‘Yaaah, disinilah aku sekarang. Merenungi
nasibku sebagai seorang pengangguran. Tepat satu bulan semenjak presentasi
brengsek itu. Aku dirumahkan, ah tidak, lebih tepatnya lagi semua karyawan
‘Dico hotel and travelling’, di pecat dengan hormat dan diberikan kompensasi
sesuai dengan masa kerja masing-masing.
Sedikit menyesal, tentu saja. Karena aku tak
mampu memenuhi keinginan pak Yono, untuk membawa bonus yang banyak di saat
beliau memasuki purna tugasnya. Dalam acara perpisahan perusahaan aku
mengucapkan beribu permintaan maaf.
Dengan bijaksananya pak Yono menasehatiku, ’Lebih
baik begini, Suti, daripada kamu menggadaikan harga dirimu demi tender yang
tidak seberapa itu’.
‘Maksud, bapak bagaimana? Itu tender besar loh
pak. Harapan bos besar satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan dari
kehancuran’.
‘Maksudku kamu mungkin bisa memenangkan tender
itu, tapi dengan menjual tubuhmu ke Mr. J. Memangnya kamu mau hal itu terjadi.
Kamu ingin mengikuti jejak si Selly?’
‘Idiiih, amit-amit deh pak. Mending aku jualan
krupuk dan nasi saja di alun-alun kota seperti saat kuliah dulu. Hati tentram
karena hasil dari pekerjaan halal’.
‘Nah, itu Suti tau’.
‘Yaah, tapi saya sedikit kecewa, karena tidak
bisa memenuhi harapan pak Yono’.
‘Mengenai apa? Yang mau kujadikan mantu itu
kah?’.
‘Iiih, bapak ada-ada saja ya. Memangnya masih
punya stok anak laki-laki?’.
‘Gak ada, anaku ya hanya Dewi, itu pun sudah
sold out’.
Aku tergelak, ‘memangnya mbak Dewi penyuka
sesama jenis ya pak?’
‘Hus…ngawur kamu’, di acaknya rambutku dengan
sedikit kasar.
‘Mbak mu Dewi itu, perempuan tulen Suti. Ngak
neko-neko anaknya. Sudah ah, ngomong sama kamu, tambah ngawur saja. Cepat pergi
bergabung dengan temanmu yang lain sana! Sapa tau ada info lowongan pekerjaan
di tempat lain’, usirnya.
‘Siap pak, doain ya, segera dapat pekerjaan
lagi. Nanti kalau dapat bapak saya tarik deh, jadi manager bagian marketing
sama seperti dulu’.
Beliaunya tergelak, ‘ngak usah, aku mau
menikmati masa pensiunku dengan tenang. Serta momong cucu saja. Coba bayangkan
setiap hari ditemani Dewi sama anaknya jalan-jalan pagi ke alun-alun kota
sambil ngasih makan burung yang ada di sana. Menghirup udara pagi, merasakan
hembusan angin dari pohon taman kota. Oooh segernya, nikmat kehidupan yang siap
kujalani’.
Kulihat pancaran mata atasanku yang berbinar
ceria dan pipi tembemnya menggembung seolah angin itu nyata dihadapannya.
‘Oalah, pak. Enak benar yang sudah memasuki
usia non-produktif’, pikirku.
Anganku melayang ke kejadian beberapa hari
yang lalu. Banyak rekan-rekan kerjaku yang menangis terutama Dona, si cerewet
itu. Dia menangis bukan karena tidak bekerja lagi. Tapi karena tidak akan
bertemu denganku lagi.
Susah payah aku membujuknya, tak dihiraukan,
seolah lupa kalau kami masih satu kos an. Hanya terpisah oleh pintu ruang yang
berbeda. Padahal setiap hari dia ribut membangunkan ku jika terlambat bangun.
Pun sebaliknya.
‘Suti, gimana donk, hubungan kita nantinya?’
‘Maksudmu apa Don?’
‘Dona suti Dona, bukan Don. Kamu kira aku Doni
atau Don yuan, gitu?’
