Junior CEO And Bodyguard Mei

Junior CEO And Bodyguard Mei

Awal Derita

"Lama amat sih? Aku harus nunggu berapa lama lagi ini kalau udah begini? Huh, dasar sopir! Mengurus seperti ini saja gak becus!" Pemuda itu menggerutu sambil mengintip dari balik kaca mobil. Ia melihat sopirnya sedang bernegosiasi dengan seorang pedagang lontong sayur keliling yang sudah menepi. Pedagang itu telah menyerempet mobil mewahnya saat menyeberang jalan.

Pemuda itu kesal harus menunggu lama hingga ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.

Tak lama sopir itu datang menghampiri dan mengetuk pintu kaca jendelanya. Pemuda itu menurunkan kaca jendela, setengah. "Maaf Pak. Saya sudah mengatakan jumlah ganti rugi yang Bapak sebut tapi sepertinya dia tidak punya uang sebanyak itu Pak."

"Nah, itu? Berani berbuat tapi ngak berani bertanggung jawab! Berjalan di tengah jalan sepertinya dia yang punya jalanan, tapi giliran nyerempet mobil orang ngaku ngak punya uang. Ya, iyalah! Pasti. Mana ada tukang lontong sayur punya uang sebanyak itu! Diperas keringatnya pun tidak akan menghasilkan apa-apa! Untung hari ini aku lagi baik tidak mau capek-capek ngurusin hal bodoh seperti itu, jadi ya harusnya mereka bersyukur. Ayo Mang, saya sudah terlambat ini mau meeting." Setelah mengomel panjang pemuda itu menekan tombol di bawah kaca jendelanya. Seketika kaca jendela itu tertutup.

"Yah, sepertinya orang itu pulang ya Yah?" Seorang gadis bertubuh kurus berdiri di samping pedagang lontong sayur itu dan berkomentar sambil melihat sopir itu berjalan memutari mobil dan masuk ke dalam mobil itu. Tak lama, mobil pun menjauh.

"Mungkin." Pedagang lontong sayur itu kini bingung melihat beberapa piringnya pecah setelah menyerempet mobil mewah tadi. Kalau ia harus beli lagi, berarti penjualan hari itu setidaknya harus habis terjual. Itupun ia hanya bisa beli satu piring saja karena sisa uangnya harus digunakan lagi untuk modal ia belanja bahan untuk berdagang besok dan hanya sedikit uang tersisa untuk makan mereka hari itu.

"Ayah." Gadis itu memanggil ayahnya yang sedang merapikan piring-piring yang sudah pecah. "Tadi kan Mei sudah bilang Mei saja yang jualan. Mei bisa sendiri kok. Ayah kan sedang tidak enak badan."

"Iya Mei, maaf. Ayah jadi menyusahkanmu, tapi gerobak ini berat. Ayah takut kamu tidak sanggup mendorongnya karena perjalanan ke tempat dagang itu cukup jauh. Jadi ayah berinisiatif untuk mendorongnya ke tempat tujuan, setelah itu ayah nanti beristirahat di sana sambil menunggu kamu melayani pembeli. Eh ... tapi, jadinya malah begini." Ayah Mei terlihat menyesal.

"Sudah Yah, kita dorong saja lagi gerobaknya. Sebentar lagi juga sampai. Mumpung masih pagi Yah, pasti banyak yang beli."

"Tapi piringnya banyak yang pecah." Ayah Mei, memperlihatkan piring yang pecah pada anaknya.

"Ini kan hari Sabtu Yah. Kita tawarkan saja untuk dibawa pulang. Mudah-mudahan banyak yang mau beli."

"Ya sudah, bismillah saja."

Mei merapikan jilbab instannya sebelum membantu Ayahnya mendorong gerobak hingga ke dekat pasar. Pasar itu letaknya dekat dengan Gelanggang Olahraga. Di sana setiap Sabtu, di penuhi oleh lebih banyak pengunjung. Ada yang berbelanja barang kebutuhan, berolahraga bahkan hanya sekedar cuci mata. Tapi juga tak sedikit yang berbelanja makanan. Di sana banyak sekali pedagang gerobak dorong. Mereka rata-rata sudah berlangganan sehingga mereka sudah punya tempat mangkalnya masing-masing.

Beruntung, gerobak lontong sayur Mei ketika datang langsung diserbu pembeli. Mereka berharap bisa sarapan lontong sayur di sana. Banyak juga yang minta dibungkuskan untuk dibawa pulang. Dalam sekejap, lontong sayur jualan habis terjual.

Memang pedagang kecil seperti mereka hanya bisa berjualan lontong sayur dalam jumlah sedikit karena modal jualannya yang tidak banyak. Ayah Mei sebenarnya ingin sekali berjualan di depan rumah. Sayang, rumah mereka kecil dan tinggal dalam gang sempit jadi susah untuk berjualan.

"Mei, jualan sudah habis. Ayah mau istirahat dulu di sini. Kamu kalau mau main ke Gelanggang Olahraga, mainlah. Ayah akan tunggu kamu di sini."

