Bel Kamar berbunyi lalu seseorang terdengar menempelkan kunci elektrik sampai terdengar tit. Mata Lala membulat dan berlari lalu pura-pura pingsan.
Suara langkah kaki kesana kemari mendekat dan menjauh lagi. Kemudian Lala mengintip sedikit.Terlihat sosok pemuda tinggi itu, sungguh tinggi. Mungkin 190an, nyaris dua meter.
Punggung itu ... baru kali ini Anna melihat punggung pria dewasa saat pria itu melepas kaos.
Lelaki itu menoleh membuat jantungn Lala berdegub cepat dan diri nya nyaris ketahuan bila tidak memejamkan mata lagi.
Suara langkah kaki itu terdengar kembali mondar-mandir, berakhir dengan dentingan gelas dan kucuran air dari botol.
Sebenarnya orang itu sedang apa? Aku pura-pura tidur saja, agar dia tak menyentuhku?
Cukup lama Lala memejamkan mata, berjaga-jaga, sampai benar-benar ketiduran. Sampai dia merasakan udara hangat di sekitarnya. Sesuatu seperti mendekat.
Lala gusar, apa dia harus pasrah. Tidak berani melawan perintah Kevin, tapi dia takut menghadapi situasi ini.
"Lala, kau pura-pura pingsan? Wah,
aku tau kamu mendengarku," kata pria itu dengan riang yang mungkin sedang tersenyum.
Suaranya seperti Johan, tidak mungkin Johan! Kalau aku membuka mata dan bukan Johan, celaka lah aku.
"Lala kau mengintip punggungku. Masih mau pura-pura tidur? Atau aku mencium bibirmu."
Lala memberanikan diri membuka mata, matanya melebar untuk memastikan. "Ini! benar-benar kamu?"
"Apa sesenang itu karena aku yang datang?"
"Tunggu ...." Lala berdiri dan melirik ke arah pintu. "Kenapa kamu bisa di sini, bagaimana bila seseorang datang?"
"Kevin? "Tanya Johan saat Lala duduk tampak tidak tidak percaya.
"Kamu kenal Kevin? tunggu kenapa kau memiliki kunci? tunggu bukan itu ... sebaiknya kamu cepat keluar sebelum orang itu datang!"
"Orang siapa?"
"Orang yang dikirim Kevin."
"Bagaimana bila aku orangnya?"
"Jangan bercanda gak lucu sama sekali," gerutu Lala sangat malu karena dirinya akan terlihat rendah di mata Johan.
"Kau bisa tanya Kevin kalau tidak percaya, mau aku telfonkan?"
Lala menggelengkan kepala cepat. Dia memeluk lengan sendiri, semakin gemetaran . "Kalau kamu yang dikirimkan Kevin, artinya aku harus ..." Lala tertunduk muram.
"Aku tidak akan melakukannya, kalau itu bukan kemauan mu sendiri."
"Tapi, Kevin akan marah .... " Lala dengan wajah tertekuk.
"Aku dan Kevin adalah teman, kami tumbuh bersama." Johan pindah ke sofa. Pria tampan itu mulai menyesap wine. "Semalam aku tiba di hotel lebih awal tetapi pertemuan ku dengan Kevin mendadak Kemudian aku melihatmu terjatuh."
"Kevin telah melelang mu di pasar gelap. Aku termasuk anggotanya. Kau tahu ... mereka kebanyakan para mafia yang sudah berumur. Aku berhasil memenangkanmu dalam lelang itu, Lala." Johan memandangi gelas alkohol lalu mengulurkannya.
"Jangan memaksaku untuk minum itu, Jo," jawab Lala datar.
"Kalau kau tidak mau minum, Kevin bisa menghukum mu yang lebih berat." Johan menyandarkan kepala ke sofa, matanya terpejam dan gelas itu terlepas dari tangan.
Lala meloncat karena kaget pada pecahan gelas. Diraih tisu sebanyak-banyaknya demi mengumpulkan pecahan gelas agar tidak melukai Johan.
Beberapa menit berlalu, Lala berjalan ke sofa mendekati Johan. Dia memanggilnya berkali-kali. "Kau tidur? "
Johan meminta gadis itu duduk di sampingnya. "Please?”
Lala refleks menggeleng kepala, laki-laki itu lalu terpejam.
"Temani aku."
Johan belum pernah sedingin itu, apa karena mabuk? Pria berhidung mancung itu kembali menyandarkan kepala ke sofa. Namun, Lala tidak kunjung duduk.
