...'Siapa pun pria yang memulia'kan wanita, maka ia telah menjaga hati kedua orang tuanya.'...
...🌹🌹🌹🌹🌹...
Sesampainya di parkiran hotel tempat diadakannya acara, Dinda langsung memarkirkan mobilnya dan turun.
Untung saja Dinda sudah diberitahukan di mana kamar Rahimah yang menjadi tempat sang pengantin dirias.
"Dari mana aja sih? Kok baru sampai?" orang pertama yang memarahinya adalah Nurul usai membalas salam darinya.
"Hehe, maaf ... tadi ada sedikit kendala," ucapnya tersenyum santai.
"Kendala apa?" memang Nurul yang selalu ingin tahu.
"Ada deh ... ya ampun Imah, kamu cantik banget ...," ngeles Dinda memuji Rahimah.
"Bisa aja kamu, aku jadi malu," ucap Rahimah bersemu merah seperti buah cherry.
"Mama kamu nggak ikut, Din?" Soraya melihat-lihat dan mencari seseorang di belakang Dinda.
"Mama nggak bisa ikut, soalnya kakek lagi sakit," katanya jujur.
"Nggak apa-apakan Imah? Kalau mama aku nggak bisa hadir!" sesal Dinda.
"Iya, nggak apa kok. Kan kakek kamu lagi sakit."
"Ayo, pengantinnya sudah siap!" kata sang perias ikut menyela.
Dinda, Nurul dan Soraya segera membantu Rahimah berdiri dan membawanya ke salah satu ruangan untuk resepsi pernikahan.
Pintu dibuka, seketika semua mata tertuju pada pengantin yang tengah Dinda bimbing bersama yang lain.
"Apa kamu gugup Imah?" bisik Dinda dan diangguki Rahimah, walau berbisik tapi masih terdengar oleh Soraya dan Nurul.
"Nikmati saja, nanti gugupnya juga hilang kok," ucap Soraya menimpali ikut berbisik.
Rahimah tidak berbicara, tapi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kini mata mereka mengarah pada sang pengantin pria yang sudah berdiri menunggu kedatangan mempelai wanita.
Di samping pelaminan ada sepasang mata yang memperhatikan Dinda sambil tersenyum senang, tetapi sang empuhnya pura-pura tidak tahu.
Usai menyerahkan Rahimah pada Abdar, trio wewek pun turun berbaur bersama tamu ikut menjamu para undangan.
"Hai, sayang!" sapa laki-laki yang tadi memperhatikan Dinda.
"Mas Adit, ngapain ke sini?" Dinda melirik kiri dan kanan, tidak ingin ada yang memperhatikannya bersama Adit.
"Ketemu kamu-lah, kangen tahu," dengan percaya diri Adit mengembangkan senyum manis.
"Ya Allah, mending Mas Adit pergi aja deh! Itu sambut tamu-tamu nya Mas Abdar! Nanti dikira nggak ada ramah-ramah nya lagi," usir Dinda.
Walau sebenarnya Dinda merasa senang dengan kedatangan Adit, tapi ia teringat akan statusnya yang seorang janda membuatnya harus memberi jarak.
"Tapi belum puas liat kamu," kata Adit santai.
"Hati-hati lo, Mas ... nanti kalau Mas Adit ketahuan Mas Abdar kebanyakan ngobrol sama aku, bisa-bisa Mas Adit dipecat," ucap Dinda mengingatkan agar Adit cepat berlalu.
"Mana berani dia pecat aku, yang ada semua kerjaan bikin dia nggak ada waktu sama istrinya," tantang Adit yakin.
Pembicaraan Adit dan Dinda terhenti ketika kehadiran Intan ada di tengah-tengah mereka. "Om Adit! Kata mama, sambut para tamu yang baru datang."
"Kamu ini ganggu aja sih!" kesal Adit.
Dinda mengulum senyum, melihat air muka Adit yang berubah keruh.
"Cepetan Om ... nanti kalau kelamaan, bisa-bisa di samperin mama."
Sembari berdecak Adit langsung berbalik badan dan sempat melirik Dinda yang tengah mentertawakannya.
Menikmati acara dan hidangan yang disajikan, Dinda tak sengaja melihat sekelebat bayangan seorang pria yang sangat Dinda kenal.
Menajamkan penglihatannya guna mengenali orang tersebut, Dinda tersentak kecil ketika dugaannya itu ternyata sangatlah benar.
"Kaamil," gumam Dinda tak percaya.
Dari sejak awal Dinda menyadari keberadaan Kaamil, pandangannya pun tidak lepas dari sang adik. Saat dirasa tidak ada yang mengajak adiknya berbicara, Dinda bergegas menariknya ke luar aula resepsi pernikahan dan sedikit menjauh dari tempat tersebut.
