Bab 3. ALASAN MENIKAH

"Zalfa kamu yang sabar ya sayang... Mama dan Papamu baru saja mengalami kecelakaan. Dan ternyata mereka tidak tertolong." ucap Pakde sambil memeluk Zalfa.

"Apa? Jangan bercanda Pakde! Ini tidak mungkin, Pakde bohong kan?" sahut Zalfa sambil meronta ingin melepaskan pelukan pakdenya.

"Sabar sayang... Ini musibah, kamu harus ikhlas ya Nak?" ucap Bude berusaha ikut menenangkan Zalfa.

"Enggak! Pakde dan Bude pasti bohong. Zalfa mau melihat mereka, yang di dalam pasti bukan mereka. Kalian pasti salah orang." teriak Zalfa sambil menangis histeris.

Zalfa melepaskan pelukan mereka, dia masuk ke dalam setengah berlari, dia memelankan langkahnya saat mendekati kedua brangkar yang telah ditutupi kain putih itu.

Deg deg deg...

Jantung Zalfa berdetak tak menentu. Semakin mendekat, suasana hatinya semakin tak menentu.

Pakde dan Bude masih setia mengikuti di belakangnya. Mereka juga masih shock dengan kejadian tak terduga ini. Namun mereka harus jadi penguat untuk keponakannya ini.

Perlahan tangan Zalfa naik dan menyentuh ujung kain yang menutupi kepala salah satu mayat yang ada di brangkar tersebut. Tangannya bergetar saat rambut mulai terlihat. Meski hanya ujung rambut, zalfa mengenalinya.

Rambut papanya yang selalu dia elus-elus saat merajuk atau merayu karna menginginkan sesuatu dulu saat masih kecil. Dan saat Zalfa sudah besar pun dia selalu senang memijit kepala papanya, entah itu karna memang sedang pusing, atau sekedar mencari perhatian papanya.

Setelah seluruh kepala terbuka, tangis Zalfa kembali pecah.

"Papa... Bangun Pa! Jangan tinggalin Zalfa, Zalfa akan patuh Pa. Jangan tinggalin Zalfa! Papa..."

Dengan tak sabar Zalfa membuka lagi kain penutup mayat yang satunya.

"Mama... Bangun Ma... Zalfa sama siapa kalau kalian pergi. Kalian pasti sedang bercanda kan? Ma... Bangun!" tangis Zalfa makin kencang, tubuhnya ambruk di lantai masih sambil menangis.

Bude menarik Zalfa ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan.

"Sayang... Manangislah, tidak apa-apa. Luapkanlah, jangan dipendam! Tapi ingat setelah ini kamu harus mangatur emosimu. Lihatlah mereka. Bahkan Tuhan tak membiarkan mereka merasakan sakit berkepanjangan. Insya Allah, mereka meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Doakanlah mereka sayang. Kamu sayang sama Papa dan Mama kan?" ucap Bude sambil mengelus punggung Zalfa agar dia tenang.

Meski masih menangis sesenggukan, namun Zalfa masih mendengar apa yang dikatakan Budenya. Ini terlalu mendadak, tentu saja siapa pun akan sangat terpukul dan sulit menerima ini sebagai kenyataan yang harus dia jalani.

$$$$$$

Setelah proses pemakaman selesai Zalfa dipapah pulang oleh Budenya.

Di rumah masih nampak tetangga yang ada di sana untuk membereskan meja dan kursi yang dipakai untuk duduk pelayat tadi. Di sana juga masih ada terparkir mobil mewah yang Zalfa sendiri pun tidak kenal pemiliknya. Entahlah, Zalfa tidak menghiaraukan. Pikirannya masih kacau. Dia sedang berusaha menata hatinya.

"Pak... Bu... Maaf sekali lagi. Meskipun kami tahu kata maaf tidak akan mengembalikan keadaan mereka. Tapi setidaknya izinkanlah kami untuk bertanggung jawab." Ucap seorang pria paruh baya dengan nada penyesalan. Ternyata pria itu yang menabrak orang tua Zalfa.

Mereka sangat berterima kasih kepada keluarga Zalfa karna mau menyesesaikan kejadian ini dengan jalur kekeluargaan.

Meski sudah memberikan uang untuk santunan yang jumlahnya tidak sedikit, namun sebagai seoarang manusia yang masih punya hati, tentunya mereka juga memikirkan perasaan Zalfa dan masa depannya.

Zalfa yang baru saja selesai melaksanakan ujian nasional, belum tahu kapan ijazahnya akan di terima, tapi orang tuanya sudah harus meninggalkannya seorang diri.

"Sudahlah Pak, Bu... Saya tahu ini hanya musibah. Doakan saja agar kami bisa kuat menghadapi ini, terutama anak semata wayangnya. Doakan agar dia bisa melanjutkan hidupnya dengan baik, jika pun tidak bisa kuliah, setidaknya dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak." ucap Pakde.

