Mengejar Cinta Si Tampan
Hari ini adalah hari pertama Devan Artama menjabat sebagai Presdir. Ia tersenyum di depan cermin menatap dirinya yang gagah. Ia menaiki mobil mewah hadiah dari sang nenek setahun yang lalu. Dengan gesit, ia menyusuri jalan ibukota menuju kantornya sambil menikmati musik.
Sementara itu di gedung Arta Fashion, para karyawan bersiap menyambut Presdir mereka yang baru. Mereka sibuk berbenah diri dan ruang kerja masing-masing. Atasan mereka kali ini sangat berbeda. Beliau penyuka kebersihan dan tak bisa bersentuhan langsung dengan orang lain.
"Cepat kalian bersihkan seluruh gedung ini Presdir akan datang!" perintah Hilman, Sekretaris Presdir pada petugas kebersihan.
"Baik, Tuan!" Jawab sepuluh orang petugas kebersihan gedung serempak.
"Hilman, apa kita perlu memanggil petugas kebersihan dari luar untuk membantu mereka?" Tanya Tia, seorang manager bagian karyawan.
"Boleh juga, dia akan tiba dua jam lagi," jawab Hilman.
Tia pun menelepon layanan kebersihan online, beberapa menit kemudian beberapa orang petugas kebersihan datang.
Seluruh ruangan di bersihkan, diberikan pengharum ruangan dan tak ada sampah yang menumpuk di dalam tong sampah.
Semua memperhatikan pakaian yang mereka pakai dan berdiri dengan sikap yang sempurna.
Mereka semua menyambutnya dari pintu masuk gedung.
Tak lama kemudian, seorang pria muda berusia 27 tahun turun dari mobil mewah. Memakai jas dan tampak begitu rapi.
"Selamat datang, Tuan!" Sapa Hilman di samping pintu mobil.
"Ya."
Pria itu berjalan memasuki gedung. Seluruh karyawan, menundukkan sedikit kepalanya memberikan hormat.
"Saya tak mau ada sampah berserakan di lantai gedung ini," ucapnya pada Hilman yang berada disampingnya sambil berjalan menuju ruangan kerjanya dan melirik ke kanan dan kirinya.
"Baik, Tuan!"
"Tapi kenapa itu masih ada daun yang jatuh di lantai?" tunjuknya pada sebuah pot bunga yang berada di dekat pintu lift. Dengan gerakan cepat, Hilman memungutnya dan mengantonginya.
"Jangan sampai itu terjadi lagi," Devan mengingatkan.
"Baik, Tuan!"
Pria itu memasuki ruangan kerja miliknya, ia menempelkan ujung jari telunjuknya di meja kerjanya lalu mengangkatnya dan melihatnya.
"Saya ingin yang melayani ku tiap pagi membuat kopi dan teh itu, kau!" Tunjuknya pada Hilman. "Saya tak mau ada orang lain yang masuk di sini kecuali kau," lanjutnya lagi.
"Sa..saya, Tuan!" jawabnya gugup.
"Iya."
"Apalagi tugas yang harus saya lakukan, Tuan?"
"Itu saja dulu, mungkin nanti akan ada tambahan," jawabnya.
"Kalau saya boleh tahu anda suka teh dengan gula sedikit atau sedang?"
"Tanpa gula," jawabnya.
"Baik, Tuan."
"Pastikan tidak ada sembarangan orang yang masuk ke sini," ucapnya lagi.
"Baik, Tuan!"
Suara ketukan pintu terdengar dari luar.
"Temui dan tanyakan keperluannya, jika hanya tanda tangan. Kau saja yang bawa ke sini," titahnya.
"Baik, Tuan!" Hilman pun membukakan pintu. "Ada apa?" Tanyanya.
"Saya hanya ingin mengantarkan ini, Tuan!" Menunjukkan beberapa berkas.
"Biar saya saja yang memberikannya," ucap Hilman.
"Baiklah," karyawan pria itu pun menyodorkannya padanya.
Hilman pun membawa berkas itu dan menyerahkannya pada Presdir baru. "Mereka minta tanda tangan anda, Tuan!"
Dengan duduk santai di kursi kerjanya, Presdir baru berkata, "Silahkan dibaca!"
"Hah!"
"Kenapa?"
"Ti.. tidak, Tuan. Saya akan membacanya," jawab Hilman.
"Baca dengan teliti menurutmu bisa diterima dan tidak merugikan perusahaan, saya akan tanda tangani," ucapnya.
"Tapi, Tuan. Anda 'kan pimpinan saya," Hilman memberikan alasan.
"Kau sekretaris ku, jadi ikutin saja perintah saya!"
"Baiklah, Tuan!" Hilman membaca berkas itu dengan malas.
Sementara Presdir sibuk dengan ponselnya.
Setengah jam kemudian, Hilman memberikan berkas tersebut kepada Presdir. "Ini, Tuan!"
"Bagaimana?"
"Apa yang bagaimana, Tuan?" tanyanya bingung.
"Apa saya harus menandatangani itu?"
"Hmmm..maaf Tuan saya tidak bisa memberikan keputusan," jawab Hilman.
"Apa kau tidak membacanya?" sentaknya.
"Baca, Tuan."
