10 | BERHASIL

Malam itu, jarum pendek jam menunjuk ke angka tujuh. Kondisi rumah masih sepi. Namun tak lama setelahnya, kedua orangtuanya tiba juga di rumah.

Selepas kedua orangtuanya tiba di rumah, Reva langsung menjalankan instruksi Vian.

***

Di ruang tamu, sore tadi.

"Apa kau yakin caramu itu akan berhasil? Rasanya aneh," kata Reva meragukan ide Vian. Dahinya mengerut.

"Tentu saja. Aku yakin seyakin-yakinnya," jawab Vian dengan penuh percaya diri, tanpa keraguan sedikit pun. Bagai ia telah tahu bagaimana akhir dari rencananya.

"Bagaimana jika ibuku curiga dengan rencana ini?" tanya Reva lagi. Vian menghela napasnya, memandangi Reva yang banyak tanya.

"Aduh, Reva. Tidak bisakah kau mencoba optimis sesekali? Hilangkan pikiran negatifmu itu. Yakinlah, ini akan berhasil," ujar Vian berusaha meyakinkan Reva.

"Baiklah, akan kucoba," jawab Reva pelan. Vian tersenyum ke arahnya.

"Ini baru Reva yang kukenal. Oh iya, Va, apa headset-ku ada di sini?" Vian kembali menanyakan perihal headset miliknya.

Reva mengerutkan dahinya. "Headset? Apa kau tidak ingat di mana terakhir kali kau meletakkannya?" Reva balik bertanya.

"Kalau aku ingat, tidak mungkin aku bertanya padamu," jawab Vian sambil mengetuk pelan kepala Reva.

Reva beranjak dari sofa, langsung mencarinya. "Di sini tidak ada," ujar Reva sambil memeriksa meja dan sofa di ruang tamu.

"Aduh, aku benar-benar tidak ingat di mana terakhir kali menyimpannya," gerutu Vian.

"Tunggu, Vian. Apa headset-mu berwarna putih?" tanya Reva. Sepertinya ia mengingat sesuatu.

"Iya," jawab Vian singkat.

"Saat kita ke padang rumput, sepertinya aku melihatmu memakainya," sambung Reva. Mendengar ucapannya, Vian berpikir sejenak.

"Ya ampun, aku baru ingat. Aku melepas headset itu di dekat pohon tempat kita berteduh," gerutu Vian. Ia kesal pada dirinya sendiri yang sangat pelupa. Reva tertawa melihat tingkahnya.

"Dasar Vian si pelupa," kata Reva sambil tertawa.

"Sekarang masih sore. Sepertinya kalau aku cari sekarang masih sempat," kata Vian sambil melihat jam di ponselnya.

"Apa perlu aku bantu?" tawar Reva.

Vian menggeleng kuat-kuat. "Tidak perlu. Kau harus istirahat. Tadi kau pingsan, kalau kau ikut nanti kambuh lagi. Diam di rumah saja, ya!" perintah Vian.

"Baiklah. Kalau begitu hati-hati di jalan," ucap Reva pelan. Vian tersenyum ke arahnya.

"Iya. Aku pergi dulu. Sampai jumpa," ujar Vian. Ia bergegas pergi mencari headset itu.

***

"Dengar, Reva! Nanti tanyakan pada ibumu mengenai kenang-kenangan ketika kau masih kecil. Bersikaplah seolah-olah kau ingin tahu." Kata-kata Vian terlintas di kepala Reva. Sebenarnya Reva ragu untuk menjalankanya, tapi ia tak punya pilihan lain. Lebih baik dicoba dulu, seperti kata Vian.

"Ibu, aku ingin menanyakan sesuatu," kata Reva memulai obrolan. Ia memutar-mutar bola matanya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Ibunya.

"Begini. Waktu itu kalian pernah bilang bahwa kalian tidak memiliki foto ketika aku masih bayi. Tapi apa kalian memiliki benda lain yang menjadi kenangan ketika aku masih bayi?" tanya Reva dengan penuh harap.

"Mengapa kau ingin melihatnya?" Ibunya balik bertanya.

"Aduh, ini tidak ada di rencana Vian," pikirnya. Reva mulai panik. Ia berpikir sejenak, memikirkan alasan yang sekiranya dapat diterima oleh orangtuanya.

"Itu... Aku hanya ingin melihatnya," jawab Reva. "Apa Ibu tahu? Dua hari yang lalu Bella memperlihatkan padaku foto dan mainan ketika ia masih kecil. Aku jadi ingin tahu apakah aku memiliki kenangan saat masih kecil juga. Makanya aku bertanya," jelas Reva. Ia terpaksa berbohong mengenai Bella.

