CINTA DRUPADI
DRUPADI
Suara gendang terompet gading dan segala bebunyian terdengar ditabuh memekakkan telingaku.
Dan disana, di pelataran aula agung, duduklah berpuluh puluh ksatria yg penuh semangat beradu aji diri menunggu dimulainya sayembara yang ayahanda buatkan untukku demi mencari menantu takdirnya.
Selirih angin yang berhembus, kupanjatkan doa dan asaku pada para Dewata. Kuingin mendengar beritamu wahai ksatriaku.
Apakah bumi sudah menelanmu beserta saudara saudara lakimu ?
Oh Angin.
Tiadakah engkau mendengar kabar ksatriaku ?
Kelu lidahku saat menjawab pertanyaan ayahanda setiap ksatria kerajaan tetangga datang meminangku .
Apalagi saat kudengar berita yg bersliweran di istana, jika Suyudana juga tertarik padaku. Entah karena keberadaanku atau karena kerajaan ayahandaku..Aku tidak tau.
Karena sungguh itu memuakanku.
Wahai pangeranku,
saat pertama aku melihatmu berlatih dengan panahmu, hatiku tidak pernah lagi merasa damai.
Setiap saat, teringat jelas tawa malu malumu setelah berhasil memanah burung kayu yg dipasang guru Durna di kait berputar. Ketenangan, kepandaian dan wajah tampanmu sungguh telah memporakporandakan jiwaku.
Dan disinilah aku.
Mata nanarku mencari keberadaanmu diantara ksatria dan pangeran pangeran itu.
Adakah kamu disana belahan jiwaku ?
Lamat lamat aku mendengar kakanda Destrajumna mengumumkan syarat sayembara ini.
Terdengar mustahil.
Dan batinku bergolak karena aku tahu yang bisa melakukan nya hanya pangeranku.
Kangmas Drestajumna dibantu Paman patih Drestaketu telah mendirikan tiang setinggi tujuh puluh depa, yang di puncaknya terikat sehelai rambutku.
Dan para raja dan pangeran dari berbagai negara berkumpul di dekat tempat itu, sedangkan Ayahanda Prabu Drupada, Ibunda Ratu Gandawati, Paman Arya Gandamana, Mbakyu Srikandi dan aku menonton dari kejauhan.
Terdengar suara Kangmas yang kemudian berteriak lantang," Barangsiapa mampu memanah sehelai rambut Dewi Drupadi yang terikat di atas tiang tinggi sambil memandang cermin menggunakan Busur Gandiwa, maka ia berhak memperistri Dewi Drupadi."
Dalam hati aku sangat tau jika busur Gandiwa yang telah disiapkan di dekat tiang sangat berat. Bahkan untuk mengangkatnya dibutuhkan seratus orang prajurit perkasa.
Beberapa waktu menunggu, dari tempatku duduk, aku melihat Adipati Jayadrata dari kerajaan Banakeling maju ke tengah gelanggang. Wajah dan lagaknya membuatku memilih memandang cunduk manik rambut yang sedari tadi dalam genggamanku. Dari suara bibi dayang di belakangku aku tahu dia berusaha mengangkat Busur Gandiwa dengan sekuat tenaga namun gagal.
Rasain.
Semoga kejadian ini bisa mengurangi kadar songongnya, karena Adipati Jayadrata langsung keluar arena dan memanggil kusir keretanya mengabaikan riuh ejekan dari para penonton, mengiringi kepergiannya.
Peserta yang kedua adalah Prabu Jarasanda raja Magada.
Dalam hati aku berpikir senang, membayangkan dengan wajah seperti apa si tua sombong itu akan meninggalkan arena tanding ini.
Walau awalnya kepercayaan dirinya setinggi langit, ahkirnya ia tahu juga kehebatan Busur Gandiwa. Karena semakin ia mengerahkan tenaga, busur itu akan terasa semakin berat.
Huuuft..
Senyum kutahan sebisa mungkin supaya tidak muncul kentara di bibirku.
Dengan wajah merah menahan malu, ia pun undur diri kembali ke negerinya tanpa berpamitan kepada kami.
Peserta yang ketiga adalah paman Prabu Salya dari kerajaan Mandraka. Paduka paman berkata bahwa dirinya ikut sayembara ini bukan untuk memperistriku bersanding dengan bibi Ratu, tetapi untuk menjadikanku sebagai menantu.
Maaf paman.
Walau aku tahu paman prabu hebat sakti mandraguna dengan banyak ilmu kanuragan, tapi saat ini aku berdoa untuk kegagalan paman.