"Cepat berikan keputusan!"
"Tapi, Tuan?"
"Kau ingin dipecat?" Ancam Presdir.
"Tidak mau, Tuan!" jawabnya dengan suara ketakutan.
"Kalau begitu katakan ya atau tidak?"
"Ya, Tuan!" Jawab Hilman.
"Baiklah, saya akan tanda tangan. Tapi ingat kalau ini merugikan perusahaan, gajimu akan dipotong," ucapnya.
"Astaga mimpi apa aku semalam," batin Hilman. Ia mengambil tisu dan mengelap keringatnya.
Sepulang dari kantor, Devan mengendarai mobilnya sendiri tanpa sopir sama seperti saat ia pergi.
Jabatan ini sebenarnya terlalu cepat diberikan Oma kepadanya, ia tak bisa membantahnya. Padahal ia masih harus banyak belajar berbisnis.
Diperjalanan pulang ia terjebak macet, lalu ia membuka kaca mobil dan bertanya pada pejalan kaki yang melintas. "Ada apa 'ya? Kenapa bisa macet?"
"Di depan ada artis, Tuan!"
"Oh, begitu ya. Memang mereka lagi syuting?"
"Iya, Tuan."
"Terima kasih, Pak!"
"Sama-sama, Tuan."
Ia pun memutar balik arah, mencari jalan pintas untuk sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, Oma Fera menghampirinya. "Devan, bagaimana hari ini?"
"Baik, Oma!"
"Mengapa kamu memberikan tugas Hilman memeriksa berkas-berkas itu?"
"Hilman sudah bekerja di perusahaan Oma selama tujuh tahun, dia orang yang jujur dan bisa diandalkan. Jadi Devan ingin memberikan dia sedikit tantangan saja," jawabnya.
"Tugas dulu yang Oma lakukan, sekarang menjadi tugasmu," jelas Fera.
"Iya, Oma. Devan akan menjalankan perusahaan dengan baik," ucapnya.
"Orang tuamu pasti bangga padamu," tutur Fera.
*
Sementara itu, seorang wanita muda baru saja menyelesaikan syutingnya. Dia adalah Clarissa Ayumi, artis yang sedang naik daun. Memiliki kemampuan akting yang bagus dan pintar.
Ia beristirahat di mobil dan meminta asisten pribadinya untuk memijit kakinya. "Ya, ampun syuting kali ini sungguh sangat melelahkan," ucapnya.
"Namanya juga kerja!" celetuk Tina, asisten Clarissa.
"Iya, tapi tidak seperti tadi. Berkerumun dengan warga, mana mereka minta tanda tangan dan foto. Syuting jadi terganggu begini," protes Clarissa pada manajernya.
"Kita tidak bisa protes, semua mereka yang mengatur," ucap Yuna, manajer Clarissa.
"Berapa adegan lagi yang harus diselesaikan?" Tanya Clarissa pada Yuna.
"Dua," jawabnya. Akhirnya syuting selanjutnya dilakukan hingga tengah malam.
Clarissa memasuki apartemennya dengan mata yang sudah lelah, ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tanpa membersihkan wajahnya.
Yuna yang masuk ke dalam kamar, terkejut melihat Clarissa tidur dengan riasan masih menempel di wajah. "Rissa, bangun!"
"Ada apa?" Tanyanya dengan mata terpejam.
"Kenapa kau tidak membersihkan wajahmu?" tanya Yuna.
"Aku sangat mengantuk," jawabnya.
Yuna menarik tangan Clarissa untuk bangun. "Bersihkan dulu wajahmu!"
"Besok saja," ucapnya.
"Kau tahu 'kan akibatnya jika wajah tidak dirawat?"
"Iya, aku tahu." Clarissa berjalan dengan langkah gontai ke kamar mandi membersihkan wajahnya dan mengganti pakaiannya. Setelah itu ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan tidur.
...----------------...
Pagi ini ia tidak ada pekerjaan, Clarissa bisa lebih santai dan menikmati waktu sendiri tanpa kedua temannya yang selalu disampingnya.
Kedua temannya itu pagi ini juga menikmati waktunya masing-masing bersama dengan orang tercinta.
"Pagi ini sungguh menyenangkan, aku bisa keliling kota," gumamnya sambil mengemudi mobilnya.
Karena begitu senangnya, ia bernyanyi lagu bahagia. Tanpa ia sadari mobilnya menyenggol pengendara yang lain di persimpangan jalan. Ia pun menghentikan laju kendaraannya.
Pengemudi mobil itu pun turun mengetuk kaca jendela mobil Clarissa.
Clarissa pun turun, ia memperhatikan pria yang mengetuk kaca mobilnya itu sambil menyemprotkan telapak tangannya dengan cairan.
"Kau harus bertanggung jawab!" Ucap Devan.
"Tanggung jawab apa?"
"Lihat mobilku!" Tunjuknya ke arah mobil berwarna hitam.
"Maaf saya tidak sengaja!"
"Karena kau, aku jadi terlambat ke kantor," ucap Devan.
"Kau mau minta berapa?"
"Separuh dari harga mobilku," jawab Devan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Yunita aristya
nyimak
2023-01-31
2
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Nyimak dulu ya thor
2022-04-06
2