Hari itu, Meira memutuskan untuk langsung pulang kerumahnya, waktu menunjukkan pukul 20.22 wib.
Setelah selesai mandi, Meira langsung menaruh baju kotornya di keranjang dan bergegas menghampiri tasnya yang diletakan di dalam lemari. Untung Arga belum pulang dari kantornya, sepertinya dia sangat sibuk akhir akhir ini.
Karna tadi pun saat pulang kampus, Arga bahkan tak menjemputnya seperti kemarin.
Meira langsung mengambil ponselnya dan mencari nomor Reihand dikontak ponselnya.
Berkali kali dia mondar mandir seperti setrikaan rusak. Pikirannya tak tenang, haruskah dia menghubungi Reihand sekarang? tapi bagaimana jika sampai Arga tahu? dia pasti akan marah besar!
Meira masih menatap layar ponselnya dengan perasaan bimbang!
"Lagi ngapain lo?"
Meira langsung menoleh ke arah pintu. Mampus! Arga sudah pulang.
Meira langsung buru buru menstabilkan sikapnya agar Arga tidak curiga.
"Gak ngapa ngapain kok!" Sahut Meira sambil mengambil selimut diatas sofa.
Arga langsung membuka kemejanya dan merebahkan dirinya diatas kasur. Wajahnya tampak lelah sama seperti kemarin.
"Lo tadi pulang sama Manji dan Farelkan?"
Meira mengangguk malas.
"Bagus!!"
Arga mengusap wajahnya, dia terduduk, lalu menatap Meira yang sedang sibuk menggelar selimut dilantai untuk alas tidur.
Dia dan Meira memang sudah menikah, namun itu hanya status saja. Karna faktanya, sampai sekarang Meira dan Arga tidak pernah tidur satu ranjang layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
Perkataan Arga saat malam pertama itu membuat Meira harus sadar dimana posisi dia sebenarnya.
Hanya alat yang dijadikan balas dendam atas kesalahan yang bahkan tak pernah dia perbuat sama sekali. Dunia memang tidak seindah drama korea yang sering dia tonton bukan?
Meira menarik selimut dan menutup tubuh mungilnya untuk kemudian mencoba terpejam ke alam mimpi. Tanpa sadar Arga terus memperhatikannya.
Esoknya jam 09.00 wib dikampus Brawijaya
Meira duduk di belakang gedung rektor. Ada sebuah pohon beringin yang terkenal lumayan angker. Tapi Meira tak peduli. Dia hanya ingin mencari tempat untuk beristirahat sejenak sebelum memulai kuliah pertamanya.
Meira menatap layar ponselnya, sudah sepuluh menit berlalu, namun dia masih saja ragu untuk menekan panggilan keluar untuk nomor bernama Riri yang tak lain adalah nomornya Reihand.
Pikirannya kalut, haruskah dia menelpon Reihand untuk mencari tahu informasi tentang Viona? apakah perlu dia terlibat ke dalam permasalahan Arga dan Reihand lebih jauh lagi?
Meira mengehal nafas frustasi, namun tiba tiba ponselnya menjerit. Sebuah panggilan masuk dari kakaknya Siska.
"Hallo, Mei.."
"Iya, kenapa kak? tumben nelpon?"
"Mei.." Suara siska terdengar berat.
"Ada apa sih kak?"
"Mei ibu Mei.." kali ini terdengar isak tangis ditengah tengah suara Siska.
Meira mulai merasa ada sesuatu yang terjadi, dan itu pasti kabar tidak baik.
"Iya, ibu kenapa kak?" Tanya Meira tak sabar.
"Ibu, masuk rumah sakit Mei, ibu kecelakaan pas mau berangkat kerja tadi pagi.. Mei, kamu kesini ya.. ibu di bawa ke RS melati, kondisinya saat ini kritis, kakak takut terjadi apa apa sama ibu.."
