Perjanjian Kerja

"Tinggal?"

"Ya kan kebutuhan saya tidak tentu. Pagi pasti tapi kalau dibutuhkan malam atau pergi keluar kota bagaimana?"

"Apa?" Ibu Mei terlihat khawatir. Ia terlihat marah.

"Oh, jangan berpikir yang bukan-bukan dulu Bu, ini hanya masalah pekerjaan."

Ibu Mei terdiam sebentar. "Apa kamu punya foto keluargamu? Apa bisa ...."

"Ada." Tama membuka hp-nya dan mencari. Setelah itu ia sodorkan pada Ibu Mei. Matanya mulai berkaca-kaca tapi untung tak ada yang memperhatikannya.

Ibu Mei melihat foto keluarga Tama. Ada foto Arya, Mariko, Kenzo, Tama dan Aiko. Semua lengkap di situ. Eh, bukankah pasangan suami istri ini sedang viral di tivi karena pesawatnya jatuh, dan kemungkinan besar mereka meninggal? Jadi dia anaknya? Sepertinya anak yang jujur, tapi kasihan sekali nasibnya ya? Biarlah Mei membantu, mungkin ia butuh bantuan. Lagipula salah kami juga telah merusak mobilnya, tapi ... dia sepertinya masih anak-anak. Apa seumuran Mei ya? "Jadi orang tuamu yang ...."

"Jadi rencananya saya akan bawa Mei sekarang."

"Sekarang?" Mei dan Ibunya menjawab berbarengan.

"Iya karena saya butuh segera. Pekerjaan saya sudah menumpuk, dan saya tidak bisa mondar-mandir menjemput Mei."

"Oh, kalau begitu ... Mei cepat kau ambil pakaianmu," perintah Ibu Mei pada anaknya.

"Ibu ...." Mei merasa keberatan.

"Kamu lebih baik tinggal di sana bersama keluarga dari pada di sini sendirian. Ibu akan jenguk kamu, sekali-sekali di sana." Ibunya menepuk-nepuk bahu Mei. Gadis itu dengan malasnya kemudian masuk ke dalam kamarnya.

"Eh, Adek duduk dulu ya? Maaf rumah kami begini." Ibu Mei mengajak Tama duduk melingkari meja makan, ia menawarinya minum. "Mau minum teh mungkin."

"Oh, maaf tidak usah. Apa ... saya boleh tahu Mei sekolah di mana, biar pindah saja sekalian."

"Sekolah? Mei baru lulus SMP kemarin ini, tapi karena tidak ada biaya jadi tidak dilanjutkan."

"Baru lulus? Berarti seharusnya sekarang kelas 1 SMA ya? Sama dong sama saya." Tama terlihat senang.

"Oh, begitu? Berarti seumuran ya sama Adek."

"Saya minta ijazahnya Bu, biar bisa masuk sekolah saya."

"Ya? Masuk sekolah?" Ibu Mei terlihat bingung. Bukankah pemuda ini anak orang kaya, jadi pasti sekolah di sekolah mahal. Mei pasti juga tak sanggup membiayai sekolahnya sendiri walaupun sudah bekerja pada pemuda itu karena biayanya pasti tak terjangkau. "Pasti Adek sekolahnya mahal, membayar uang masuknya saja Mei mungkin tak sanggup."

"Saya butuh dia di sekolah Bu, perkara biaya biar saya yang tanggung."

Serasa mendapat durian runtuh, Ibu itu merasa sangat bahagia. Ia menggenggam tangan Tama. "Benarkah? Terima kasih ya? Ibu tak tahu harus bicara apa." Ibu Mei hampir menangis.

Tama terlihat bingung dan menggaruk-garuk kepalanya. "Eh, saya butuh dia di sekolah juga soalnya." Ia mengulang lagi kata-katanya, tak tahu kenapa wanita di depannya tiba-tiba berterima kasih dan menangis haru. "Maaf ijazahnya Bu."

"Oh, iya." Ibu Mei masuk ke dalam kamarnya. Giliran Mei keluar membawa tas besar. Ia melihat Ibunya masuk ke dalam kamar.

"Oya, aku minta kertas dan pulpen," pinta Tama.

"Untuk apa?"

"Untuk membuat surat kontrak kerjalah."

Akhirnya Mei kembali masuk ke dalam kamarnya. Ibunya kini keluar. "Ini. Semua persyaratan mendaftar sekolah ada di sini." Ia menyerahkan selembar map yang agak tebal pada Tama. Pemuda itu mengecek isinya sekilas lalu meletakkannya di atas meja. Mei datang dengan selembar kertas dan pulpen.

"Ok." Tama mengambil kertas dan pulpen itu dari Mei, dan coba menuliskan. Aku harus tulis apa ya? Oya, kontrak kerja. Pemuda itu menuliskan. Lalu ....

