Joana membuka matanya, mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras berulang kali. Tubuhnya gemetaran, suhu tubuhnya panas tinggi. Tertatih, dengan pandangan samar-samar, dia berjalan menuju pintu kamar. Dengan sangat-sangat terpaksa dia berupaya berjalan, tubuhnya seakan melayang-layang. Joana sakit. Akibat hujan-hujanan malam tadi, demam dan flu kini melandanya.
“Itu pasti nenek,” gumamnya pelan.
Joana membuka pintu, “Nenek ke mana aja? Joana kangen, Nek…” lirihnya sebelum melihat siapa yang ada di hadapannya.
“Bangun! udah siang, berhentilah bermimpi!” sentak seseorang di hadapannya dengan nada tinggi.
Joana terperanjat kaget, ah ya… dia lupa kalau nenek tak ada di rumah, wujud nenek yang baik, penyayang dan lemah lembut, telah berubah dan berganti menjadi seorang pria tampan nan kasar yang menemaninya di rumah ini. Tidak, buka menemani, mungkin lebih tepatnya memusuhi dan menyusahkannya.
“Ada apa ya Pak?” Joana memegang tengkuknya yang tiba-tiba merasa merinding saat angin menerpa kulitnya, dia kedinginan.
“Ada apa katamu? lihat jam berapa sekarang? dan kamu masih mau malas-malasan?!” Alva menunjuk tepat pada arloji mahal yang melingkar di tangan kanannya. “Hampir jam delapan, Joana.”
“Iya Pak, saya tau, tapi saya-“
“Tolong pindahkan motor bututmu itu, mobil saya nggak bisa keluar!” titah Alva, lalu melangkah meninggalkan Joana begitu saja. “Saya tunggu sekarang!” teriaknya lagi dari jarak beberapa meter.
Joana lupa jika dia memarkirkan motornya di belakang mobil lelaki itu, dia tidak mau merasa bersalah. Salah siapa Alva meletakkan mobilnya di tengah-tengah tanpa memberi akses untuk motor Joana melintas ke dalam garasi.
Langkahnya gontai, Joana berpegangan pada apa saja yang ada di dekatnya, dinding, lemari dan kursi. “Oh ya kuncinya.” dia melupakan kunci, dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Rasa pusing di kepalanya terus melanda, rasanya seperti berputar-putar. Namun, Joana tetap berusaha membuka tasnya untuk mencari kunci motor, akhirnya ketemu dan kini berada di dalam genggamannya. Tapi tenaganya tidak sekuat itu meski Joana mencoba kuat. Pandangannya tiba-tiba kabur, tubuhnya seakan melayang dan terhempas begitu saja di atas ranjang, dengan kedua kaki terjulur ke bawah.
“Astaga, kenapa lama sekali, dia sengaja? atau jangan-jangan, dia mandi, dadan dulu baru keluar kamar?!” lelaki angkuh itu menggerutu. Tak sabar menanti Joana, dia kembali lagi ke dalam. Apa yang dilihatnya kini benar-benar berhasil membuat emosinya memuncak.
“Kurang ajar!” di matanya, Joana tampak sedang tidur dengan sengaja. “Kamu mau saya perlakukan kasar, ya?” Alva menarik paksa tangan Joana yang terasa cukup berat. Karena wanita itu tak bertenaga sama sekali.
“Joana?” lelaki itu kembali melepaskan tangan Joana, wajahnya tertutup rambut. Alva enggan sekali menyentuh rambutnya yang tampak seperti jarang keramas itu.
“Joana, jangan berakting hanya karena kamu takut saya marah?” Alva berucap lagi, sambil melipat kedua lengannya di dada, tanpa dia tahu lawan bicaranya kini sedang tak sadarkan diri.
“Joana?!” sentaknya lagi.
Alva berdecak. Mau tidak mau, dia menyibakkan sebagian rambut Joana hingga tampaklah wajah wanita itu dengan mata tertutup, hidung memerah, bibir kering dan pucat.
“Joana?!” Alva mengusap pelan pipi wanita itu. Menggoyang-goyangkan bahunya, tapi tak ada hasil. Tubuhnya terasa panas saat disentuh.
Joana tampak seperti mayat hidup, dan Alva pun memastikan denyut nadinya.
“Arrggh. Nyusahin.” Alva mengambil kunci motor yang ada di telapak tangan Joana.
Lelaki itu berlarian ke halaman rumah memindahkan motor itu sendiri, setelahnya dia menggendong tubuh Joana sampai ke dalam mobil, dan meletakkannya di kursi belakang. Tak lupa mengunci semua pintu, Alva meninggalkan rumah melajukan mobilnya menuju klinik terdekat.
Sesekali Alfa melihat Joana melalui spion, wanita yang sedang tak berdaya itu masih menggunakan daster motif doraemonnya yang terlihat menggelikan di mata Alva.
Lagi, untuk ke dua kali Alva menggendongnya, menuju IGD di sebuah klinik yang tak begitu jauh dari rumah. Alva kebingungan, ponselnya pun terus berdering sejak tadi, dia abaikan yang penting dia sudah berusaha menyelamatkan Joana. Apapun yang terjadi nanti, itu urusan belakangan, pikirnya.
Alva disambut oleh beberapa orang perawat yang sudah membawakan ranjang pasien untuk Joana. “Badannya panas tinggi, Suster,” jelas lelaki itu.
“Baik Pak. Kami tangani.”
Ponsel Alva kembali berdering untuk ke sekian kalinya. Dia merogoh saku jasnya, tampa di layar ada sebuah panggilan video dari Zea.
“Pak, Bapak belum bangun?” wanita itu langsung menyambutnya saat Alva menerima panggilan.
“Saya ada urusan sedikit-“
“Tapi calon investor ini penting sekali, Pak. Saya mati-matian berusaha supaya bisa mengatur jadwal bertemu dengan mereka…” lirih Zea. Sambil menyibakkan rambutnya dan wajahnya dibuat-buat memelas. “Bapak lagi di mana memangnya?”
“Saya lagi di klinik,” jawab Alva seadanya.
“Siapa yang sakit, Pak?”
“Udah, kamu tunggu di sana, saya ke sana sekarang. “
Tanpa pikir panjang, lelaki itu meninggalkan Joana begitu saja. Tanpa pesan apapun kepada petugas medis yang ada di sana. Bukan karena dia terpengaruh oleh pesona Zea, tapi karena mengingat kata-kata wanita itu bahwa pagi ini adalah pertemuan yang sangat penting dengan calon investor. Katakanlah dia bagai lelaki tak punya hati saat ini, pikirannya berkecamuk antara Joana dan Zea.
paling nggak, aku udah berusaha membawanya ke klinik. Lagipula, nanti aku juga balik lagi ke sini setelah urusan selesai.
🍑
Nasib Joana tanpa nenek
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Sri Astuti
malang benar nasibmu Joan.. tp km hrs belajar rapi lah.. jgn ceroboh
2024-05-29
0
Entis Sutisna
ada yak perempuan jorok begitu
2022-04-16
0
Jojor Delima Sibagariang
mulai deh.....
2022-04-13
3