Bak disambar petir di siang bolong, Meira spontan berdiri dan langsung menjerit keras.
"Apa?"
Meira membekap mulutnya sendiri karna saking syoknya, tangisnya pecah seketika.
"Yaudah kakak tungguin aku disitu. Aku bakal kesitu sekarang!"
Tanpa membuang waktu lagi, Meira langsung berlari keluar kampus.
Sesampainya di RS Melati..
Meira menghampiri loket informasi dan menanyakan keberadaan ibunya. Setelah mendapatkan info Meira langsung naik ke lantai atas dengan tergesa gesa.
Sampai di lantai kedua, Meira melihat Siska tengah berdiri didepan ruang IGD dengan wajah sembab dia melihat kakaknya menangis sesegukan.
"Kak.."
Siska menoleh dan saat menyadari adiknya Meira sudah berdiri dihadapannya. Siska langsung memeluk erat Meira dan tangisnya semakin menjadi.
"Gimana kondisi ibu kak?"
Siska melepas pelukannya dan menatap ruang IGD dengan wajah sedih.
"Kata dokter, ibu harus dioperasi secepatnya Mei, ada penggumpalan darah di otaknya akibat benturan keras saat kecelakaan.."
"Yaudah, tunggu apalagi, kenapa kakak gak setuju aja?"
Siska hanya diam sambil menundukkan kepalanya.
"Kakak bingung Mei, kakak gak punya tabungan buat operasi ibu.."
"Memang berapa biaya operasinya kak?" Tanya Meira lirih.
"Kata dokter, bisa jadi operasinya dilakukan sampai dua kali, dan akan memakan biaya sekitar sembilan puluh jutaan.."
Meira terhenyak, dengkulnya semakin lemas. Dia lupa, kalau keluarganya memang kekurangan dalam segi ekonomi, apalagi hanya ibunya yang jadi tulang punggung keluarga.
"Dimana ayah dan kak Dani?" Meira baru sadar kalau kakaknya hanya sendirian didepan ruangan itu. Dia tak melihat ayah tiri dan kakak iparnya.
"Mereka dirumah atau mungkin lagi main judi.." Jawab Siska dengan nada kesal.
Dramatis memang, tapi itulah faktanya. Disaat sang pahlawan mengalami musibah, dua orang laki laki yang harusnya jadi penyangga kekuatan sebuah keluarga, malah santai santai tak memperdulikan kondisi ibunya Meira.
Meira menahan amarahnya. Namun lagi lagi pikirannya mengawang. Sekarang yang terpenting yang harus dia pikirkan adalah bagaimana mencari uang untuk biaya operasi ibunya.
Meira tiba tiba teringat Arga. Haruskah dia minta tolong Arga? tapi bagaimana jika laki laki itu menolak menolongnya?! Karna bagaimanapun, Arga itu sangat membenci keluarganya.
Meira merogoh ponsel disaku celananya, lalu kemudian menekan panggilan keluar untuk nomor Arga. Tidak ada salahnya mencoba bukan?
Meira melangkah menjauhi Siska, dia tidak ingin Siska sampai mendengar percakapannya nanti dengan Arga.
Beberapa detik berlalu, akhirnya Arga mengangkat telponnya.
"Iya?"
"Ga, gue.."
"Kenapa?"
"G-gue, boleh pinjem duit lo gak?"
Hening. Meira tak mendengar jawaban apapun dari Arga.
Meira menggigit bibir bawahnya.
"Akhirnya, lo butuh duit juga?" Arga menyahut dengan nada yang terdengar sedikit menyindir.
"G-gue minjem, dan gue janji bakal balikin kok!"
"Udah gue duga sih. Cepat atau lambat, lo bakal minta duit juga ke gue. Emang semua keluarga lo tuh gak ada ya yang gak haus sama uang! dugaan gue bener kan!!"
Meira hampir mengumpat kalau saja dia tidak ingat saat ini tengah berada didalam rumah sakit.
