13 | SISWA PINDAHAN

Pagi itu, di kelas terdapat beberapa orang siswa yang sedang berkumpul. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Salah satunya adalah Mira.

"Mira, apa jawaban yang diberikan Reva kemarin?" tanya seorang gadis berambut pendek, Ani. Mira mendengus kesal.

"Tidak ada. Dia menjawab tidak ada hubungan apapun dengan Vian," jawabnya dengan kesal.

"Memangnya benar dia tidak ada hubungan apapun dengan Vian? Rasanya mencurigakan," sahut Shindy.

"Aku juga berpikir begitu. Kemarin Vian jadi pahlawan gadis itu. Tatapannya begitu dingin, aku sampai tidak berani bicara apapun."

"Berani juga Reva mendekati Vian. Aku tidak habis pikir Vian bisa menyukai gadis sepertinya," sambung Shindy.

Mira mengangguk. Ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Reva, merasa ia lebih baik darinya.

"Ya, tapi nyatanya kau bahkan gagal untuk mendekati Vian," ledek Lizha yang disambut oleh gelak tawa dari mereka. Mira yang merasa panas langsung menepuk meja dengan keras. Membuat suasana menjadi hening.

"Cukup. Aku akan membalas Reva karena sudah mempermalukanku!" Mira meninggikan suaranya.

"Tapi bagaimana?" tanya Ani. Mira berpikir sejenak.

"Apa kau mau mempengaruhi Vian agar menjauhi Reva? Kurasa itu tidak mungkin. Apa lagi ketika mengingat bagaimana Vian menolakmu mentah-mentah," jawab Lizha. Teman-temannya kembali tertawa.

"Iya. Saat itu apa kata Vian? Aku sampai lupa," tambah Ani. Lizha mengangkat tangan, ingin memberitahu sesuatu.

"Hentikan! Tentu saja aku tidak akan menggunakan cara itu. Konyol sekali." Mira dibuat emosi oleh teman-temannya. "Aku pasti akan membalasnya," sambungnya.

"Hei, apa yang kalian bicarakan?" suara itu tiba-tiba mengejutkan mereka. Dengan segera mereka menoleh ke sumber suara.

"Vian?" kata mereka serentak. Mereka terkejut mendapati Vian sedang berdiri di sana.

"Apa yang kalian bicarakan mengenai pacarku?" tanyanya lagi. Pertanyaan itu mengejutkan mereka.

"Pacar?" tanya mereka bersamaan, saling menatap satu sama lain.

"Iya, apa ada yang salah?" Vian kembali bertanya. Ia menatap serius wajah-wajah mereka.

"Tidak mungkin. Kemarin Reva bilang tidak memiliki hubungan apapun denganmu," sanggah Mira.

"Lalu kau percaya? Dia mengatakan itu karena terpaksa. Jika ia mengakui hubungan kami, bukankah kau akan mencelakainya?"

"Vian, kau-"

"Cukup, Mira. Karena kalian semua berkumpul di sini, biar kuperjelas. Aku sudah berpacaran dengan Reva. Revania Amanda. Aku peringatkan untuk tidak mengganggunya, apa lagi mencelakainya. Jika aku melihat sedikit saja goresan pada dirinya atau setetes saja air mata yang ke luar dari matanya karena perlakuan kalian, aku pastikan kalian akan merasakannya juga. Jadi jangan ganggu pacarku lagi!" Vian berlalu, meninggalkan kerumunan itu. Ia berdiri di tembok, tepat di sebelah pintu kelas.

"Aku sudah melakukan hal yang benar. Kuharap mereka paham dengan gertakanku dan berhenti mengganggu Reva." Tatapannya kosong. Ia menyandarkan kepala ke tembok, masih melamun.

"Selamat pagi, Vian," sapa Reva sambil tersenyum. Lamunannya dibuyarkan oleh suara gadis itu.

"Oh, selamat pagi," jawab Vian.

"Mengapa kau melamun? Apa kau sakit?" tanya Reva. Ia memeriksa dahi Vian untuk mengetahui suhu tubuhnya. Vian tersenyum, menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Apa kau baru sampai? Mari kuantar ke dalam kelas," kata Vian. Ia menggandeng tangan Reva.

"K-Kau tidak perlu melakukan ini, Vian." Rasanya gugup, tiba-tiba Vian menggandengnya.

"Jangan melepasnya. Aku akan mengantarmu ke dalam, lalu kita bahas kembali mengenai gelang itu," sambung Vian. Reva menurut.

