Lara
Kenapa ya aku sekarang jadi agak aneh? Aku bisa makan kepiting dan udang, padahal sejak Mama meninggal, aku tak lagi mau memakannya karena selalu saja membuatku jadi teringat dengan Mama.
Bukan itu saja, banyak hal aneh yang terjadi dalam diriku. Selain keberanian melawan Tante Sofie dan Anggi, aku juga jadi bisa memodifikasi baju padahal sebelumnya hanya menjahit biasa saja. Yang lebih mengherankan lagi adalah betapa lancarnya aku berbicara di depan kamera, layaknya seorang selebgram sesungguhnya
Selebgram? Bukankah Agni dulu adalah seorang selebgram?
Aku hendak membuka Hp milikku dan mencari tahu tentang Agni ketika Papa mengajakku kembali ke kantornya. Aku tidak ikut masuk kembali ke kantor Papa dan memilih langsung pulang ke rumah.
Agni memang terkenal sebagai selebgram yang suka mengedukasi masyarakat, tapi aku tak pernah melihat akun sosial media miliknya. Aku pun mencari namanya dan mulai stalking sosial media milik Agni, melihat apa saja yang sudah Ia posting.
Kontennya banyak berisi tips dan trik tentang kecantikan, salah satunya adalah agaimana make-up yang simple namun terkesan natural. Aku scroll ke bawah dan mendapati postingannya tentang mengedukasi masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi makanan junk food, anjuran mengkonsumsi sayur dan buah dan tips kesehatan lainnya.
Wow... Hebat sekali dia. Pantas saja followersnya banyak. Masih muda dan cerdas, namun sayangnya aku sudah merenggut nyawanya. Semua karena kebodohanku!
Tanpa terasa aku sudah sampai di rumahku yang mewah. Supir Papa membantuku membawa barang belanjaanku yang sangat banyak tersebut.
"Kita langsung ke kamar Lara aja ya, Pak!" pintaku.
"Baik, Non."
Aku berjalan melewati ruang tamu dan berpapasan dengan Anggi.
"Eh cupu! Belanja apaan lo segitu banyaknya? Duit dari mana? Wah pasti lo minta duit sama Papa di belakang Mama ya?!" Anggi lalu berteriak memanggil Mamanya untuk mengadu. "Ma! Mama! Si Cupu habis belanja nih!"
Tante Sofie yang sedang berada di lantai atas pun turun. Tante Sofie memang cantik dan awet muda, wajar kalau Papa akhirnya tergoda dan memutuskan menikah lagi.
Tante Sofie tak pernah sekalipun menyayangiku. Baginya aku hanyalah pengganggu dan hama yang harus dibasmi, seperti layaknya cerita ibu tiri kejam di dongeng-dongeng.
Aku ingat saat dulu aku memiliki sepatu baru yang baru saja aku beli dengan uang tabunganku, Anggi yang merengek meminta sepatuku membuat aku harus memberikan sepatu kesayanganku untuknya. Aku mengalah dan selalu mengalah selama ini, namun kali ini jangan harap!
Semua yang aku beli hari ini adalah modalku untuk menjadi selebgram yang sukses. Dengan menjadi orang terkenal, maka Papa akan aman dari rencana jahat Tante Sofie. Setidaknya aku akan membuat konten dimana ada Papa didalamnya. Kalau sampai Tante Sofie berniat mencelakai Papa, aku bisa mengantisipasinya.
"Kenapa, Gi?" tanya Tante Sofie yang menuruni tangga dengan gerakan anggunnya.
"Mama lihat! Si Cupu ini belanja banyak banget! Uang dari mana coba dia? Pasti Ma, dia minta duit Papa di belakang kita! Pokoknya, Anggi juga mau belanja kayak Si Cupu ini!" adu Anggi dengan manja pada Mamanya.