Akhirnya tanpa melanjutkan obrolannya dengan Arga. Meira langsung menutup telponnya secara sepihak.
Arga mencoba menelponnya lagi. Namun Meira sudah jengah. Diblokirnya nomor Arga. Lalu kemudian dia mencoba mencari nomor Reihand. Kali ini dia ingin menelpon Reihand bukan untuk menanyakan informasi soal keberadaan Viona. Bukan! Tapi untuk meminta bantuan, karna di otaknya saat ini hanya Reihand harapan terakhirnya.
"Halo, Mei akhirnya lo nelpon juga.."
Suara Reihand terdengar antusias di sebrang sana.
Meira menarik napas panjang sebelum membuka suaranya.
"Reihand. Sorry gue tiba tiba nelpon lo, gue.."
"Kenapa Mei? kok suaranya kayak abis nangis?"
Reihand ajaib, dia bisa menebak dengan tepat tentang keadaan Meira bahkan tanpa Meira cerita lebih dulu.
"Rei, gue butuh bantuan lo.."
"Kenapa? ada apa?" Suara Reihand terdengar cemas
"Nyokap gue kecelakaan Rei, dan sekarang harus segera di operasi. Gue bener bener bingung harus nyari biayanya kemana. Kalau gak keberatan gue boleh gak minjem du.."
Reihand langsung mencela omongan Meira.
"Mei lo dimana sekarang? gue kesitu sekarang ya? lo gak usah sedih lagi, gue bakal bantu biaya operasi nyokap lo."
Meira sempat melongo tak percaya. Namun kemudian dia menyebutkan lokasi RS dimana tempat ibunya di rawat.
Reihand langsung menutup telponnya. Meira berjalan limbung menghampiri Siska yang masih terlihat menangis sambil menatap ke arah pintu IGD.
"Kak, aku udah dapet biaya buat operasinya ibu.." Ucap Meira dengan suara lemah.
Siska menoleh, dengan mimik bahagia dia langsung berdiri dan memeluk Meira.
"Makasih ya Mei.."
Selang dua puluh menit, Reihand menepati ucapannya. Dia benar benar datang kerumah sakit itu dan mengurus semua biaya administrasi untuk operasi ibunya Meira.
"Mei, lo gak apa apakan? lo gak usah sedih lagi ya, nyokap lo pasti baik baik aja setelah operasi nanti." Reihand mengelus pundak Meira. Mereka berjalan ke ruang operasi. Siska sudah menunggu disana.
"Rei, gue gak tau harus bilang apa, terima kasih aja rasanya gak cukup. Lo bener bener baik banget mau ngebantuin gue padahal.."
"Udahlah Mei, kita bicarain ini nanti ya.." Potong Reihand.
"Engga Rei, uang sembilan puluh juta itu bukan uang yang sedikit, gue janji bakal balikin uang itu, gue bakal nyari kerja dan gue bakal nyicil untuk bayarnya ya, bolehkan?"
Reihand tersenyum sambil menggeleng pelan.
"Mei.. kalau lo emang mau ganti, lo boleh kerja di tempat makan ramen milik nyokap gue.. Cuman itu negosiasi yang bisa gue tawarkan sebagai jalan keluar. Gue gak tega kalau lo harus kerja kesana kemari nantinya. Tapi kalau lo gak mau, lo anggep aja uang itu sebagai pemberian dari seorang teman.."
Meira terdiam. Bingung. Namun akhirnya dia setuju juga untuk menerima tawaran Reihand. Meira bahkan sudah lupa tentang ancaman Arga untuk tidak mendekati Reihand lagi.
bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Rara Dera
Arga kamu akan nyesel tapi Meira siap siap di hukum Arga. seru Thor lanjut...
2022-05-08
0
Susilawati
biarin meira sma reihan z lah hbis bya bababg arga ngselin
2022-05-07
0
Reni Anjarwani
lanjut thor
2022-05-07
0