...****************...
Di Tempat Lain, Kediaman Rumah Keluarga Kevin. Di ruang santai bernuansa klasik dengan banyak rak-rak buku dan dua buah sofa. Kevin terus membolak-balik buku, entah apa yang sedang dibaca.
Buku di tangan itu bak kertas kosong yang tidak bisa mengalihkan pikiran yang sangat ruwet. Ia malah sibuk menebak-nebak apa yang sedang dilakukan gadis itu dengan temannya.
Tidak lama kemudian masuk pria maskulin dan menjatuhkan tubuh atletisnya. Entah sengaja atau tidak, ini membuat Kevin menggerakkan saat lengannya berbenturan dengan tangan sang kakak m
"Makin terkenal ...."
"Luca Martini, urusi urusanmu sendiri!"
"Panggil Abang atau Koko! Aku ini Kakakmu, sopan sedikit." Luca berusaha mendekat adiknya.
"Kenapa didikan etika itu tak kau terapkan pada keluargamu?" Seorang lelaki tua berdiri di pintu menimpali.
"Terserahlah! Saya selalu salah di mata Papa! Selalu saja Luca yang Papa bela. Sedikit-sedikit Luca, seharusnya Luca saja yang dilahirkan! Tidak perlu ada Kevin!" Kevin menatap papa dengan kebencian yang sudah menggunung. Kemarahan yang sudah di tahan selama bertahun-tahun kini meledak begitu saja.
PLAK !
Tamparan mendarat keras di pipi meninggalkan jejak merah di wajah Kevin.
"Anak Ini!" geram Anton hendak menampar Kevin lagi.
"Papa Hentikan, sudah, sudah... " Luca Martini menahan tangan sang papa.
"Kevin, Kau bocah tak tau di untung! Lihat, kau mengurus proyek reklamasi saja tak becus! Coba kuberikan proyek itu pada Luca pasti semua sudah beres!"
Kevin bangkit dari duduk, meletakan buku dengan kasar. Ia berdiri menatap papanya. "Luca! Luca terus! Ini semua karena gadis itu, jangan sakahkan aku- "
"Kau tidak perlu mengkambing hitamkan orang lain. Kau kira Papa tidak tahu, semua itu batal karena kau meninggalkan rapatnya begitu saja. Kalau kamu bisa lebih mengontrol emosimu, proyek itu pun bisa tetap kau menangkan! Masih saja , kau tidak belajar !"
Kevin pergi dari ruangan dengan penuh kekecewaan, meninggalkan Anton dengan Luca di ruang yang terasa menyesakan.
"Papa, jangan terlalu keras kepada Kevin. Dia telah berusaha, untuk anak 20, sikapnya masih wajar " Luca Martini menenangkan hati papa.
"Saat kamu 18 tahun--" ucapan Anton terpotong.
"Jangan terlalu membanding anak-anak Papa satu sama lain. Luca hanya tidak Ingin jika nantinya Papa menyesal. "Luca Martini mengambil tabletnya di sofa dan berlalu meninggalkan papa.
"Anak-anak itu, hah! Seandainya aku punya anak perempuan, atau paling tidak menantu. Kapan Luca akan membawakan aku menantu? Luca terlalu berkutat dengan kantornya! Aku harus mencarikan menantu yang berani dan pintar, tapi siapa?"
...----------------...
Kevin menjatuhkan diri dengan kasar ke kasur besar sambil menatap langit- langit kamar. Apa yang sedang gadis itu lakukan?
Dia coba memejamkan mata. Bayang-bayang gadis itu mulai muncul di kepala, semakin dia menyingkirkan semakin gambaran Lala terekam jelas di otaknya.
Apa Johan memperlakukan dengan baik? Mereka sedang bersenang-senang?
Wajah cantik yang murung saat di lift membuatnya tidak tenang. Apa mereka sedang berpelukan sekarang? Atau Lala menolak?
Ayolah, apa yang saya pikirkan? Saya tidak mau menurunkan level hanya karena dia!
Ah Sial! Pasti mereka sedang berbuat tidak baik. Kevin lalu membuang remote AC dengan kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Frisca Araa
Kevin maah tipe lakik terlaluu gengsiii buat mengakuiii.
🤭🤭
2022-04-12
2
ASA
untung Johan yang datang. Kalau enggak huuuu 😭
2022-04-11
1
Nanda RaRa
asyik Kevin muncul..
seru!!
Johan akan menyesal dengan sikapnya😡😳
2022-04-11
1