6 | DISANGKAL

Penjelasan panjang lebar yang diterangkan oleh Vian membuat Reva semakin ingin menguak kebenaran. Ia terus memikirkan mimpi yang menghantui itu.

"Tidak mungkin hanya mimpi biasa," gumam Reva. Ia ingin mencari fakta sesungguhnya, tapi ia tidak tahu harus memulai dari mana. Ia terus berpikir. Bahkan di jalan pulang ia tidak banyak berbicara. Hanya terus menatap kosong ke jalan yang kering karena terik mentari.

"Reva, kau sedang memikirkan apa?" tanya Bella. Ia menatap Reva. Wajah bingung, penuh tanda tanya.

"Aku memikirkan sesuatu yang aneh." Reva tidak mengalihkan pandangannya. Tiba-tiba ia teringat Bella yang merupakan sahabatnya sejak kecil. "Bel, aku ingin bertanya."

"Tanya apa? Tentang mimpi lagi?" tebak Bella. Reva menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan berkata, "Bukan mimpi. Ini sesuatu yang penting."

Bella mengerutkan dahinya, mempersilakan Reva untuk bertanya.

"Begini, Bel. Kita adalah sahabat sejak kecil. Apa aku memiliki saudara?" tanya Reva dengan polosnya. Ia menatap Bella dalam, berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan Reva disambut oleh gelak tawa Bella.

"Aduh, Reva. Itu adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Bukannya sudah jelas kalau kau adalah anak tunggal?" terang Bella sambil menepuk-nepuk bahu Reva.

"Tapi mengapa aku merasa memiliki saudara?" Reva kembali menatap Bella. Ingin memecahkan pertanyaan yang terbesit di benaknya itu.

"Reva, kau adalah anak tunggal. Itu yang aku ketahui," ungkap Bella. Bella heran karena secara tiba-tiba Reva bertanya seperti itu.

Sementara itu, Reva tidak puas dengan jawaban Bella. Ia masih merasa adanya kejanggalan.

"Apa tidak ada hal yang kau sembunyikan?" Reva kembali bertanya. Bella terkejut, lantas menggeleng dengan kuat.

"Tentu saja tidak ada. Kita sudah bersahabat sejak lama. Sejak kita baru berusia delapan tahun. Aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu di rumah sakit," jelas Bella.

"Rumah sakit? Tapi saat itu aku tidak begitu ingat. Aku juga tidak tahu mengapa berada di rumah sakit. Apa kau mengetahui sesuatu?"

"Tidak. Aku juga tidak begitu ingat," jawab Bella. Wajahnya jelas sekali sedang menyembunyikan sesuatu.

Tidak ada informasi yang didapatkan Reva dari Bella. Namun ia tidak berputus asa. Ia terus berusaha mencari informasi dari orang terdekat lainnya.

***

Setibanya di rumah, Reva langsung mencari ibunya. Di lihatnya wanita itu sedang duduk santai di sofa.

"Ibu, aku ingin menanyakan sesuatu," ujarnya sambil berjalan mendekati ibunya.

"Bertanya mengenai apa? Tanyakan saja"

"Apa aku memiliki saudara?" Reva bertanya langsung pada intinya. Pertanyaan ini sontak membuat ibunya terkejut. Raut wajah ibunya seketika berubah.

"Apa maksudmu? Kau adalah putri tunggal. Kau tidak memiliki saudara," terang ibunya. Lagi-lagi Reva mendapatkan yang sama dengan Bella, kekecewaan.

"Ibu, tolong jawab dengan jujur. Apa benar aku tidak memiliki saudara?" tanyanya lagi. Namun ibunya terus memberikan jawaban yang sama. Reva tidak merasa puas sama sekali. Melihat raut wajah ibunya, ia menjadi curiga.

"Tapi mengapa aku merasa memiliki saudara? Aku merasakannya, Bu," tukas Reva.

"Atas dasar apa kau menyimpulkan bahwa kau memiliki saudara?" ibunya balik bertanya. Kali ini wajahnya terlihat sangat serius. Ia meninggikan kepalanya.

"Mimpiku," jawab Reva langsung. Wajahnya terlihat begitu serius, tanpa ada keraguan sedikit pun.

"Mimpi tidak bisa dijadikan landasan untuk itu, Reva. Mimpi itu hanyalah bunga tidur!" sanggah ibunya. Suaranya tiba-tiba meninggi.