"Apa kita tidak belanja dulu Yah?"

"Nanti saja. Ayah yang akan belanja." Ayah Mei menyandarkan tubuhnya ke dinding pagar pasar saat ia duduk di kursi plastik yang dibawanya.

"Tidak apa-apa Yah, Mei tahu belanjaan yang mau dibeli." Mei membuka tas pinggangnya dan menghitung jumlah uang yang terkumpul. "Yah, pergi dulu ya?"

"Eh tunggu Mei. Tolong buangkan piring yang pecah itu. Itu sudah ayah bungkus di sana." Ayah Mei menunjuk dengan dagunya tumpukan piring pecah yang sudah dibungkus plastik yang ada di atas gerobak dagangannya dekat panci lontong sayur.

"Iya Yah." Mei mengambil bungkusan itu lalu membawanya pergi.

Sebelum memasuki pasar, Mei membuang sampah piring pecah itu di tempat pembuangan sampah besar milik pasar. Ia kemudian masuk ke pasar dan berbelanja. Gadis itu pergi ke tempat-tempat langganan ayahnya. Ia biasa menemani Ayah berbelanja sehingga ia hapal tempat-tempat langganan Ayah dan juga barang belanjaannya.

"Ayahmu mana?" Tanya seorang pedagang sayur saat melihat Mei.

"Oh, sedang menunggui dagangan Pak."

"Oh." Bapak tua itu merapikan jagung di depannya. "Mau beli apa?"

"Biasa Pak. Labu ini sama ..." Mei memilih belanjaan.

Ia pindah beberapa kali ke beberapa tempat demi untuk mencari bahan belanjaannya itu.

Mei melihat tangannya penuh dengan barang belanjaan. Hari ini ada beberapa pedagang yang memberi harga murah karena dianggap membantu orang tua dengan belanja untuk kebutuhan dagangan dan ramah juga murah senyum. Ia jadi bisa membeli 2 piring dan sebungkus gado-gado buat makan siang mereka. Mei tersenyum senang.

Saat ia berjalan keluar pasar, ia berpapasan dengan seorang penjual keliling yang mengalungkan dagangannya di leher di atas sebuah baki dari kayu. Ia berjualan macam-macam gantungan kunci. Tapi siang itu jualannya belum laku.

Anak muda penjual gantungan kunci itu hanya bisa menunduk lesu di kursi depan sebuah toko. Mei mencoba melihat sisa uangnya. Tinggal sepuluh ribu.

"Berapa itu gantungannya satu?"

"Oh, itu ... lima ribu Kak." Anak muda itu terlihat bersemangat.

Mei hampir tertawa. Di lihat dari manapun jelas Mei lebih muda dari pemuda di hadapannya itu tapi ia di panggil 'Kak'. Uangku tinggal sepuluh ribu, tapi, ya udahlah. Mei bertekad untuk membantu pemuda itu.

Mei mencoba melihat dagangan pemuda itu. Ada satu gantungan kunci menarik hatinya. Sebuah gantungan kunci dari dua bola benang wol yang di satukan membentuk boneka beruang dengan hiasan matanya yang ditempel berwarna biru.

"Aku mau ini." Mei menunjuk gantungan kunci itu setelah sebelumnya meletakkan belanjaannya di lantai. Ia memberikan uangnya.

Pemuda itu memberikan gantungan kunci beserta kembaliannya.

"Makasih Kak. Penglaris." Pemuda itu memukul dagangannya dengan uang Mei. "Mudah-mudahan berkah karena sudah bantu saya Kakak."

"Amin."Jawab Mei lagi. Ia langsung memasangkan gantungan kunci itu di kaitan resleting tas pinggangnya kemudian tersenyum. Kelihatannya lucu juga, pikir Mei.

Mei segera mengangkut belanjaannya kembali dan keluar dari lingkungan pasar. Ia mendatangi gerobak Ayahnya.

"Ayah, ayo kita pulang."

Ayahnya ternyata telah menunggunya dengan wajah pucat.

"Ayah, Ayah kenapa?" Mei mendekat, dan memandangi wajah Ayahnya.

"Mmh? Ayah sedikit pusing. Ayo, kita segera pulang."

Mei meletakkan belanjaannya di laci di bawah gerobak, dan mendorong gerobak itu berdua Ayahnya. Pria itu terlihat sempoyongan mendorong gerobaknya.

"Ayah, besok Mei jualan sendiri saja ya Yah? Mei bisa kok jualan sendiri. Di tempat yang dekat-dekat saja. Ayah besok istirahat saja. Besok kan hari Minggu. Pasti laris Yah jualan di mana saja."

"Iya, iya. Terserah kamu saja."

Mereka mendorong gerobak hingga rumah. Ayah Mei segera duduk di bale-bale depan rumah dan mengelap keringatnya.

"Ayah kita langsung makan saja ya Yah, sebentar lagi sudah waktunya jam makan siang Yah."