Aduuh ... aku harus menuliskan apalagi, aku kan belum pernah menuliskan kontrak kerja. Jangankan menulis, membacanya saja belum pernah, bagaimana caranya aku menuliskan kontrak kerja ini. Diliriknya kedua wanita yang duduk depannya itu. Mereka terlihat menunggu dengan tegang.

Aduh, aku kan Bosnya, masa Bos begini amat! Hah ... Tama hampir menangis karena ia tak tahu cara membuat kontrak itu dan ia sangat malu bertanya. Aduuuh ... aku sepertinya juga butuh asisten yang bisa membuat surat-surat penting karena aku tak tahu cara membuatnya. Andai saja aku punya selembar saja surat kontrak yang bisa aku contek isinya. Hah ... Ia semakin menundukkan kepala seolah-olah ingin menuliskan sesuatu padahal ia sedang menyembunyikan wajah karena malu.

Ah, anggap saja mereka juga tidak tahu. Aku langsung saja tulis isi kontrak itu. Jadi ...

Tama kembali tidak menemukan sesuatu apapun untuk ditulis. Ahh ... kenapa aku jadi Bos kayak begini, tidak tahu apa yang mesti aku tulis. Malu dong sama mereka. Aku kan tidak mungkin .... "Eh, biar cepat, mungkin ada yang bisa menambahkan point-point(nomor atau hal) pentingnya di sini?" Tama bersikap seolah-olah ia memerintah.

Mei dan Ibunya berpandangan.

"Mungkin jangan kerja berlebihan," ucap Ibu Mei.

"Oh, itu pasti!" jawab Tama lagi.

"Mungkin tidak boleh melakukan kekerasan fisik," tambah Mei.

"Oh, itu aku. Kau tidak boleh memukulku. Kalau sampai kau lakukan itu akan potong gaji." Tama menulis dengan senang. Asyik dapat nomor satu. "Lalu?"

"Mmh ... tidak boleh memaksa," lanjut Mei.

"Memaksa? seperti apa?"

"Ya mungkin aku tak bisa atau tak suka dengan pekerjaannya ya aku tak ingin dipaksa."

"Itu harus aku yang bicara. Kau tidak boleh memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku suka." Kembali ia menulis di atas kertas. "Lalu ...."

"Aku kerja sampai kapan Kak?"

"Oya, lama kontrak mmh ... 5 tahun?" Tama melirik Mei.

"Lama sekali Kak. Biasanya orang buat kontrak kerja setahun atau dua tahun, baru di perbaharui lagi."

"Dari mana kamu tahu?" tanya ibu Mei.

"Tetangga kita ada yang kerja kontrak, kontraknya setahun."

"Oh ...."

"Jadi aku tulis 2 tahun ya?" Tama selesai menulis. "Oya, kamu juga bekerja sebagai asistenku jadi nanti gajinya juga di tambah." Ia kembali menulis.

"Banyak sekali pekerjaanku?" Mei mengerut kening.

"Kan kau bekerja untuk meringankan bebanku. Ayo sekarang tanda tangan. Ibu dan Mei, di sini." Pemuda itu menyodorkan kertas itu dan menunjukkan tempat untuk mereka tanda tangani.

Mei melihat kertas itu dengan mengerut alis. "Tanggalnya mana Kak, kan ada jangka waktunya."

"Ah ya, tolong tuliskan."

Mei menuliskan, tapi ia masih mengerut alis.

"Ada apa lagi?" Tama terlihat kesal.

"Aku gak bisa baca, tulisannya jelek sekali seperti ceker ayam."

Tama memperlihatkan wajah kesal sekaligus malu. Ibu Mei hampir tertawa.

"Sudah tanda tangani saja, kan kamu sudah tahu isinya. Aku tak mungkin bohong kan!" Tama menekan gerahamnya saking kesalnya tulisannya di ledek sedemikian rupa oleh Mei. Gadis itu yang terlanjur bicara juga berusaha menahan tawa dengan tersenyum kecil. Ia menanda tangani surat itu, lalu Ibunya. Terakhir Tama menandatangani surat itu.

"Surat ini aku yang pegang ya?" Tama melipat kertas itu dan mengantonginya. Ia mengambil map di depannya.

"Gak pakai materai Kak?" Mei mengingatkan.

"Tidak perlu. Itu ... itu untuk yang diketik," Tama mencari alasan. Sebenarnya ia malas untuk membuat ulang karena tanda tangan harus di atas materai.

"Harusnya aku dapat kopinya kan?"

"Eh, itu nanti saja. Ayo kita pergi."

Mei mengambil tasnya.

"Eh, tunggu dulu." Ibu Mei menyetop mereka pergi. Ia menyodorkan tangannya. "Uangnya belum."

"Oh, maaf." Tama mengeluarkan dompetnya. Ia memberi Ibu Mei uang sejuta.

"Kurang."

"Apa?"

"Kan dia kerja jadi Asisten juga kan? Berarti gajinya dobel."