"Hei, apa-apaan ini?" hampir saja Kaamil menyentak tangan Dinda kasar jika tidak melihat wajahnya.
"Kakak," pekiknya.
"Kenapa nggak bilang, kalau kamu mainnya ke sini?" tanya Dinda menahan kesal.
"Hehe, ternyata kakak ke acara yang ini juga ya?" menjawab pertanyaan dengan pertanyaan sambil menggaruk kepalanya dan nyengir.
"Ampun, Kaamil ... kenapa kamu nggak bilang?" kesal Dinda langsung memiting leher Kaamil.
"Ampun kak, ampun ...," rintih sang adik sambil setengah membungkuk karena tubuh kakaknya lebih pendek.
"Jawab!" sungut Dinda.
"Lepaskan dulu! Baju sama rambut aku jadi berantakan," keluhnya.
Dengan perasaan kesal Dinda melepaskan sang adik, dia kembali menelisik baju Kaamil. Seingat nya tadi Kaamil mengenakan celana jins dan jaket kulit, tapi sekarang terlihat jauh lebih tampan ketika memakai jas dan celana kain.
"Apa?"
Kaamil hanya bisa nyengir mendapati kekesalan Dinda.
"Aku aja nggak tau kalau Kakak ke acara ini juga, aku 'kan cuman dapat perintah dari papa buat gantiin papa," jawab Kaamil apa adanya.
"Bukan itu, yang kakak tanya kenapa kamu nggak jujur aja tadi kalau mau ke acara pernikahan?"
"Nggak apa-apa, takutnya tadi Kakak malah ikut kalau aku bilang."
"Ya kalau tujuannya sama, mending tadi Kakak ikut kamukan?"
"Kan, bener! Aku nggak mau ngajak Kakak, soalnya tadi teman-teman aku juga ikut. Takutnya nanti mereka malah merayu Kakak."
Itu sebabnya Kaamil tidak mau sampai kakaknya tahu kalau dirinya juga pergi ke acara pernikahan, tapi Kaamil juga tidak tahu kalau acara yang mereka hadiri itu sama.
"Emang mereka berani merayu Kakak?"
"Ck, jangan menantang mereka Kak. Bahkan usianya yang seumur mama saja mereka berani membawanya ke hotel dengan meminta imbalan uang."
Dinda bergidik ngeri mendengar cerita Kaamil tentang teman-temannya, "Apa kamu juga sama seperti mereka, Mil?" suara Dinda berubah dingin, takut sang adik juga seperti itu.
"No," jawab Kaamil cepat dan yakin.
"Jangan samakan aku sama seperti mereka, aku tau bagaimana menempatkan dan memperlakukan seorang wanita dengan semestinya. Apa lagi aku juga punya dua wanita yang begitu berharga seperti mama dan Kakak. Jadi aku tidak akan menyentuh wanita sebelum kata sah diucapkan, karena itu sama saja aku merendahkan kalian," kata Kaamil serius.
Dinda menghela napas lega, setelah mendengarkan penjelasan Kaamil. Namun, Dinda juga tidak ingin kecolongan, "Sebaiknya jangan berteman lagi dengan mereka, bisa-bisa nanti kamu ikut terjerumus," khawatir Dinda.
"Kakak tenang saja ... walau mereka seperti itu, mereka tidak akan berani mengajakku melakukan hal itu. Asal aku juga tidak pernah ikut campur dengan urusan mereka."
"Tetap saja Kakak khawatir, sebaiknya cari teman yang lain saja."
"Iya ... akan ku usahakan," ujar Kaamil mengalah.
"Jangan hanya diusahakan, tapi HARUS!" kata Dinda penuh penekanan diujung kalimatnya.
"Iya, iya ...," ujarnya pasrah.
Lebih baik Kaamil mengiyakan, kalau tidak maka kakak nya itu tidak akan berhenti menasehati nya di lorong hotel.
Tidak jauh dari tempat mereka berdebat, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sedari pertama mereka keluar dari dalam aula.
"Baara," panggil seseorang mengalihkan atensi nya dari Dinda dan Kaamil sambil memengang pundandaknya.
"Iya, mas Lintang?"
"Ayo masuk! Kenapa kau masih di sini? Memangnya apa yang kau lihat?" mengikuti arah pandang yang tadi menjadi pusat perhatian lelaki yang bernama Baara.
"Tidak ada, ayo kita masuk!" Baara mengelak dan langsung menyeret orang itu ke dalam aula.
"Dasar wanita," gumamnya sambil berlalu masuk.
BERSAMBUNG ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Zy Lin
bau-bau cogan
2022-07-11
1
👋🏻 emak chimon 🐣
coyyy, barbar sekali kau dinda..
2022-07-11
2
🐈ˢᵏ🎀Vin Vitri🌹
sdh di favoritkan ya
2022-07-11
1