‘Iya, Dona cerewet nan centil’.
‘Nah, gitu donk. Manggil jangan
setengah-setengah. Bisa menimbulkan persepsi yang salah. Apalagi yang dengar
orang yang tak dikenal. Bisa-bisa aku dikiranya transgender nanti’.
‘Memangnya kamu perempuan tulen’, tanyaku lagi
sambil mengedip-ngedipkan mata.
‘Ouuh brengsek lu. Apa perlu kubuktikan nih,
genderku’, tukasnya sambil mengangkat rok sepannya.
‘Aduh…duh gak usah Donald. Nanti dilihat ibu
kos pas lewat, malu. Dikira kita mau mesum lagi!’.
‘Ya sekalian saja. Biar tambah hot gossip yang
menyebar di tempat kos ini’.
‘Gila lu ya. Sudah-sudah topik kita apaan
tadi?’, tanyaku sedikit bloon.
‘Haaish…ini belum tua sudah pikun duluan’,
ditoyornya kepalaku pelan. ‘tentang kita, Suti. Nanti aku kangen kalau tidak
bertemu denganmu setiap hari’.
‘Kita kan masih satu kos an, Donald. Cuma
terhalang tembok ruang saja. Masa iya, tidak bisa bertemu. Kamu aneh deh’.
‘Aku mungkin pulang kampung. Si mbok sudah
kangen pingin kumpul sama anak-anaknya. Jadi aku mau pamit sama bu kos. Mulai
besok aku sudah tidak tinggal disini lagi’.
‘Yaaah, tega kamu, dona. Masa aku ditinggal
disini sendiri sih. Kalau ada yang nyulik bagaimana?’, kataku memelas.
‘Biarin saja. Apalagi kalau yang nyulik elu
orangnya ganteng dan tajir, macam si Jay itu’.
‘Bffuuuh, semburku keras ke mukanya’.
‘Lu belum tau aja siapa yang membuat kita jadi
pengangguran’, batinku. Sedangkan Dona tertawa keras sampai terpingkal.
‘Eh ni anak kesambet kali ya?, tadi
nangis-nangis karena mau berpisah. Sekarang tertawa-tawa kayak kerasukan setan.
Amit-amit’, aku geleng-geleng kepala.
Setelah kejadian
itu.
‘Pulang kampung? Gengsi donk. Jadi disinilah
aku sekarang, terjepit diantara para pelanggan setiaku. Yaah…para mahasiswa
yang kelaparan serta para manusia pencari keringat untuk kesehatan.
Alun-alun kota adalah tempat strategis untuku
berjualan nasi pecel dan menu urap-urap serta lauk ayam goreng juga telur
balinya. Aku senang tatkala para pencari kuliner pagi itu memborong beberapa
bungkus untuk dinikmati sebagai menu pembuka kegiatannya yang padat.
Wajah-wajah puas kekenyangan merupakan pertanda bagiku untuk meraup lebih
banyak rupiah.
Tepat jam delapan pagi, aku sudah menghitung
penghasilanku hari ini. Dibawah pohon cemara rambut yang tumbuh rindang
sepanjang tepian tempatku berjualan.
‘Lima ratus ribu! Wow! Perolehan yang luar
biasa. Hanya dengan modal dua ratus ribu rupiah, aku bisa menghasilkan sebanyak
ini. Sebentar lagi aku bisa jadi owner restoran, nih’, batinku.
Sembari menikmati nasi empok jualan mbok
Misnah, pikiranku kembali melayang ke kejadian satu tahun ini. Betapa sulitnya
aku mencari pekerjaan baru, sudah kucoba melayangkan lamaran kesana kemari
sesuai dengan ijasahku.
Dari yang melalui e-mail pun yang langsung
kudatangi perusahaannya, tapi tak satupun diantaranya yang mau menerimaku.
‘Aku heran, padahal standar kualifikasi kerja
yang mereka minta sudah terpenuhi semua. Bahkan aku punya pengalaman yang lebih
dari cukup. Apa yang membuat mereka menolak ku?’ kugelengkan kepala
berkali-kali, tak mengerti.
