Kevin. Vian melepas kacamatanya, berusaha bergabung dengan obrolan mereka.
"Kalau begitu, siapa nama gadis ini?" Vian angkat bicara dan langsung menanyakannya pada Kevin.
"Namanya adalah Erva. Arselya Erva," jawab Kevin tanpa keraguan.
"Erva?" tanya Reva mengulang perkataan Kevin. Bola matanya membulat. Ia tiba-tiba terdiam, tak merespon.
"Reva? Ada apa?" Vian mulai menyadari ada sesuatu yang aneh.
"Erva? A-Aku..." Suara aneh muncul di kepala Reva. Reva memegangi kepalanya.
"Erva, jangan ambil bonekaku!"
"Erva? Tunggu, aku pernah mendengar nama itu." Reva meremas rambutnya. Suara samar-samar terngiang di telinganya.
"Erva dan Reva, selalu bersama."
"Siapa? Siapa Erva?" Tak berapa lama ia kembali merasakan sakit di kepalanya. Ia meremas kuat kepalanya.
"Reva, apa yang terjadi?" tanya Vian sembari mendekati Reva.
"Reva? Tidak. Namanya adalah Erva," sanggah Kevin. Ia ikut terheran karena gadis yang disangkanya Erva tiba-tiba sakit kepala.
"Erva? Erva?" tanya Reva sambil memegangi kepalanya. Ia terduduk karena merasakan sakit kepala dahsyat.
"Reva? Ya ampun. Ia kembali sakit kepala. Aku akan membawamu ke UKS." Sementara itu Reva semakin merasakan sakit di kepalanya. Kepalanya terasa sangat berat.
"Tidak, aku tidak mau ke UKS." Reva menolak, kembali memegangi kepalanya.
"Reva, jangan keras kepala di saat seperti ini!" tiba-tiba Vian berteriak. Namun Reva tak menghiraukannya. Badannya mulai berkeringat.
"Reva!" Bella berteriak, berlari mendekati Reva.
"Aku... Aku tidak apa-apa. Jangan cemas!" katanya. Reva menutup matanya, masih terduduk di lantai. Berkali-kali ia mengatur napasnya.
"Apa kau masih sakit kepala? Aku akan ke UKS, mengambil obat. Bella, jaga Reva sebentar!" Reva menolak, ia menahan tangan Vian, seperti memberi kode untuk tidak pergi meninggalkannya. Vian menurut, memperhatikan Reva yang berdiam sambil menutup matanya.
***
Flashback
Di suatu ruangan, tampak begitu rapi. Ruangan itu didominasi warna biru. Ada satu ranjang tidur, meja belajar, lemari pakaian, dan beberapa mainan. Terdapat pula dua anak perempuan kembar, sepertinya berusia lima tahun.
"Reva, ke sini sebentar!" seorang anak perempuan terlihat sedang berdiri di depan cermin, bergaya seolah-olah sedang ada kamera di depannya.
"Ada apa?" anak yang satu datang sambil membawa boneka.
"Lihat ke cermin! Kita berdua memang mirip," katanya lagi. Anak yang bernama Reva menampilkan ekspresi yang terkesan biasa saja.
"Reva, tersenyum sedikit. Sini kuperlihatkan caranya." anak itu mengambil boneka yang dipegang Reva. Ia menghadapkan Reva pada cermin, memaksanya untuk tersenyum.
"Erva, kembalikan bonekaku!" teriak Reva. Namun Erva menjulurkan lidahnya, menyembunyikan boneka itu di belakang badannya yang mungil.
"Ambil saja kalau bisa." Reva mencoba menggelitik badan Erva, ia tertawa.
"Jangan main gelitik. Reva main curang!" teriak Erva. Namun Reva tak peduli, ia terus menggelitik Erva hingga tak bisa melawan. Namun tiba-tiba momen hangat itu lenyap.
Flashback Selesai
***
Kembali dalam suasana kelas. Reva, Vian, Bella, dan Kevin. Tak butuh waktu yang lama hingga akhirnya sakit kepala Reva menghilang. "Aku bisa melihatnya," katanya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Vian, bingung dengan perkataan Reva. Bella turut menatapnya.