Di dalam kelas masih terdapat kerumunan gadis-gadis itu. Oleh karena itu, Vian sengaja menggandeng tangan Reva dan mengantarnya ke dalam kelas.

"Selamat pagi," ucap Reva yang langsung mendapat tatapan dari gadis-gadis itu. Pandangan mereka tertuju pada gandengan tangan itu. Reva sudah menduga akan seperti itu.

"Sudah, tidak perlu dipedulikan. Mereka tidak penting." Dengan cepat, Vian mengantar Reva menuju bangkunya. Namun Vian belum melepaskan tangannya.

"Vian, kau sudah bisa melepasnya," ucap Reva pelan, hampir berbisik.

"Tidak mau. Bel masuk akan berbunyi lima belas menit lagi. Ikut denganku ke luar." Reva tidak tahu apa yang ada di pikiran Vian. Namun, ia menyetujuinya. Vian bergegas membawa Reva ke luar dari kelas.

"Vian, apa yang ingin kau bahas?" tanya Reva memulai obrolan.

"Mengenai yang kemarin, apa kau menemukan informasi dari Bella?" tanya Vian.

"Ah, itu. Tidak ada yang kudapatkan. Tapi aku merasa Bella menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar dia mau mengatakan hal itu," jawab Reva pelan.

"Oh begitu. Lalu apakah kau masih memakai jimat itu?" Vian kembali bertanya.

"Iya, aku memakainya," jawab Reva. Ia memperlihatkan jimat itu dengan bangganya.

"Wah, aku tidak menyangka kau masih mau memakai benda aneh itu."

"Aku sudah bilang, walaupun aneh, aku tetap akan menyukainya karena kau sudah berusaha membuatnya untukku. Aku menyukainya," ucap Reva dengan wajah yang tersipu malu.

"Kalau kau menyukai benda pemberian seseorang, apa kau juga menyukai seseorang itu?" tanya Vian sembari mendekatkan wajahnya.

"Mungkin," jawab Reva pelan. Ia memalingkan wajahnya karena tidak sanggup menatap Vian lebih lama lagi.

"Aku juga menyukai seseorang yang kuberi hadiah," kata Vian sambil mengetuk pelan kepala Reva. Jantung Reva berdetak lebih kencang.

"Begitu. Jadi kau akan menyukai setiap orang yang kau beri hadiah?" tanya Reva. Ia bisa mendengar helaan napas Vian.

"Salah. Aku memberinya hadiah, karena aku menyukainya," jawab Vian santai. Mata Reva terbelalak, tak percaya dengan apa yang dikatakan Vian.

"Hah? Ma-Maksudku sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Ayo kembali ke kelas!" Reva mengalihkan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya saat ini.

***

Memasuki jam pelajaran pertama.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan siswa baru," ucap Ibu Lizha untuk memulai pelajaran hari ini.

"Siswa baru? Siapa dia?" tanya Jake penasaran.

"Nak, kau sudah boleh masuk," ujar Ibu Lizha seraya memandang ke luar pintu. Tak lama kemudian muncul siswa lelaki bertubuh tinggi dengan memakai kacamata. Tatapannya begitu dingin.

"Silakan memperkenalkan diri," ucap Ibu Lizha lagi. Siswa itu memandangi seisi kelas tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, seperti tidak ada semangat hidup.

"Namaku Kevin Ardhana, pindahan dari SMA 3 Semala. Salam kenal." Suaranya terdengar begitu berat.

"Baiklah. Kau bisa duduk di bangku paling belakang." Jari ibu Lizha menunjuk-nunjuk bangku belakang, dua bangku setelah bangku Reva. Kevin menatap bangku itu, namun kemudian pandangannya teralihkan pada Reva.

"Baik," jawabnya. Ia berjalan menuju bangku yang dimaksud. Ia berhenti sejenak, tepat di sebelah Reva, lalu menatapnya. Reva yang merasa diawasi tak berani menatap balik. Ia menyibukkan diri dengan buku-bukunya.

"Mengapa siswa ini terus memandangi Reva?" pikir Vian.

Tak lama, Kevin kembali berjalan. Helaan napas lega dari Reva terdengar oleh Vian. Sementara itu Kevin terus memandangi Reva, meskipun dari belakang. Vian yang menyadari hal itu merasa ada yang aneh.

Terpopuler

Comments

Kadek

Kadek

2 like dtg nih kk
semangt ya

2020-07-25

1

Nienol

Nienol

ninggli jejak sampai sini dulu

2020-07-10

1

Vera Nika Anjani

Vera Nika Anjani

aku udah mampir n like yaa..

semangat terus nulisnyaa..

2020-06-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!