"Mimpi yang terjadi selama tiga hari berturut-turut? Apa itu kebetulan? Itu tidak mungkin!" Reva membela diri. Ia sangat yakin dengan arti mimpi itu.

"Persetan dengan mimpi! Itu tidak ada artinya. Mengapa kau tidak percaya pada ibumu sendiri?"

"Tapi aku merasa mimpi itu benar-benar nyata. Sangat nyata!" Emosi Reva meluap-luap. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Napasnya menjadi lebih cepat.

PLAKK!!!

Tamparan itu mendarat tepat di pipinya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia mendapatkan tamparan dari ibunya. Dipegangnya bekas tamparan itu. Air mata bening membasahinya, namun tak begitu deras. Tatapannya kosong jatuh ke lantai.

"Re-Reva, Ibu tidak bermaksud..." Ibunya mencoba menyentuhnya. Suaranya bergetar.

Reva segera berlari menuju kamarnya. Air matanya tak dapat lagi dibentungnya. Ia tidak menyangka ibunya akan melakukan hal itu. Ia mengunci kamar. Mengurung dirinya sendiri di ruangan kecil itu. Membenamkan wajah, bersandar di balik pintu. Terdengar suara ibunya yang terdengar samar.

"Reva, buka pintunya!" perintahnya. Reva tidak mengindahkan perintah itu. Ia terduduk di dalam kamarnya, seorang diri, sambil menangis.

"Padahal aku hanya menanyakan mengenai saudara. Padahal aku hanya ingin tahu," lirihnya. Air matanya membasahi pipi. Ia sangat kecewa.

"Reva, maafkan Ibu. Tolong buka pintunya!" Ibunya terduduk di sisi lain pintu itu. Ikut menangis, menyesali perbuatannya.

Reva tak kuasa menanggapinya. Entah mengapa, perlahan-lahan kantuknya datang. Ia membiarkan mimpi mendatanginya, menghanyutkannya hingga terlelap.

***

"Reva, mengapa kau menangis? Jangan menangis," suara itu mengejutkan Reva.

"Si-Siapa kau?" tanya Reva. Matanya mencari sosok itu. Namun tak ditemukannya apapun.

"Aku adalah saudara kembarmu. Berapa kali harus kukatakan? kita adalah..."

"Kau pasti berbohong. Aku tidak punya saudara. Aku anak tunggal!" potongnya.

"Reva, percayalah padaku," sahut suara itu. Reva masih tidak bisa menemukan sosok di balik suara itu.

"Tapi ibuku menyanggahnya. Tidak mungkin dia berbohong!"

"Percayalah pada dirimu sendiri. Percayalah pada apa yang kau rasakan. Kau akan menemukan jawabannya nanti"

***

Reva kembali terbangun. Lagi-lagi ia mendapatkan mimpi aneh itu. Matanya bengkak karena menangis. Tiba-tiba ia teringat pada ibunya. Betapa terkejutnya ia mendapati ibunya tengah terduduk di hadapannya begitu ia membuka pintu.

"Reva, maafkan Ibu," ucapnya. Dengan segera Reva memeluknya. Lagi-lagi ia meneteskan air mata.

"Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf," balas Reva. Pelukan itu terasa semakin erat. Ibunya menyeka air matanya.

"Kau percaya 'kan kalau kau tidak punya saudara?" Reva hanya mengangguk meskipun hatinya tidak berkata demikian. Jika ingin menyangkal, tidak akan ada gunanya.

"Mengapa aku masih merasa ada yang ibu sembunyikan dariku?" pikirnya. Serasa masih ada yang janggal dari kata-kata Ibunya. Seperti ada hal besar yang disembunyikan darinya.

Sejak kejadian itu, Reva memutuskan untuk tidak membahasnya lagi. Tapi di lain sisi ia masih ingin mengungkap fakta dirinya. Entah bagaimana pun caranya, ia sangat ingin tahu.

***

Terpopuler

Comments

Sept September

Sept September

semangat kakakkkk

2020-08-25

0

Kadek

Kadek

kak aku mmpir lagi
makasi ya
aku nitip like disni

2020-07-17

1

Zanuba Mashud (ririn)

Zanuba Mashud (ririn)

keren

2020-07-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!