"Karena itulah, saya mohon. Biarkan kami membawa Zalfa. Saya.... Saya ingin meminang nak Zalfa untuk putra saya Ervan. Jika Bapak mengizinkan, kami akan kembali dengan anak kami. Meskipun hanya secara siri kami ingin langsung menikahkan mereka. Untuk meresmikan secara hukum negara nanti bisa menyusul." ucap pria yang diketahui bernama Pak Gery.

Pakde hanya mengangguk-anggukkan kepala, sesaat dia menengok ke arah Zalfa yang sedang duduk di dekat jendela sambil memandang ke arah luar dengan tatapan kosong.

"Terima kasih dengan maksud baik Pak Gery, namun ini bukanlah perkara mudah Pak. Lihatlah, Zalfa tidak sedang baik-baik saja. Saya rasa, waktunya tidak tepat membahas ini sekarang. Kalau saya pribadi, saya tidak kebaratan, asal Zalfa bisa bahagia itu sudah cukup." tutur Pakde yang sangat tahu perasaan Zalfa.

Mereka tahu pasti bahwa Zalfa adalah gadis yang penurut, dia tidak pernah meminta macam-macam pada orang tuanya karena dia sadar bahwa mereka bukan orang kaya yang bisa membeli ini dan itu dengan mudah.

"Baiklah Pak, mungkin lain kali saya akan ke sini lagi. Tapi saya minta tolong, kalau Zalfa sudah agak tenang, tolong bujuk Zalfa agar mau menerima permintaan saya Pak." pinta Pak Gery dengan nada memohon.

"Baiklah saya usahakan untuk membujuknya." ucap Pakde menenangkan.

Istri Pak Gery, Bu Naya menghampiri Zalfa lalu meraih telapak tangannya.

"Yang sabar ya sayang, maaf tante permisi pulang dulu. Tante harap, kita akan lebih sering bertemu. Zalfa anak yang tangguh dan kuat. Tante tahu itu." ucap Bu Naya sambil menepuk bahu Zalfa lalu memeluknya.

Zalfa tersadar dari lamunannya, dan menoleh ke arah Bu Naya. Bahkan Zalfa tak mendengar abrolan mereka tadi.

Zalfa mengangguk dan tersenyum samar mendengar ucapan Bu Naya. Meski masih bingung, apa arti berharap akan sering bertemu tadi, Zalfa tak begitu memikirkannya.

Setelah 3 hari kepergian orang tuanya, Zalfa sedikit demi sedikit mulai memikirkan masa depannya. Zalfa ikhlas dengan takdir yang dijalaninya, hanya saja jika masih sulit untuk melupakan bukankah itu hal yang wajar.

Pakde sudah menyampaikan niat baik Pak Gery. Dia hanya ingin Zalfa bahagia, apapun keputusannya Pakde akan mendukung.

Zalfa sendiri masih enggan untuk menerima tawaran Pak Gery. Menikah belum ada dalam rencanya untuk saat ini. Dia juga belum tahu orang yang akan menjadi suaminya.

"Sehat Nak?" tanya Om Gery saat berkunjung menghadiri acara 7 hari almarhum orang tua Zalfa.

Kali ini Om Gery bukan hanya datang dengan Bu Naya, namun juga seorang pria muda, mereka mengenalkannya sebagai anaknya, Ervan.

"Zalfa sudah lebih baik Om." ucap Zalfa lembut sambil tersenyum. Sejenak dia beralih pada Ervan, lalu menunduk.

"Saya Zalfa Mas." ucapnya kemudian.

"Saya Ervan." jawabnya singkat.

"Apakah Pakdemu sudah menyampaikan maksud kami Nak?" tanya Bu Naya langsung.

Zalfa manarik nafas panjang, sebenarnya dia belum sempat memikirkan untuk memberi jawaban apa. Pakde baru kemarin menyampaikan dan baru semalam Zalfa melakukan istiqoroh.

"Maaf Om, Tante... Jika kalian melamar saya hanya semata-mata merasa kasihan dan merasa bertanggung jawab, saya rasa sebaiknya Om dan Tante tidak usah khawatir. Saya sudah menerima semua ini sebagai takdir. Saya bisa menjalani semuanya dengan lapang dada." ucap Zalfa dengan tenang tanpa ada nada emosi sedikitpun. Tak lupa senyum selalu dia suguhkan di setiap akhir kalimatnya.

Hal itu justru semakin membuat Gery dan Naya semakin yakin untuk menjadikan Zalfa sebagai menantunya.

" Tidak Nak, kami memang yakin ingin kamu jadi menantu kami, iya kan Van?" ucap Tante Naya sambil menyikut Ervan.

"Eh.... I... Iya Ma. Ervan mau." jawab Ervan tergagap.

Benarkah mereka akan memperlakukanku dengan baik? Ya Allah, aku harus jawab apa? Tanya hati Zalfa.