"Ibu ...." Mei jadi malu.

Namun permintaan Ibu Mei dipenuhi. Tama memberi sejumlah yang sama seperti tadi. "Sudahkan? Kami pamit, assalamualaikum."

Ibu Mei menyodorkan tangannya. Tama terpaksa mencium punggung tangan Ibu Mei. Menyusul Mei.

"Hati-hati di jalan ya? Jangan bertengkar." Lambai Ibu Mei memberi semangat.

Mei malu Tama melihat Ibunya seperti manusia tak tahu malu. Padahal ia pergi bekerja bukan bermain atau pergi wisata.

Ibu Mei mengantarkan keduanya hingga depan pintu rumahnya. Ia melambai pada mobil mewah itu yang pergi menjauh. "Tidak ada anak orang kaya yang mau membayari Mei sekolah di sekolah mahal seperti itu dengan alasan jadi Bodyguard-nya. Kali aja jodoh," gumam Ibu Mei sambil tersenyum. Ia kembali masuk ke dalam rumah dengan riangnya.

Di dalam mobil. "Berapa nomor hp-mu?" Tama mengeluarkan hp-nya.

"Ngak punya Kak."

"Eh?" Pemuda itu mengerutkan alis menatap Mei yang duduk di depannya.

"Iya, gak punya."

"Kenapa kamu kok miskin sekali sih?"

Mei menoleh ke belakang dengan wajah marah.

Tama menegakkan tubuhnya. "Eh, cuma becanda," tawa yang kering.

"Aku kan tidak minta kerja padamu," jawab Mei merengut.

"Iya, iya aku beliin. Berisik banget deh!"

Ih, sopan banget bicaranya.

Sopir itu hanya senyum di kulum melihat tingkah kedua. Wah pasti rame nih tiap hari. Si Bos ada lawannya.

-------------++++------------

Ada keributan di depan rumah Kenzo. Leka dan Aiko sampai menengok ke luar.

"Ada apa?" tanya Leka pada Bodyguard-nya.

"Leka, aku mau menengok Runi!" teriak Aska dari balik pagar.

Pagar Kenzo yang sedikit tinggi dan tertutup menyebabkan Leka dan Aiko tidak bisa melihat Aska yang berdiri di balik pagar. Pria itu kembali berusaha masuk rumahnya dengan alasan Runi anak mereka, padahal jelas-jelas Runi belakangan mulai tidak suka pada Aska karena merasa di permainkan karena ia datang untuk Ibunya dan bukan untuk dirinya.

Walaupun masih kecil Runi bisa merasakan itu. Ia juga pernah tak sengaja melihat sendiri bagaimana Aska hampir mencelakai Kenzo, Ayah tirinya itu. Runi sebenarnya lebih menyukai Kenzo ketimbang Aska yang notabene adalah ayah kandungnya karena terlihat sekali Kenzo lebih menyayanginya di banding Aska.

Memanggil Kenzo 'Papa' pun secara tidak sengaja, karena kenzo bisa bernyanyi dengan suara merdu dan sering mengucap 'papa-papa' saat bernyanyi.

Leka bimbang. Ia tak ingin bertemu Aska karena pria itu sering berbuat yang aneh-aneh hanya demi agar menarik perhatiannya tapi ia tidak bisa membatasi Aska bertemu anaknya Runi. Lagipula suaminya sedang tidak ada di rumah, menambah rumit suasana.

Terdengar bunyi klakson mobil berbeda. Ternyata ada mobil mewah Tama mengantri di belakang mobil Aska. Pria itu segera masuk ke mobilnya. Dengan sendirinya pagar terbuka dan kedua mobil itu bisa masuk ke dalam rumah Kenzo.

_____________________________________________

Halo reader tercinta. Terima kasih masih sayang dengan novel karya-karya aku ini. Jangan lupa like, komen, vote, hadiah atau koin yang membuat Author semangat menulisnya. Ini visual Jaleka Rasmin atau yang akrab disapa Leka yang digilai Kenzo dan juga Aska, mantan suaminya. Salam, Ingflora 💋

Ada tema berbeda di novel Author Gupita kali ini. Poor Beautiful Wonder ada bercerita tentang seorang suami yang berselingkuh karena istrinya gemuk setelah menikah. Regina hatinya hancur setelah tahu selingkuhannya itu lebih cantik dan lebih kaya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Yuk, yuk, yuk!

Terpopuler

Comments

Ratna Dadank

Ratna Dadank

ya ampuiinn aska..

dr judul sungai rindu
smpe judul baru kamu bener2 sangat menyebalkan yaaaa...


sabar ya Leka,semoga kenzo segera pulang,dan membawa kabar bahagia..😍😍😍😍

2022-03-24

4

Novi Ana

Novi Ana

suka ma tama n mei lucu banget kayak tom and jerry.....
🤗🤗🤗

2022-03-21

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!