‘Pagi, nona Suti!’ aku terhenyak. Sapaan itu
menarik kesadaranku ke alam nyata.
‘Pa….pagi’, sahutku tergagap.
‘Masih ingat saya?’
Kucoba melacak memoriku lagi terhadap sosok
lelaki tampan gagah nan rapi di depanku ini.
‘Emmm, sepertinya kita pernah bertemu, tapi
dimana ya?’
‘Anda betul-betul tidak mengingat saya nona?’
‘Eh..iya maaf, anda siapa? Apa kita pernah
bertemu sebelumnya?’
‘Oh my God, betul rumor yang saya dengar. Anda
orangnya pelupa. Padahal yang saya tahu, nona adalah pekerja yang berprestasi
di perusahaan dan banyak membawa kemajuan serta keuntungan, dulu’.
‘Aah, anda bisa saja tuan….ehmm, tuan siapa
namanya?’, tegasku kembali.
Dia tertawa keras sebelum menjawab pertanyaan,
melihat ekspresiku.
‘Perkenalkan lagi, nama saya Andrew, nona.
Andrew santoso, saya asisten pribadinya Mr. Jay’.
‘Aha, saya ingat sekarang. Yeaah, kita pernah
bertemu di acara presentasi perusahaan Dico hotel and travelling, sesaat
sebelum pemutusan kontrak kerja masal’.
‘Bisakah nona mengikuti saya? Ada yang ingin
bertemu dengan anda’.
‘Siapa?’, tanyaku keheranan.
‘Nona lihat disana. Orang yang ada di dalam
mobil Bentley hitam itu, ingin berbicara dengan anda’.
‘Bos anda?’ tanyaku meyakinkan lagi.
‘Ya, Mr. Jay. Silahkan nona ikuti saya!’
perintahnya lagi.
Aku membetulkan topi yang kukenakan sambil
netraku melirik ke arah mobil seharga tiga koma enam milyar itu. Tampak
disebelah pintu penumpang, ada dua bodyguard yang berjaga.
‘Mau apa dia?’, pikirku.
‘Banyak banget musuhnya, musti pakai pengawal
segala hanya bertandang ke tempat aman nan sejuk ini?’
Dengan langkah ragu ku ikuti Andrew
mendekatinya. Sesaat kemudian salah satu pengawal yang berbadan besar itu,
membukakan pintu untuk ku. Aku hanya diam termangu memandangi celana kerja
berbahan mahal yang membaluti kaki panjangnya.
Aku terpesona dengan sepatu kulit berwarna
coklat terang, yang berkilau menyilaukan mataku. Sedetik….dua detik hingga tak
terasa hampir dua menit aku hanya terpekur di tempat yang sama.
‘Masuk, sampai kapan kamu berdiri di situ’,
bentaknya kasar.
Aku terhenyak’, eh…tidak nanti mobil Mr. Jay
kotor’, jawabku gugup.
‘Ray!’ gelegarnya lagi.
‘Ya bos’.
‘Paksa wanita itu ke dalam mobilku. Kalau
perlu gendong dia!’
‘Bos yakin?’, tanya pengawal yang dipanggil
Ray tersebut.
‘Sejak kapan kau menjadi tidak yakin dengan
perintahku, Ray?’
Aku semakin terkejut, ’tidak! Aku tidak mau
dipermalukan dengan hal tersebut. Apalagi disini masih banyak pelanggan dan
teman-teman pedagang seperjuanganku’.
‘Bahkan disudut sana mbok Misnah
memperhatikanku dari tadi. Kang Tono yang jualan cendol pun melihatku secara
intens. Kuatir hal buruk akan menimpaku. Ya, persaudaran antar pencari nafkah
disekitaran alun-alun kota ini memang sangat kental’.
Ku ikuti kemauannya tanpa bantahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Mira NR
agak bingung Thor .. terlalu banyak spasi.
2024-05-05
0