Tak lama Bude datang membawa teh dan beberapa camilan.

"Silakan diminum Pak, Bu.. Seadanya." ucap Bude.

Sepertinya Bude melihat kegelisahan dari sikap Zalfa, dia mengelus lengan Zalfa sambil berkata, "Zalfa, apapun keputusan kamu Bude setuju. Asalkan kamu bahagia, kami juga ikut bahagia."

Pakde kemana sih, ko ga kelihatan. Bagaimana ini? Ya Allah, tuntun langkah hamba, semoga keputusanku ini benar. Jika pun salah, maka jagalah hamba. Zalfa merapalkan doa dalam hati.

Akhirnya Zalfa pun menerima lamaran itu. Seperti rencana Gery dan Naya, mereka pun sepakat untuk ojab qobul dulu secara agama. Baru nanti setelah proses kelulusan baru meresmikan secara hukum negara.

$$$$$$

Setelah menikah Zalfa diboyong ke rumah minimalis Ervan. Tadimya Naya ingin mengajaknya tinggal di rumah utama, namun Ervan menolak dengan alasan ingin mandiri. Orang tua Ervan pun akhirnya memakluminya.

Jika bukan karena ancaman Papanya yang tidak akan mewariskan hartanya pada Ervan, sebenarnya dia juga enggan menuruti permintaan orang tuanya untuk menikah.

Mereka tidak menjelaskan apa-apa tentamg pernikahan ini.

'Anak kecil' itulah julukan yang selalu dia sematkan untuk Zalfa sejak pertama kali bertemu. Padahal dari sisi manapun Zalfa tak terlihat seperti anak kecil. Postur tubuhnya tinggi, wajahnya memang baby face lebih terlihat imut-imut. Itu adalah daya tarik tersendiri, namun tidak bagi Ervan karena matanya telah tertutup oleh janjinya pada sang kekasih untuk menunggunya. Sudah beberapa bulan ini dia tidak pulang karna pekarjaannya sebagai model.

Ervan terbiasa melihat wanita yang dicintainya itu dengan pakaian terbuka, maka saat melihat Zalfa yang berkerudung dia malah merasa illfeel. Mungkin setan sudah merasukinya.

"Kamarmu di sana!" ucap Ervan singkat tanpa berniat mengantar atau membantu membawakan barang-barang Zalfa.

Zalfa masih mencerna ucapan Ervan. Dia masih berdiri terpaku.

Jadi kami tidur terpisah. Sebenarnya pernikahan apa yang sedang aku jalani? Ah tidak, jangan berburuk sangka dulu. Ucap Zalfa dalam hati.

"Iya Mas." jawab Zalfa singkat lalu menuju kamar yang ditunjuk oleh Ervan.

Tadi sebelum mereka berpisah dengan orang tua Ervan, bu Naya sempat memberinya ATM, Zalfa sudah menolak namun Naya memaksanya. Namun di mata Ervan itu hanyalah sandiwara saja. Zalfa pasti hanya ingin memanfaatkan kebaikan orang tuanya saja, begitu pikirnya.

"Jangan berharap aku akan memberimu peluang untuk menipuku. Kehidupanmu di neraka akan dimulai." gumam Ervan.

Sejak saat itu, Ervan jarang sekali bertegur sapa dengan Zalfa. Di rumah itu tidak ada pembantu, hanya ada orang yang akan membersihkan rumah 2 hari sekali. Zalfa tetap berusaha melaksanakan tugasnya sebagai istri dengan baik, meski keberadaannya seperti tak dianggap. Zalfa tak canggung mengerjakan pekerjaan rumah, untuk menyapu dan mengepel itu hanya ia lakukan kamarnya dan dapur. Sementara yang lain tetap dikerjakan oleh pegawai yang bertugas membersihkan rumah.

Atm yang di berukan Naya sudah dikembalikan dengan alasan suaminya sudah memberikan nafkah. Dia hanya tidak mau nantinya dibilang serakah. Uang yang dia bawa dari rumah pun sudah menipis. Meski uang santunan yang diberikan Gery dan Naya banyak, namun semua itu dititipkan pada Pakde, untuk biaya slametannya Papa dan Mama, katanya.

Setelah 2 minggu menikah akhirnya temannya menawarkan pekerjaan di hotel sebagai house keepping. Tak masalah, asal halal. Apalagi ijazah pun dia belum punya. Dia belajar menyesuaikan dengan pekerjaannya dengan baik. Ervan pun tak peduli apa yang dilakukannya. Namun sayang, peristiwa hari ini membuatnya kehilangan pekerjaan.

"Tak apalah, besok bisa cari kerja lagi. Semangat Zalfa... Mama dan Papa ingin melihatmu bahagia dari sana." ucap Zalfa bermonolog.

TBC...

Semoga guka dengan karya baruku

Mohon dukungannya, tekan 👍 dan ❤️ ya...

Makasih❤️❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!