"Ya sudah, siapkan sana. Ayah mau istirahat sebentar. Antarkan belanjaanmu pada Ibumu dulu."

"Iya Yah."

Sebentar kemudian Ayah, Ibu dan Mei menikmati makan siang dengan hanya sebungkus gado-gado yang mereka bagi bertiga di tambah dengan nasi. Sesudah itu Ibunya menyiapkan bahan lontong sayur untuk esok pagi di bantu Ayah Mei, sedang Mei sendiri beristirahat di kamar.

Prang ...

Suara itu mengagetkan Mei. Ia segera ke dapur. Di sana ia mendapati ayahnya tergeletak di lantai dalam keadaan pingsan. Tak jauh dari situ semangkuk sambal yang baru saja selesai di masak, tumpah di lantai. Ibu terlihat cemas duduk di samping Ayah.

"Ibu, Ayah kenapa?"

"Tolong panggil Bang Oding di samping, minta tolong bawa ayah ke rumah sakit."

"I-i-iya Bu."

Tidak butuh waktu lama, rumah kecil Mei itu di penuhi para tetangga. Mereka membantu membawa Ayah dan Ibu Mei dengan 2 motor. Ayahnya setengah sadar dibawa ke rumah sakit.

Mei bingung di tinggal sendiri di rumah. Ia akhirnya mencoba menyelesaikan masakan Ibunya, dan memeriksa barang lainnya. Ia kemudian mencuci piring.

Aku harus punya uang, aku harus dagang besok, tapi ... sambelnya tinggal sedikit. Tidak cukup untuk dagang besok. Hah ... uangku tinggal lima ribu lagi ....

Namun gadis itu tetap pergi ke pasar. Ia terpaksa beli cabai bubuk karena lebih murah.

-------------++++-------------

Sebuah mobil mewah menikung melewati tempat sepi mencari jalan alternatif tapi tiba-tiba seorang pria muncul dari arah kiri berjalan cepat dan bughh ....

Pria itu menghilang dari pandangan orang-orang di dalam mobil, membuat mereka panik.

"Hei! Kita nabrak orang ya?" tanya pemuda itu panik.

"Tapi Pak, sepertinya dia hanya ke serempet mobil saja, bukan nabrak." Sopirnya meyakini.

"Coba kamu lihat di luar. Awas saja kalau nabrak orang, kamu yang tanggung sendiri!"

Sopir itu, yang beruban rambutnya di beberapa tempat segera turun dan memeriksa, tapi kemudian lama tak muncul.

"Mang, lama amat sih?" Pemuda itu tak sabaran dan turun. Ia kaget melihat pria yang di tabrak oleh mobilnya tadi, sekarang sedang menodongkan pisau pada sopirnya dalam keadaan keduanya sama-sama tertelungkup. Pantas saja keduanya tak terlihat dari tadi.

Karena saking kagetnya ia mundur ke belakang menabrak tubuh seseorang. Ia menoleh dan mendapati 3 orang pria bertampang preman memperlihatkan seringai jahatnya tepat di depan wajahnya. Salah satunya mengacungkan pisau.

Pemuda itu ketakutan tapi berusaha tak di tampakkannya. "Eh, kalian mau apa?"

"Tentu saja ... menguras dompetmu."

Pemuda itu tertawa pelan. Tiba-tiba ia mencoba untuk kabur tapi terkejar oleh mereka. Kedua teman pria itu berhasil menangkap dan menghajar pemuda itu hingga tersungkur. Pria itu murka. "Kau ingin merasakan wajahmu jadi cincangan halus, hah?" Ia mengarahkan pisau di tangan ke arah wajah pemuda itu.

Pemuda itu menutup mata. "Ah, ampunn. Jangannn ...."

Seketika terlihat hujan serbuk yang mengarah ke wajah pria-pria jahat itu. Setelahnya mata mereka pedih.

____________________________________________

Selamat datang reader di novel terbaruku. Jangan lupa, tekan favorit untuk memulainya. Lebih bagus lagi sumbangkan saran, like, komentar, vote, hadiah hingga coin jika suka. Ingatlah, pemberian reader sangat berarti untuk author. Ini visual Maysaroh Safir atau biasa dipanggil Mei. Salam, ingflora 💋

Ada lagi author yang menulis dengan tema berbeda, 2 orang sahabat dan impiannya. Author Crazy_Girls menulisnya di novel Gadis Oleng mencari cinta. Ayo yang kepo.

Terpopuler

Comments

Trisnawati Ilyas

Trisnawati Ilyas

mampir dengan membawa 1 vote buat Mu Thor....

2022-09-06

4

Nirwana Asri

Nirwana Asri

idih sombong amat ya,

hallo aku udah mampir dengan 1 kopi biar nggak ngantuk ya say

2022-08-25

1

mama yogi

mama yogi

Maa Syaa Allaah cantiknya, Mei ٩😍۶

2022-08-23

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!