Bab 2

Keesokan harinya, teman -teman yang tak suka dengan perilaku Alula pun akhirnya mengerjai dia.

"Lula, tuh lihat airnya habis!" Kiki mendekati Lula yang tengah membereskan sampah di atas meja karyawan. Kiki menunjuk galon yang ada di samping duduknya.

"Baik Kak, aku akan segera menggantinya!" sahut Lula sambil berjalan ke arah galon itu.

"Cepet, dan enggak pakai lama!" sambung Kiki terdengar judes.

Lula tak mempermasalahkan pekerjaan ini, baginya membantu orang lain adalah sebuah ibadah. Tanpa berpikir panjang di tengah teriknya panas matahari, Lula mulai mengangkat galon dan membawanya keluar.

"Loh, air nya sudah habis ya!" seru Emi yang melihat Lula keluar sambil membawa galon.

"Iya, bentar ya, aku beli di toko seberang sana!" ucap Lula sambil menuju ke tempat parkir.

"Masih panas, Lula, nanti kulit kamu terbakar!" Emi mencoba mencegah Lula. Namun Lula tak mengindahkan teriakan Emi. Dia sudah melesat dengan sepedanya.

Lula sudah terbiasa pergi ke mana pun dengan bersepeda. Selain transportasi ini ramah lingkungan juga hemat biaya. Lula tak perlu mengeluarkan ongkos untuk memanggil taksi atau ojek. Uangnya bisa dia gunakan untuk kebutuhan lain yang lebih penting. Jika lokasi yang ia tuju cukup jauh dari kos, Lula akan memperkirakan waktu tempuh, jadi dia bisa berangkat lebih awal. Meski Lula sering bersepeda tak membuat berat badannya turun. Terkadang Lula minder juga ingin memiliki tubuh yang langsing.

Selesai membeli galon, Alula segera mengayuh sepedanya agar cepat sampai dan tak kena omel teman -temannya yang sudah kehausan. Saat sudah sampai di seberang, Lula mendengar suara tabrakan. Dia cepat menuju ke tempat kejadian perkara. Alula menghentikan sepedanya karena ada kerumunan.

"Ada apa Pak?" tanya Lula penasaran. Seorang pria paruh baya menerangkan kronologi kejadiannya.

"Seorang pengendara motor telah melarikan diri setelah menabrak ibu ini." tetang pria paruh baya itu.

Merasa jiwa sosialnya terpanggil Alula berniat untuk menolong korban kecelakaan itu.

"Lukanya cukup parah dan harus dilarikan ke rumah sakit." terang Lula setelah mengamati seorang ibu yang berusia sekitar 50 tahunan, namun wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. Ibu itu terkulai lemas, namun masih sadar.

"Mbak kenal dengan ibu ini?" tanya pria paruh baya itu sambil menunjuk ke arah ibu itu yang terlihat meringis menahan sakit.

"Walau pun kita tak saling kenal, tolong menolong itu wajib hukumnya. Cepat Pak, saya akan menemani ibu ini berobat ke rumah sakit!" tegas Lula seraya meminta beberapa orang untuk mengangkat ibu itu ke dalam mobil milik pria paruh baya.

Hampir setengah jam mobil itu menempuh perjalanan hingga sampai di rumah sakit. Ibu itu segera mendapatkan penanganan yang serius.

"Bagaimana Dok?" tanya Lula yang cukup khawatir.

"Ibu Anda mengalami luka yang cukup serius, beliau banyak kehilangan darah." terang dokter setelah keluar dari ruangan ICU.

"Maaf Dokter, dia bukan ibu saya. Saya hanya orang yang mengantarnya saja." Lula mencoba menerangkan agar dokter itu tak salah sangka.

"Oh, kalau begitu kabari pihak keluarganya agar secepatnya datang ke sini!"

"Maaf Dokter, saya tidak kenal ibu itu maupun keluarganya. Untuk masalah administrasi, saya cukup uang untuk membayarnya." Lula hendak memperlihatkan dompetnya.

"Bukan itu masalahnya, stok darah di rumah sakit ini sedang kosong. Beberapa hari lalu PMI sudah menyumbang banyak darah ke rumah sakit ini, namun seiring banyaknya kecelakaan yang terjadi semua kantung darah sudah habis." terang dokter.