"Kalau saat bayi tidak ada. Ah, tapi saat kau berusia sekitar delapan tahun, sepertinya ada."

Bingo! Itu dia jawaban yang diharapkan Reva. "Apa aku boleh melihatnya?" tanya Reva lagi. Matanya berbinar-binar, sangat mengharapkan Ibunya menyetujui permintaannya.

"Baiklah. Tunggu di sini sebentar!" pinta ibunya yang bergegas masuk ke kamarnya.

"Aku tidak menyangka rencana Vian akan berjalan mulus seperti ini," gumam Reva. Ia tertawa dengan sendirinya.

Tak lama kemudian, ibunya kembali menemui Reva dengan membawa sebuah kotak hitam kecil.

"Ingat, Reva! Saat ibumu sudah membawakan kotak hitam ini, kau harus bersikap seolah-olah belum pernah melihatnya. Jangan membuat ibumu curiga! Setelah kau membuka kotak itu, tunjukkan ekspresi terkejut begitu kau melihat isi dari kotak ini!" Ucapan Vian menggelegar di telinganya. Idenya memang terdengar aneh, tapi tak ada salahnya juga untuk dicoba. Siapa tahu kali ini keberuntungan berpihak padanya.

Sesuai dengan instruksi Vian, Reva menunjukkan ekspresi yang terkejut ketika melihat kotak yang dibawa oleh ibunya.

"Ini adalah satu-satunya benda yang masih Ibu simpan," ucap Ibunya sembari menyodorkan kotak hitam kecil itu. Reva menerimanya dengan sangat senang, walaupun ia telah tahu isi dari kotak itu.

"Apa aku boleh membukanya?" tanya Reva yang dibalas dengan anggukan kepala oleh ibunya. Dengan cepat Reva membuka kotak itu. Lagi-lagi ia menunjukkan kekaguman.

"Ini cantik sekali, Bu. Apa gelang ini benar-benar milikku?" Reva kembali bertanya. Ia mengambil gelang itu dan memeriksanya.

"Tentu saja. Di gelang itu terdapat ukiran namamu," jawab Ibunya sambil tersenyum. Reva memandangi nama yang terukir di gelang itu, seperti yang tadi sore ia lihat. Meskipun telah tergores sedikit, tapi gelang itu masih terlihat sangat indah.

"Aku sangat menyukainya. Apa aku boleh menyimpan gelang ini, Bu?" pinta Reva. Ia menelan ludah, berharap ibunya menyetujui permintaannya. Ia seketika menjadi tegang.

"Jika melihatmu bahagia begitu, Ibu mana bisa menolak permintaanmu," jawab Ibunya. Reva terkejut karena Ibunya menyetujui permintaannya. Karena bahagia, ia langsung memeluk erat Ibunya dan berkata, "Terimakasih, Ibu."

"Aku tidak menyangka rencana Vian akan berhasil tanpa cacat seperti ini," ucapnya dalam hati.

Malam itu pula, begitu ia berhasil mendapatkan gelang itu, ia bergegas memasuki kamar. Matanya memburu ponsel di atas meja, tak jauh dari kasurnya. Tangannya dengan cepat mencari kontak seseorang.

"Tapi ini sudah begitu malam. Kalau aku meneleponnya sekarang, aku hanya akan mengganggunya. Apa sebaiknya aku telepon saja? Dia juga sering menggangguku," gumam Reva.

Tapi gerakan jarinya terhenti. "Tapi dia sudah banyak membantuku hari ini. Masa aku balas mengganggunya malam-malam begini?" pikirnya. Ia meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja.

"Kalau aku telepon, tentunya akan mengganggu. Tapi apa sebaiknya aku kirimkan pesan saja padanya untuk melaporkan keberhasilan malam ini?" pikirnya lagi.

Reva kembali mengambil ponsel, mencoba mengirimkan pesan, lalu menghapusnya. Ia mengetik lagi, lalu dihapus lagi. Seperti itu hingga beberapa lama. "Aku menyerah. Sebaiknya besok saja aku beritahu."

Reva mencoba tidur. Ia ingin segera melalui malam yang panjang, cepat-cepat bertemu dengan pagi. Ingin melaporkan keberhasilan malam ini pada Vian.

***

Terpopuler

Comments

Little Peony

Little Peony

Bagus banget Thor ceritanya 😍
Seru, semangat updatenya Thor ~~~

Salam dari Serendipity dan CEO’s Love Secret 💕

2020-09-30

0

Triana R

Triana R

semangat... semangat

2020-07-26

1

Kadek

Kadek

next 2 like untuk ceritamu yang bgus

2020-07-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!