"Wow.... wow... wow... Hebat sekali kamu!" Tante Sofie bertepuk tangan sambil tersenyum jahat bak devil, "Berani ya sekarang kamu tuh meminta uang dengan Papa kamu di belakang saya? Sejak kapan kamu boleh minta uang sama Papa kamu? Semua keuangan di rumah ini, saya yang ngatur! Berani sekali kamu bermain belakang dengan saya!" Tante Sofie melipat kedua tangannya di dada dan menatapku dengan tatapan marah.
Diam-diam aku memegang Hp-ku dan bersiap untuk menghubungi Hp Papa. Jangan sampai semuanya berhasil mereka rebut. Aku harus menggagalkan mereka berdua!
"Memangnya apa yang salah ya?" tiba-tiba dalam diriku muncul keberanian yang aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Aku seakan berbicara tanpa pikir panjang lagi akibatnya, berbicara tanpa sadar dan seenaknya saja. "Rumah ini adalah rumahku, Papa Handaka adalah Papaku. Memangnya kenapa kalau aku meminta uang sama Papa aku sendiri? Memangnya, hanya kalian saja yang bisa belanja dan berfoya-foya dengan uang Papa? Aku juga bisa! Malah aku yang lebih berhak dibanding kalian!"
Aku menantang balik Tante Sofie dan Anggi tanpa kenal takut. Aku juga tak tahu kenapa aku bisa seperti ini. Aku merasa, ini bukan diriku. Aku nggak pernah punya keberanian seperti ini dalam hidupku. Aku selama ini hanya bisa menangis dan menahan segala amarah dalam diriku seorang diri.
Mata Tante Sofie terbelalak kaget dengan keberanian yang aku miliki. Emosinya pun tersulut. Ia lalu memerintahkan sopir Papa untuk menaruh barang-barang milikku di lantai.
"Taruh semua barang-barang yang dibeli anak ini di bawah! Jangan turuti perintahnya! Kalau di rumah ini, saya yang berhak untuk mengatur segala yang ada di rumah!" perintah Tante Sofie dengan suaranya yang terdengar menyeramkan.
Sopir Papa tak bisa berbuat apa-apa. Tante Sofie itu ibaratnya nyonya besar, dan aku tuh cuma nona muda dalam rumah ini. Kekuatanku tentu kalah jauh dibanding si nyonya besar.
Anggi tersenyum penuh kemenangan dan menatapku seakan Ia sudah keluar sebagai pemenangnya dan aku kalah. Jangan senyum dulu, Dude. Semua belum berakhir!
"Barang-barang yang kamu beli hari ini, semuanya untuk Anggi!" titah Tante Sofie.
Aku tersenyum mengejek. Aku pun mulai menghubungi Hp Papa. Ini saatnya aku membalas mereka. Seenaknya saja! Aku yang belanja setelah meminta uang dari Papa, tapi kenapa mereka yang mau mengambil semua yang aku punya?! Enak saja!
"Pak, bawa semua ke kamar saya!" perintahku pada supir Papa. "Papa tadi berpesan sama Bapak, untuk membawakan semua barang-barang saya bukan? Kalau Bapak tidak membawakan ke kamar saya dan lebih menuruti kedua orang di depan saya ini, maka saya akan mengadukan semuanya sama Papa!" kataku pada supir Papa dengan penuh penekanan.
Barang-barang yang baru ditaruh oleh supir Papa kemudian beliau angkat lagi. Pak supir tahu, meski Tante Sofie adalah nyonya di rumah ini, namun aku adalah putri sesungguhnya pemilik istana ini.
"Berani sekali kamu melawan saya?!" Tante Sofie semakin murka, dengan suara lantang Ia memerintahkan anaknya. "Anggi, ambilkan seember air! Biar Mama siram anak tidak tahu diri itu, agar dia sadar siapa yang berkuasa di rumah ini!"
Sebelum Anggi melangkah, aku mengangkat Hp-ku yang sedang menghubungi Papa. "Oh ya? Kalau begitu kita tanyakan saja sama Papa, siapa yang lebih berkuasa di rumah ini?!" kutantang Tante Sofie tanpa kenal takut.