"Oh, kalau masalah itu jangan kuatir Dokter. Saya rajin makan sayur dan rajin bersepeda, pastinya darah yang saya miliki banyak dan dijamin bersih." Lula dengan polosnya menawarkan untuk donor darah.

Dokter itu tertawa renyah.

"Baiklah, tidak ada waktu lagi. Silahkan Anda pergi ke ruangan yang ada di sebelah sana. Anda akan melewati berbagai tes untuk kecocokan golongan darah dengan ibu itu!" Lula pun segera melangkah cepat menuju ruangan yang dimaksud dokter. Awalnya Lula takut sekali melihat jarum, meski kulitnya setebal badak namun hatinya sungguh halus selembut sutra.

Tak lama kemudian, ternyata golongan darah Lula cocok dan pihak medis segera melakukan transfusi darah.

Setelah serangkaian kegiatan medis ia lalui, Lula yang kondisinya sudah membaik berkeinginan segera pergi dari rumah sakit itu.

"Aw, sakit!" seru Lula tatkala seorang gadis muda menabraknya. Gadis itu terlihat sedang buru-buru dan masuk ke dalam kamar pasien.

Lula sedikit merasakan nyeri di lengannya, bekas jarum itu terasa berdenyut.

Selesai dari rumah sakit dengan usahanya yang payah Alula membawa galon ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Bukannya kebaikan dan belas kasih yang ia dapatkan malah amukan teman-temannya yang ia dapatkan. Mereka marah lantaran Alula terlalu lama pergi. Salah satu dari mereka bernama Kiki mendorong tubuh Alula hingga jatuh. Hanya Emi, teman kerja yang baik padanya. Emi membantunya berdiri.

"Dari mana saja kamu!" bentak Kiki yang membuat Lula kaget. Matanya melotot sambil berkacak pinggang.

"Maaf Kak, saya pasang dulu galon nya!" sahut Lula seraya beranjak namun karena kelelahan ia pun mengalami kesulitan untuk berdiri, dia tak langsung menceritakan serangkaian peristiwa yang baru saja ia alami.

Tak hanya Kiki yang mengomelinya habis-habisan, bahkan teman yang lain ikut turut juga. Lula tak menggubris, malah Emi yang turun tangan untuk membela sahabatnya itu.

"Kalau kalian merasa hebat, sana pergi saja beli sendiri, sudah bagus Lula membelikannya untuk kalian malah kalian maki. Ayo, Lula, kita pulang saja!" Emi menarik tangan Lula menjauhi mereka. Namun Lula menahan tangan Emi.

"Bentar, Em, aku pasang dulu galon ini!"

Setelah berhasil berdiri, Lula memindahkan galon itu ke atas dispenser. Dan mereka berdua pergi.

Sempat itu juga Lula meringis menahan sakit yang membuat Emi khawatir.

"Ada apa denganmu, Lula, ceritakan padaku!" desak Emi yang menangkap kesakitan Lula.

"Aku baru saja donor darah." sahut Lula datar.

"What, kok bisa?"

Lula pun menceritakan pengalaman nya yang luar biasa tadi. Emi sungguh mengagumi pribadi Lula yang begitu energik dan baik hati.

Mereka berdua harus berpisah di tempat parkir. Emi sudah pergi dengan ojek, sementara Lula masih membenahi rambut kepangnya yang sedikit kusut.

"Kapan kamu akan melamar ku, sayang?" suara wanita manja berhasil membuat Lula menoleh ke arahnya.

"Sabar, sebentar lagi papaku akan pulang dari Meksiko, aku akan meminta tanda tangan papa dulu untuk menyetujui proposal yang aku ajukan. Setelah semua berada dalam genggaman ku, kita akan segera menikah." ujar sang pria yang tidak lain adalah pria pujaan hati seorang Lula.

Pasangan kekasih itu baru saja tiba dan melewati Lula.

"Vivi!" seru Lula yang berhasil membuat kekasih Kevin menoleh. Vivi adalah teman Alula saat SMP dulu. Meski mereka berdua tak akur, Alula tetap menganggapnya sebagai teman.

