Sekar Almira POV
Ah, syukurlah aku sudah sampai di kamarku. Mama ku itu kalau sudah teriak, toa masjid aja kalah, loh! Jadi kalau ada pengumuman penting bisa kok hubungin Mamaku. Biar beliau yang berteriak untuk mengumumkan. Hihihi...
Aih, malah jadi membicarakan Mama, kan? Hiks... Maafin Mira ya, Mama sayang!
Aku mengambil laptop ku untuk mem-browsing laman lowongan kerja terpercaya di kota ku. Bagaimana lagi? Aku ini sampai sekarang masih pengangguran. Uang aja masih minta sama Papa. Itu pun kalau nggak ketahuan Mama. Kalau sampai ketahuan? Nggak akan pegang uang selama sebulan nanti aku. Papa Bagaskara-ku tercinta itu terlalu cinta sama Mama Santika, sampai semua ucapan Mama pasti disetujui Papa. Aih! Romantisnya Papa-ku, ya?
Sebenernya aku bisa sih, minta uang ke Abang. Abang-ku tercinta kan kakak paling baik sedunia. Tapi, jangan, ah! Abang kan sedang mengumpulkan uang banyak untuk biaya pernikahannya. Aku tidak tega untuk mengganggu kartu kreditnya lagi. Yah, walaupun satu buah unlimited card nya sudah ada di tanganku sejak dua tahun yang lalu, sih.
Eh bukan berarti aku suka morotin uang Abang, loh, ya! Aku hanya sedikit memanfaatkan kebaikan Abang aja, kok. Nggak salah, kan?
Oh! Jelas nggak salah. Aku kan adik kesayangan Abang, mana mungkin Abang tega melarangku untuk memanfaatkannya. Hahaha...
Aku kembali dari khayalanku, jari-jemari ini bergerak gesit menggeser kursor laptop untuk mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan passion-ku. Tapi sejauh ini, tidak ada lowongan yang pas dengan keinginanku. Hmmm... Apa mungkin keinginanku terlalu tinggi?
Ah, nggak juga! Aku kan hanya ingin bekerja di perusahaan besar yang punya bos tampan dan kaya. Siapa tau dia jomblo, terus suka sama aku, terus melamar aku dengan saaaaaangat romantis. Aaaaaa!! Aku janji akan membuat jembatan antara pulau jawa dengan Australia jika itu sampai terjadi.
Hiks... Sayangnya oh sayangnya! Hal itu hanya terjadi dalam imajinasi saja. Inilah akibat terlalu sering membaca novel tentang CEO dan ketampanannya, jiwa halu-ku berkembang sangat pesat. Astaga!
Dan apa tadi? Membangun jembatan? Membedakan mana semen mana pasir halus aja aku tidak bisa. Mana mungkin bisa membuat jembatan? Oops!
Ting!
Ponselku berbunyi membuyarkan lamunanku pasal CEO tampan dalam novel yang akan menjadi suami masa depanku. Aku meraih ponselku yang berada tak jauh dari bantal yang ku susun untuk meletakkan laptop kesayanganku.
"Nanti aku jemput jam 7." Itu adalah pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku.
Hah?!! Siapa dia? Jangan-jangan dia penjahat? Jemput aku untuk me-mutilasi-ku lalu menjual semua organ tubuhku?! Oh My God!! Mamaaaaaaa! Mira nggak mau di culik! Mira masih pengen nikah sama Mas Duda itu, Mamaaaa!
Ketika beberapa menit telah berlalu, dan aku hanya membiarkan pesan itu terbuka tanpa berniat membalasnya. Terdengar suara dering dari ponselku yang menandakan jika seseorang tengah menelponku. Aku pun mengeceknya dan terkejut ketika melihat nomor yang menghubungiku adalah nomor yang sama dengan yang mengirimiku pesan misterius tadi.
Berkali-kali ia mencoba menghubungiku, namun tak ada satu panggilan pun yang aku jawab. Dan kali ini, karena rasa penasaranku yang besar, aku mengangkat salah satu panggilan dari total 22 panggilan tak terjawab! Awww! Kok bisa sama seperti umurku sekarang ya?
Baiklah! Satu....Dua.....Tiga.... Mira bisa!
"Ha-halo?" sapaku saat sambungan telah terhubung.
"Hei!? Kamu kemana saja? Kenapa baru sekarang mengangkat panggilan dari saya?" ucap suara di seberang sana.
O-ow aku sepertinya mengenal suara ini? Tapi siapa?