Dari kejauhan ayahanda mempersilakan sahabatnya itu untuk mencoba. Paman Prabu Salya pun mengerahkan Aji Candabirawa untuk mengerahkan para raksasa ganas dari dalam dirinya agar turut membantu mengangkat Busur Gandiwa. Namun demikian, semakin mereka berusaha, busur pusaka itu terasa semakin berat. Prabu Salya akhirnya menyerah. Ia memasukkan kembali para raksasa Candabirawa ke dalam tubuhnya, dan berjalan ke arah kami untuk berpamitan.
Yeay!
Setelah Adipati Jayadrata, Prabu Jarasanda, dan Prabu Salya pulang meninggalkan arena tanding, para raja dan pangeran lainnya merasa gentar untuk mencoba.
Namun perwakilan dari Kerajaan Hastina, yaitu Pangeran Duryudana yang datang bersama adik-adiknya yang tidak tau adab itu berserta Patih Sangkuni dan Raden Basukarna berteriak kepada ayahanda prabu. Duryudana merasa sayembara ini terlalu sulit untuknya dan ia tidak mau menjadi bahan tertawaan para hadirin yang menonton seandainya ia ikut bertanding dan kalah.
Lalu kulihat Raden Basukarna berbisik bisik kepada sahabatnya. Sepertinya dia yang akan maju mewakili keikutsertaan Duryudana di pertandingan ini. Dari yang pernah kudengar, Raden Basukarna pandai memanah bahkan di beberapa latihan bisa menyamai pangeranku.
Dan lihatlah..
Senang akan mendapat jackpot, Duryudana tertawa dengan congkaknya dan menyemangati sahabatnya untuk maju tanding.
Badan kekar dan langkahnya mantab mendekati busur Gandiwa. Meskipun biasanya ia bersikap angkuh dan sombong, aku melihatnya memandang Busur Gandiwa dengan penuh penghormatan. Setelah menyembah tiga kali, ia lantas mengangkat busur pusaka tersebut.
Jaaaangaann!
Mengapa Busur Gandriwa seolah merelakan dirinya diangkat ?
Jika orang lain merasa Busur Gandiwa sangat berat, dia bisa memegangmu dengan sangat ringan dan juga lentur.
Trang..trang..trang..dung..dung..dung..
suara gendang ditabuh dg ritme yang riuh semakin memeriahkan suasana.
Para hadirin pun bersorak-sorak memuji Raden Basukarna anak Adipati Adirata sebagai calon pemenang.
Dewata Agung,
aku tidak mau menjadi hadiah untuk Suyudana, jeritku dalam hati.
Tekatku sudah keras, aku harus segera menggagalkan kepesertaannya.
Kuhampiri Raden Basukarna yang sudah bersiap hendak membidik sasaran melalui cermin.
"Raden Basukarna, tidak kah kau mendengar bahwa pertandingan ini hanya boleh diikuti oleh para Raja, Pangeran dan ksatria..?Aku harap kamu memahami posisi dan status asalmu! Aku tidak sudi menjadi istri seorang kusir kereta."
Aku berharap nada lembutku tidak akan memancing kemarahan orang orang Hastinapura. Karena bagaimanapun juga tidak ada manfaatnya jika berselisih paham dengan negara sekuat dan sebesar mereka.
Tiba tiba kudengar suara ayahanda disamping kami. Rupanya ayah menyusulku ke atas arena." Drupadi jaga bicaramu. Kyai Adirata ayah Raden Basukarna bukan lagi seorang kusir kereta, tetapi sudah diangkat menjadi adipati di Petapralaya ".
Namun, aku tetap tidak bersedia jika Raden Basukarna melanjutkan sayembara." Tidak ayahanda..Mohon maafkan ananda. Meskipun kini Raden Basukarna sudah menjadi anak seorang adipati, namun itu adalah pemberian Pangeran Duryudana. Yang namanya kaum sudra tetap berjiwa rakyat jelata, meskipun memakai baju ksatria bangsawan."
Kulihat Raden Basukarna semakin marah atas kata kataku. Ia meletakkan Busur Gandiwa, lalu berkata semoga suatu hari nanti aku mendapatkan pembalasan, dihina di depan umum. Dan tanpa malu Ia berharap semoga dirinya panjang umur dan bisa menyaksikan penghinaan atasku tersebut. Setelah mengutuk demikian, Raden Basukarna lalu turun meninggalkan arena dan pergi dengan wajah merah padam.
Ayahanda prabu memandangku dengan marah dan menyuruhku segera pulang ke kaputren. Hatiku penuh oleh banyak emosi. Campur aduk memenuhi rongga dada. Marah, bahagia, lega, takut namun juga cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Ratmoko Ari
Josssssssssssssssssssssss
2022-03-29
0
Ratmoko Ari
jossssssss
2021-06-18
1
dite
baru kelar bab 1 😆
pengen jitak drupadi 😒
2021-05-31
1