"Jangan dengerin, Ma! Anak itu cuma menggertak aja! Mana berani dia lapor sama Papanya sendiri?!" Anggi mulai mengompori Mamanya untuk lebih menekanku. Tidak bisa, akan kubuktikan kalau aku serius dengan perkataanku.
"Oke kita buktikan saja, aku main-main atau tidak dengan perbuatanku?!" balasku lagi.
Papa pun mengangkat telepon dariku. Kami melakukan video call dan aku bisa melihat Papa sedang berada di ruangannya.
"Ada apa, Sayang? Kamu sudah sampai di rumah?" tanya Papa dengan suaranya yang lembut dan penuh kasih sayang.
"Iya, Pa. Lara baru saja sampai rumah. Ini nih Pa, Anggi sama Tante Sofie lagi ngobrol di dekat tangga, jadinya Lara nggak bisa deh bawa barang-barang belanjaan Lara ke atas." aku tersenyum meledek ke arah kedua ibu dan anak itu.
Kuarahkan kameraku menghadap ke Tante Sofie dan Anggi. Tante Sofie terlihat menahan amarahnya. Tangannya terkepal dan wajahnya mulai memerah.
"Kalian sedang apa di tangga? Kasihan dong sama Lara! Barang belanjaannya banyak, kalian bisa minggir sebentar kan?" Papa mengomeli Tante Sofie dan Anggi.
Tante Sofie mencubit lengan Anggi yang hendak protes. Ia lalu memasang senyum manis ke arah Papa. "Kita mau minggir kok, Sayang! Cuma, kita penasaran aja Lara belanja apa? Lara nggak mau kasih lihat! Makanya kita makin penasaran!" pintar sekali Tante Sofie bersandiwara di depan Papa. Kata-katanya bisa memutar balikkan keadaan dan membuat aku terlihat sebagai seseorang yang pelit dalam memperlihatkan belanjaanku.
"Ini surprise, Pa! Lara nggak mau ada yang melihat sebelum hasilnya jadi nanti. Makanya dari tadi Lara udah minta sama Tante Sofie dan Anggi untuk minggir, tapi mereka penasaran banget. Emangnya nggak boleh ya Lara merencanakan sesuatu? Lara-kan juga punya cita-cita, Pa! Lara nggak mau sesumbar dulu sebelum semua itu berhasil." kataku dengan suara yang dibuat sesedih mungkin.
Lagi-lagi aku kembali berakting seakan aku adalah korban. Memang benar sih aku adalah korban, entah aku dapat darimana kemampuan akting ini? Yang pasti, Tante Sofie terlihat semakin marah saja padaku.
"Sudah! Sudah! Hanya masalah begini saja kalian sampai bertengkar. Mana sopir Papa?" kuarahkan kamera ke supir Papa agar Papa bisa bicara langsung. "Bawa ke kamar Lara semua barang-barangnya!" perintah Papa tak terbantahkan lagi.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Kulewati Tante Sofie dan Anggi sambil terus video call dengan Papa. Mereka hanya diam dan memberiku dan supir Papa jalan untuk naik ke atas.
Kukunci pintu kamarku agar mereka berdua tidak membalas perbuatanku. Aku sudah meminta Papa mengganti kunci kamarku. Papa bilang hari ini juga tukangnya akan datang.
Huft... Hari ini aku bisa bernafas lega, namun aku tak bisa selamanya berlindung di belakang Papa. Aku harus kuat agar bisa melindungi Papa juga dari rencana jahat mereka.
Aku yang kelelahan pun tertidur di kasurku. Aku kembali bermimpi aneh. Aku berada di sebuah taman dan sedang memotret Ditya.
Ditya tersenyum seraya berkata, "Agni, jangan jahil deh! Ayo kita pulang! Sudah sore!"
Aku langsung terbangun. Bulir keringat membasahi wajahku. Pasti ini mimpi. Tapi kenapa dalam mimpiku Ditya memanggilku Agni?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
sabar selalu
2022-10-03
1
Ketut Masti
knp lara dk belajar ilmu bela diri
2022-10-02
1
❤ $he ¥ ❤
💚💙💚💙💚
2022-08-13
1