Bab 20

"kak." Gadis itu memanggilku dari sana. Dua penjaga dibelakangnya juga melihat ke arahku.

Aku langsung memperbaiki masker dan topiku. Lalu berjalan masuk seperti yang dilakukan gadis itu. Meskipun hanya memakai kaos biasa, tapi aku tetap masuk meski dalam hatiku merasa khawatir bahwa aku akan ketahuan.

Langkahku yang lambat, membuat gadis itu langsung menggandeng tanganku.

"Ayo cepat." Gadis itu menarikku sampai aku benar benar masuk kedalam.

Apa ini? Siapa sebenarnya yang kutolong ini? Jangan bilang....!

"Dimana ayah?" Tanya gadis itu kepada seorang resepsionis.

"Nona. Tuan Arya tengah melayani tamu penting. Anda tidak diperbolehkan untuk menganggu." Jawab resepsionis itu dengan sopan. Tapi dia sesekali melirikku.  Sepertinya dia berusaha mengamatiku.

"Nona, apa dia pacar anda?"

Raut wajah Lily berubah. Dia sepertinya tidak senang dengan pertanyaan resepsionis itu. Si resepsionis juga langsung membungkuk takut.

"Maaf, nona. Aku terlalu ikut campur urusan anda." Dia menelan ludah dan tidak berani menatap Lily. Lily sendiri hanya melipat tangannya didada dengan dingin.

"Sudahlah. Siapkan aku kamar bersama pacarku."

Huh? Siapkan kamar untuk pacar? Aku terkejut. Resepsionis juga terkejut. Tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Dia hanya mengangguk hormat.

Setelah itu, salah satu resepsionis mengantar kami sampai dilantai 5. pengurus kamar juga sudah menyiapkan kamar untuk kami.

Aku dan Lily masuk kedalam. Wah, kamarnya memang tidak kalah dengan kamar bintang lima lainnya.  Cukup luas untuk dua orang. Tampaknya petugas kamar tadi tidak main main untuk menyiapkan kami kamar. Aku menatapnya dengan heran. Daritadi aku ingin menanyakan ini.

"Hotel ini, apa memang punya kamu?" Tanyaku. Gadis itu tersenyum.

"Tidak, hotel ini punya keluarga kami. Ayahku yang mengurusnya."

"Huh? Hotel keluargamu? Keluarga Santoso?"

Gadis itu tersenyum licik.

"Bagaimana? Kakak tidak sangka kan?"

Aku berpikir sejenak.

"Tapi, bagaimana nona muda dari keluarga kaya sepertimu bisa jadi bahan pemerk*saan seperti tadi?"

Tiba tiba wajah Lily menjadi gelap.

"Itulah yang harus aku selidiki. Mereka berani menculik ku, bahkan berani berniat jahat padaku. Aku harus melaporkan ini pada ayah. Kakak, kau tunggu disini yah. Aku akan keluar dulu. Akan kukenalkan kakak pada ayah." Gadis itu tersenyum padaku lalu pergi meninggalkan kamar.

Aku berpikir sejenak. Lily putri dari pemilik hotel ini? Tunggu... Aku melihat ponsel lagi. Mencari diinternet. Ternyata, putra pertama dari kepala keluarga Santoso bernama Arya. Arya sendiri sudah berumur 40 tahun dan mempunyai dua putri. Yakni Karin Santoso dan Lily Santoso. Ini berarti Lily adalah putri kedua dari pemilik  hotel kristal yang paling memukau di kota ini.

Aku menggelengkan kepalaku. Tidak disangka aku malah menyelamatkan gadis kaya. Ini tidak terduga. Aku keluar dan memilih melihat keadaan. Hotel ini, bukan hanya desain dan kualitasnya saja yang luar biasa. Tapi, mereka juga menyuguhkan sebuah pemandangan indah dari atas sini. 

Tapi ada yang menganggu mataku. Apa itu? Kulihat ada dua orang familiar dibawah sana. Tepat pada sebuah mobil hitam BMW. Aku melihat wajah bang Abdul yang tengah merokok disana. Mataku seketika membelalak.

Dengan segera aku langsung menuju lift. Turun kebawah.

******

"Hei! Sampai kapan tuan Govin akan keluar? Ini sudah tiga jam kita menunggu." Vano menghela napas kesal didalam mobil.

"Sudah, jangan banyak mengeluh. kita tunggu saja. Tuan Govin sedang menghadiri pertemuannya dengan nona Clara dan tuan Farzan. Kau pikir ini juga salah siapa? Siapa yang menyuruhmu untuk melecehkan nona Clara waktu itu?" Tatap bang Abdul dengan dingin.

Vano tak bisa menyangkal apapun.