Reva menghela napas, membenarkan posisi duduknya. "Kejadian yang samar-samar lagi. Aku kembali melihatnya."
"Memangnya apa yang kau lihat?" Bella kembali bertanya. Tangannya memegang bahu Reva, mendesaknya untuk bercerita.
"Bella, sebaiknya kita tidak menanyakannya langsung," Vian angkat bicara. Bella mengerti maksudnya.
"Kau benar. Apa kau masih merasakan sakit, Rev?" tanya Bella. Reva menggeleng, tersenyum ke arah Bella.
"Apa perlu izin pulang lebih dulu?" tambah Bella. Reva menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau. Aku baik-baik saja."
"Baiklah. Kalau kau kembali merasakan sakit, bilang pada kami. Kau mengerti, kan?" Reva mengangguk tanda mengerti. Ia tidak banyak bicara.
"Sepertinya ada yang ia alami. Aku akan menanyakannya nanti," pikir Vian.
Sementara itu Kevin masih berdiri, mematung di tempatnya tadi. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. "Kau... Apa yang terjadi denganmu?" Akhirnya ia bertanya. Mereka menatap Kevin.
"Entahlah. Aku tidak tahu mengapa jadinya begini. Sepertinya hari ini aku kurang sehat," jawab Reva. Ia mencoba berdiri, duduk di bangkunya.
"Bukankah kau adalah Erva? Arselya Erva, satu-satunya temanku di SMP." Reva mengerutkan dahinya, kembali berpikir.
"Erva, ya?" Reva menggoyang-goyangkan kepalanya, mencoba untuk mengingat sesuatu. Namun tak ada yang didapatkannya. Ia menghela napas panjang. "Aku sepertinya pernah mendengar nama itu. Entah kapan dan di mana. Aku sudah lupa."
Perkataannya mengundang pertanyaan bagi Vian dan Bella. Ingin sekali mereka bertanya lebih dalam, namun sepertinya percuma karena Reva tidak mengingat apapun.
"Sepertinya nama itu ada hubungannya dengan Reva," kita Vian dalam hati. Ia menatap Kevin, masih berbicara dalam hati. "Kevin yang menyebutkan nama itu dan mengaku kenal dengan seseorang bernama Erva. Tapi siapa Erva? Mengapa Kevin tiba-tiba memanggil Reva dengan nama itu? Aneh."
"Ada apa? Kau sampai menatapku segitu dalamnya." Kevin duduk ke bangkunya, meninggalkan mereka.
Vian mengalihkan pandangan. "Tidak ada apa-apa," jawabnya.
Sepulang sekolah Vian menawarkan diri untuk mengantar Reva pulang.
"Reva, aku ingin menanyakan sesuatu mengenai kejadian tadi." Vian bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan aspal panas itu.
Reva menatapnya. "Tanyakan saja."
"Saat Kevin memanggilmu dengan nama itu, mengapa kau tiba-tiba sakit kepala?"
"Entahlah. Aku tidak tahu mengapa bisa seperti itu. Aku pikir dia hanya terbalik menyebutkan namaku. Tapi tiba-tiba kepalaku mendadak sakit, seperti ditumbuk-tumbuh bagian sini." Reva menunjuk bagian kepalanya yang tadi terasa sakit.
"Erva dan Reva. Sekilas nama itu memang terdengar mirip. Hanya terbalik sedikit."
Reva tertawa kecil. "Kau benar. Apa kau tahu, Vian? Saat mendengar nama itu, aku seperti pernah mendengarnya sebelumnya. Bahkan aku merasa pernah bertemu dengan orang yang bernama Erva itu. Aneh sekali."
"Oh, begitu."
"Iya. Jangan-jangan aku pernah mengenalnya sebelum aku dirawat di runah sakit. Seperti halnya aku tidak mengenali Bella," Reva menebak-nebak.
Vian menatapnya. Banyak hal yang ingin dikatakan lagi, tapi sepertinya belum saatnya. "Mungkin saja begitu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Kadek
wahh keren nihhh
2020-08-11
0
Raisu
Jejak dulu gan ✌️
2020-07-02
2
Vera Nika Anjani
aku udah mampir n like yaa..
semangat terus nulisnya...
2020-06-30
1