"Siapa ya?" Vivi membalikkan badan begitu pula Kevin.

Alula menyodorkan tangannya, namun Vivi tak mengindahkan sambutan hangat dari Lula, Lula pun menurunkan tangannya kembali.

"Aku Alula, kita pernah satu kelas saat SMP di SMP MERDEKA." terang Lula, gadis berpenampilan kusut ini menatap Vivi dengan pandangan kagum akan pesona nya yang cantik.

"Oh, cewek gendut dan dekil itu rupanya, ya aku ingat siapa kamu. Oh, ternyata hidupmu masih sama ya seperti dulu, tak berubah sedikit pun." ledek Vivi.

"Kamu kenal dengan Office Girl ini, sayang ?" tanya Kevin seraya merangkul pundak wanita yang memakai pakaian kurang bahan itu.

"Yah, dia hanya seorang sampah yang hidupnya nggak jelas." ledek Vivi lagi, mendengar perkataan Vivi, Lula merasa bergemuruh dadanya.

"Kamu punya teman seperti dia?" tanya Kevin lagi, seolah tak percaya.

"Yah dulu, tapi sekarang kan aku model, nggak level lah berteman dengan gadis gendut dan jelek seperti dia, yuk kita pergi!" Vivi kembali melontarkan kalimat yang begitu pedas.

Setelah pasangan kekasih itu hilang dari pandangan, Lula dengan berkecil hati mengayuh sepedanya menuju ke tempat yang membuatnya lebih nyaman. Ya, kemana lagi kalau bukan ke tempat kos. Rentetan kejadian hari ini, bukan keinginan Lula. Jika bisa, dia ingin membalas perkataan orang -orang yang menghinanya. Namun apalah daya, dia bagaikan buih diantara semua yang ada.

Alula merasa kesal atas semua yang menimpanya hari ini. Namun ia tak patah semangat menjalani hari -harinya.

***

Di waktu libur, Alula pergi dari kos sekedar jalan -jalan untuk membeli es krim di pinggir jalan. Tanpa sengaja dia bertemu ibu-ibu dan membantunya menyeberang jalan.

"Mari Bu, saya bantu!" tawar Lula yang langsung mendapat anggukan dari wanita paruh baya itu.

Setelah sampai di seberang jalan, ibu itu memanggil putrinya yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Viona, kok kamu ninggalin ibu sih!" omel wanita itu. Viona menoleh sambil menyengir kuda.

"Terima kasih, Mbak!" seru ibu itu saat Lula permisi.

"Sama-sama, Bu!" sahut Lula dan bergegas pergi untuk membeli es krim, rasa haus siang ini tak tertahankan.

Ibu itu teringat kalau Alula lah yang mendonorkan darahnya di rumah sakit. Ibu itu bernama Santi.

"Mbak, tunggu!" teriak Santi sambil melambaikan tangan. Alula membalikkan badan, Santi menghampirinya.

"Ada apa ya, Bu?" tanya Lula setelah Santi mendekat.

"Mbak 'kan yang waktu itu membawa saya ke rumah sakit?" Santi ingat betul wajah Alula, meski yang ditanya tak begitu mengingatnya.

"Kapan ya Bu, saya sudah sering bolak balik ke rumah sakit, jadi lupa yang mana, hehehe ...." Lula memainkan rambutnya yang sebelah.

"Yang mendonorkan darah untuk saya, pasti Mbak ingat ' kan!" Santi menunjukkan luka di pelipisnya.

"Oh, yang terluka akibat tabrak lari itu ya!" Lula pun berhasil mengingatnya.

Santi mengangguk.

"Ibu belum sempat mengucapkan terima kasih padamu, bahkan kamu sudah menolong ibu untuk yang kedua kalinya."

"Tidak usah merasa sungkan begitu, Bu. Kita sesama manusia bukankah sudah dianjurkan untuk saling tolong menolong. Bagaimana keadaan Ibu, sudah baikkah?"

"Alhamdulillah, kamu sangat baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Berkat bantuan darimu, nyawa ibu bisa tertolong. Coba saja jika tak ada kamu, entah bagaimana nasib ibu."