"Ma-maaf si-siapa ya?" tanyaku gugup. Terdengar hembusan nafas kasar disana. Aku yakin kalau ini adalah suara seorang pria.
"Calon suami kamu," jawabnya singkat. Akupun hanya ber-oh ria sebelum tersadar jika yang menelponku adalah seorang Mas Duda, calon suamiku!!!
"EH, OM DUDA!!? Kenapa nggak bilang kalau yang mengirimiku pesan itu Om Duda!? Kenapa sih sukanya bikin anak gadis orang kaget? Bisa nggak sih kalau mau telpon aku tu kasih nama dulu, ha?! Ganteng-ganteng kok nyebelin," ucapku dengan bisikan di akhir kalimat. Semoga dia nggak dengan, Ya Allah.
"Kamu bisa nggak, kalau ngomong pelan-pelan aja? Budek kuping saya ini!"
"Nggak bisa! Udah turunan dari Mama kayak gini, kok!" ujarku membela diri. Loh? Aku nggak salah kan? Mama ku aja suka teriak-teriak, wajar dong kalau aku juga suka teriak-teriak?! Mama pasti bangga, deh sama aku! Yay!
"Terserah! Dan lagi, sudah pernah saya ingatkan untuk tidak memanggil saya dengan sebutan om, kan? Kenapa kamu bandel sekali? Saya ini calon suami kamu! Bukan calon suami tante kamu!" Aih... Kenapa calon suamiku juga banyak bicara sih sekarang? Udah ketularan virus Mama atau gimana ini? Hih!
"Iya... Iya... Maaf! Terus keperluan Mas telpon aku kenapa? Sudah kangen? Perasaan baru aja ketemu, deh," ucapku ke-ge er-an. Hihihihii.
"Kangen? Nggak ada gunanya kangen sama mulut petasan kayak kamu ini! Cerewet! Bawel! Manja! Cengeng," ejeknya pedas. Menyebalkan!
"Eh, biasa aja dong, Om! Sekata-kata kalau menghina aku! Sama calon istri kok kasar! Awas aja nanti! Aku aduin ke Papa Bagaskara, Mama Santika sama Abang Aldian tau rasa situ nanti, Om!" kesal sekali aku diejek habis-habisan sama calon suami. Bahkan mungkin aku akan menangis sekarang. Huwaaaa mamaaaa.. Hiks...
"Tukang ngadu!" ejeknya lagi. Untung saja dia tidak berada di depanku sekarang. Kalau iya? Aku tak akan segan untuk mencakar mulu pedasnya itu dengan kuku tajamku!
"Bodo amat! Aku matiin ini teleponnya! Merusak mood aja kerjaannya perasaan!" ucapku semakin berapi-api.
"Tunggu!" dia menahanku untuk mematikan sambungan telepon.
"Apa?!" ketusku.
"Bersiap-siaplah! Nanti malam aku akan menjemputmu. Kita harus pergi ke suatu tempat sebelum pernikahan kita," titahnya. Cih! Bossy sekali dia!
"Hm. Kali ini php lagi nggak?" tanyaku memastikan.
"Maksudnya?" ia bertanya kepadaku.
"Siapa tau janjian mau jemput taunya pas udah nunggu malah suruh berangkat sendiri LAGI," ucapku sambil menekankan kata LAGI. Jangan dikira aku sudah sembuh, ya, keselnya! Aku tentu saja masih mengingat ia yang mengingkari janji! Tak akan pernah kulupakan sampai kami menikah nanti! Eh?
"Enggak akan. Kali ini saya serius. Dan maaf soal yang itu. Saya benar-benar menyesal," ucapnya menyesal. Membuatku sedikit merasa iba karena sudah memarahinya. Inget, ya! Hanya sedikit!
"Hm! Yaudah aku mau siap-siap. Sampai ketemu nan-..."
Tut!
Sambungan teleponpun mati saat aku belum menyelesaikan ucapanku. Siapa lagi yang melakukannya? Tentu saja Mas Duda calon suamiku itu! Hahh!
DASAR DUDA GANTENG SIALAAAAAAANNN!!!!!
*
*
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Nurafni Zalfaalituhayu
dari pertama bac aj adah ramai gimana ya ....kelanjuutan ya.....?????😀😀😀
2021-11-13
1
Hesti Pramuni
rameh nih, thor kedepannya...
2021-06-06
0
Putri Anatasya
😂😂😂😂😂
2021-06-05
0