"Ini juga karena pria bertopeng itu. Kalau bukan karena dia kita juga tidak akan begini."

"Kau gila Vano. Kau menyalahkan orang lain lagi hanya karena kesalahanmu. Kau pikir bisa lepas setelah puas dengan Clara." Marah bang Abdul.

Vano juga hanya menghela napas.

"Kakak, bukankah kita sudah membahas ini? Kita sudah membicarakan topik lebih sepuluh kali hari ini. Kenapa kakak selalu menyalakan ku."

Bang Abdul menggertakan gigi.

"Itu karena kau tidak berguna dasar sialan. Kita berada di situasi ini kau pikir karena siapa? Jika bukan karena Govin yang membantu kita. Kau pikir kita masih hidup hari ini?"

Vano diam. Tidak mau lagi berdebat dengan kakaknya dibelakang sana. Lalu tiba tiba ada yang datang dimobilnya.

Seorang pria paruh baya berjas hitam masuk dengan wajah pitam.

"Tu-tuan Govin." Bang Abdul membuka dan menutup pintu dengan kasar.

"Vano. Antar aku pulang."

"Baik tuan." Vano tidak berbicara lebih banyak. Tapi dia diam diam melirik pria paruh baya yang baru naik ini. Dilihat dari wajahnya, dia terlihat sangat marah. Vano pun tidak berani mengatakan apapun.

Pada saat mobilnya sudah melaju keluar. Aku juga baru keluar dari hotel. Dengan segera menghentikan taksi.

"Pak, ikuti mobil itu pak!" Teriakku tergesa gesa. Lalu supir dengan patuh mulai mengejar mereka.

Didalam mobil.

Tuan Govin mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Bang Abdul disamping dengan hati hati bertanya.

"Tuan Govin, jadi bagaimana dengan pertemuannya tadi?" Tanyanya pelan sambil berusaha tersenyum.

Tuan Govin tidak berbicara untuk waktu yang lama. Dia masih memikirkan tuduhan Clara padanya. Tadi itu, wajah Clara benar benar marah bahkan sampai berani mengacamnya.

'Gadis sialan itu. Awas saja kau. Aku akan membalas sikap kurang ajarmu nanti!' Tuan Govin menghela napas. Lalu berbalik pada bang Abdul yang dari tadi terus tersenyum sambil menggosok tangannya sendiri. Entah sampai kapan dia akan melindungi parasit ini. Tuan Govin sendiri mulai enggan melihat wajahnya lagi.

Dia pun menghela nafas.

"Sepertinya aku tidak bisa melindungi kalian lebih lama lagi. Clara dan Farzan datang menanyakan keberadaan kalian. Mereka bahkan menuduhku kalau akulah aku yang membantu kalian bersembunyi. Aku berusaha mengatakan bahwa aku tidak punya hubungan dengan kalian. Tapi mereka tidak mudah untuk dibodohi."

Bang Abdul diam tak mengatakan apapun. Keringat menetes di pipinya yang dari tadi ekspresinya tidak berubah. Tersenyum dan mencoba menjilat lebih jauh.

"Bukankah tuan bisa mencoba untuk membujuk Clara agar mengampuni kami?."

"Plak" tamparan keras terdengar didalam mobil. Govin menampar Abdul sekuat tenaga karena ia begitu emosi mendengar apa yang dikatakan pak tua ini.

"Abdul oh Abdul. Aku sudah mencoba membantumu sebisa mungkin agar kau dapat bersembunyi. Kau malah minta aku untuk membujuk Clara? Kau mau keluarga kami bentrok dengan keluarga mereka? Buat apa aku membantu buronan untuk bersembunyi jika bukan karena hubungan kita Abdul. Membujuk Clara sama saja memberitahukan kalau aku menyembunyikan mu. Itu juga berarti aku menentang mereka. Abdul, dengarkan ini baik baik. Meskipun keluarga Santoso kami kuat. Tapi kami tak mau mencari masalah dengan keluarga kaya lainnya hanya karena kalian. Lagian, kalian juga hanya tau berbuat tanpa memikirkan dulu resikonya. Abdul, Vano. Besok kalian tinggalkan kota Bandung ini. Aku hanya bisa membantu kalian sampai disini." 

Mata bang Abdul dan Vano membesar.

"Ta-tapi tuan....."

"Aku tidak mau mendengar apa apa lagi Abdul. Aku akan menyiapkan semua persiapan kalian. Setelah ini, semuanya tergantung pada kalian sendiri." Tuan Govin kembali menghisap rokoknya. Lalu dia tidak mengatakan apapun lagi. Abdul dan Vano juga tidak berani berkata apa apa.

Tiba tiba mata tuan Govin menajam saat menatap kaca spion.

"Vano, percepat lajunya. Ada yang mengikuti kita."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!