"Jangan bicara seperti itu, Bu. Allah lah yang menolong Anda. Saya hanya perantara saja. Kalau begitu saya permisi." Alula hendak mengakhiri perjumpaan dengan Santi. Namun Santi sudah jatuh hati padanya. Dia memanggil Viona.

"Ada apa, Ma?" Viona datang mendekat setelah memasukkan ponsel ke sakunya.

"Vi, ini mbak-mbak yang tempo hari mama ceritakan ke kamu dan kakak kamu." Santi berusaha memperkenalkan putrinya.

Lula yang merasa tak enak untuk pergi, lebih memilih untuk menundanya sementara waktu.

"Saya Alula!" Alula mengulurkan tangan.

"Viona, terima kasih, Mbak Alula sudah menolong mamaku!" ujar Viona seraya menerima uluran tangannya.

"Oh, nama kamu Alula, saya Santi!" Santi juga ikut mengulurkan tangan.

Setelah perbincangan singkat usai, niat Alula pun masih tetap sama. Ingin membeli es krim.

Rasa dahaga sudah hilang, Alula pun memutuskan untuk pulang ke tempat kos. Kejadian yang sama terulang kembali. Dan karena telat membayar uang sewa, Alula diusir lagi oleh pemilik kos.

"Pergi kamu, Gendut! Bisa rugi aku menampung orang sepertimu. Masih banyak yang mengantre ingin tinggal di sini." pemilik kos mendorong tubuh Lula yang berat hingga tersungkur. Selain perkataan ibu kos, perlakuannya pun membuat Lula sakit hati. Dia tak tahu setelah ini pergi ke mana. Sementara uangnya habis untuk keperluan sehari -hari.

"Jangan perlakukan dia dengan kasar!" hardik seorang wanita cantik yang baru saja ia temui beberapa menit yang lalu.

"Bu Santi," gumam Lula yang tak tahu kalau sejak tadi Santi menyuruh Viona untuk membuntutinya.

"Berapa uang yang harus gadis ini berikan pada kamu!" Santi mengeluarkan uangnya dari dompet dengan rasa yang kesal, ia tak terima Lula yang ia anggap bidadari nya diperlakukan dengan kasar.

"Satu juta."

"Nih!" Santi menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan.

Viona dan Santi membantu Lula berdiri.

"Kalian berdua, bagaimana bisa tahu aku di sini?" Lula menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap sekilas malaikat penolongnya.

"Maaf, mamaku menyuruhku untuk mengikuti Mbak Lula hingga sampai ke sini." ujar Viona.

Alula seakan pedas matanya, dia mulai menjatuhkan bulir air mata.

"Terima kasih, sudah membantuku."

"Bukankah, kita sebagai manusia diajarkan untuk saling tolong menolong?" Santi mengulangi perkataan Lula hingga membuat gadis berkepang dua itu tersenyum.

"Mbak Alula, enggak apa-apa 'kan?" meski Viona terlahir dari kalangan orang kaya dia tak terlalu sombong untuk gadis baru berusia 17 tahun itu.

Lula menampilkan senyuman yang menandakan dia baik-baik saja.

"Ayo, kita pulang!" ajak Santi yang mendapat tatapan aneh dari Alula Farhah.

"Pu-pulang ke mana? Bahkan tempat tinggal saja aku tak punya." Alula begitu kikuk.

"Tentu saja pulang ke rumah kami!" tukas Viona yang disahut anggukan dari Santi.

Alula sempat menolak juga karena merasa tak enak. Santi pun terus mendesak hingga akhirnya Alula pun berhasil duduk manis di dalam mobil mewah.

***

"Kamu, Gendut, ngapain ada di rumah ku!" pekik seorang pria yang tak lain adalah bosnya yang playboy. Pria itu tengah telanjang dada baru selesai mandi sore.

"Bo-Bos, jadi ini rumah Bos!" Alula tak kalah paniknya.

Terpopuler

Comments

Siti Lestari

Siti Lestari

ceritanya ok lho

2022-09-30

0

🦋⃟ℛ★KobeBlack★ᴬ∙ᴴ࿐ 🐍Hiatus🐍

🦋⃟ℛ★KobeBlack★ᴬ∙ᴴ࿐ 🐍Hiatus🐍

mampir kak 🤗

2022-05-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!