...Ivory Stagen, 19 tahun....
“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Ivory, benar-benar tidak tau lagi apa yang harus ia lakukan ketika sampai dirumah nanti.
“Ya sudah. Tunjukkan saja undangannya kepada ayah dan ibumu.” cerocos Monic, ia pikir tidak ada jalan lain selain memberitahu apa yang terjadi. Tidak mungkin juga berbohong karena sang pangeran akan datang kerumah.
Rasanya, Ivory ingin melarikan diri saja dari dunia, oh ralat, dari Geogini.
“Apa kamu lupa siapa ibuku?” tukas Ivory setelah mendengar jawaban Monic, sedangkan Retrina? Gadis itu hanya diam disamping Monic yang juga terlihat putus asa. “ Ibu akan marah besar kepadaku. Dia ingin aku menjadi seorang ahli kesehatan, bukan malah menikah muda begini ”
“Akan berbeda jika calon suamimu itu seorang pangeran.”
Ivory menghela nafas kasar ketika jawaban Monic itu ada benarnya. Ia menyesal sudah mengikuti acara sayembara itu. Sebenarnya, dia hanya ingin mengikuti saran Retrina dan Monic yang mengikuti acara itu hanya untuk sekedar bersenang-senang. Ia juga tidak pernah menduga jika akan terpilih dan berakhir menikah dengan sang pangeran.
Hidup bebasnya akan menghilang tanpa ada harapan meskipun ia memohon sekalipun.
“Pangeran sialan!” gumam Ivory pelan sekali, namun tetap saja masih bisa didengar oleh dua sahabat, dan tentu saja dua prajurit yang mengawal perjalanan mereka menuju rumah. Sadar akan hal itu, ketiga gadis itu menoleh bersamaan ke arah belakang dan mendapati wajah datar dua prajurit itu sedang menatap mereka.
“Dia yang mengatakan itu. Calon putri kerajaan kalian, bukan aku.” sergah Retrina, tidak mau dituduh dan diseret ke penjara kerajaan karena dengan sengaja mengumpati pangeran.
“Nona, dimana rumah anda?” tanya salah seorang prajurit dengan wajah tak mengandung ekspresi, datar sekali.
Ivory buru-buru meneguk salivanya susah payah yang hampir membuatnya tercekat. Lalu ia menunjuk arah kanan ketika sampai dipertigaan jalan yang sepi dan ditumbuhi semak hampir setinggi bahu orang dewasa. Terlihat berbahaya jika malam, namun begitulah adanya. Ivory memang tinggal jauh dari kawasan pusat keramaian. Jika dilihat pada peta lokasi kawasan Geogini, tempat tinggal Ivory berada di sebuah desa bagian paling atas yang letaknya tidak jauh dari lautan.
”Di ujung sana. Masih puluhan meter lagi.”
Mendengar jawaban Ivory, kedua prajurit itu lantas saling bersitatap, kemudian memutar pandangan kearah jalanan yang berkerikil dan sedikit becek.
“Sudah. tinggalkan saja kami disini. Kami bisa pulang sendiri.” pinta Ivory, karena mereka tidak enak kepada dua orang yang rela berjalan jauh hanya untuk menemani dia dan dua temannya pulang.
“Tidak. Sesuai perintah raja, kami akan mengantar anda dan teman-teman anda sampai dirumah.” seru prajurit berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap.
“Oh, manis sekali...” cerocos Monic, tak mau lebih lama menyembunyikan rasa kagumnya pada sosok tersebut. “Rasanya seperti diantar calon suami pulang.”
Ivory yang mengerti peringati temannya itu, hanya memutar bola mata jengah, kemudian melayangkan satu pukulan telak ke lengan Monic sebagai peringatan agar tidak dak berbicara aneh-aneh.
“Tuan prajurit. Maafkan ucapan teman saya ini. Dia memang suka aneh dan tak dak bisa mengontrol ucapannya sendiri.”
Ivory dapat melihat prajurit itu sedikit tersipu, namun berusaha ditutup-tutupi dengan sikapnya yang tegas.
Hingga tanpa terasa, mereka sudah mengantar Ivory sampai didepan rumah setelah terlebih dahulu mengantar Monic dan Retrina yang letak rumah mereka lebih dulu dari tempat tinggal Ivory.
“Terima kasih banyak sudah mengantar saya sampai dirumah dengan selamat, tuan prajurit. Mari kita berteman jika nanti saya sudah menjadi tuan putri di istana raja.” celetuk Ivory, mencoba m mbangun keakraban pada dua orang yang sudah berjasa mengantarnya pulang hari ini.
Berbeda dengan Ivory, kedua orang tuanya yang sedang bercocok tanam dihalaman depan rumah, harus berlari tunggang langgang ketika mendapati putri semata wayang mereka sampai dirumah dengan dua orang prajurit kerajaan yang berdiri tidak jauh dari posisi Ivory berdiri.
Ditengah rasa paniknya, sang ibu yang sudah sampai terlebih dahulu, meraih cepat Ivory untuk berada dalam pelukannya. Praduga buruk sudah memenuhi isi kepala Rose saat ini. Takut sekali jika Ivory membuat ulah dan tertangkap basah oleh dua orang prajurit kerajaan ini.
“Ada apa ini?” tanya Rose, ketus dan khawatir secara bersamaan. Ingin sekali tau penyebab mengapa putri semata wayangnya itu pulang harus dengan pengawalan pihak kerajaan.
Belum mendapat jawaban dari Ivory, Rontge—ayah Ivory—juga sampai dan turut mempertanyakan perihal kedatangan putrinya bersama dua orang berseragam prajurit khas Geogini.
“Tidak apa-apa, bu, ayah. Ivo baik-baik saja.” ucapnya antusias karena jarang sekali dipeluk dan dikhawatirkan sang ibu seperti saat ini.
“Lalu, mengapa mereka sampai mengikutimu sampai rumah?”
Perasaan Ivory campur aduk. Disatu sisi ia ingin segera memberitahu sang ibu, disisi lain ia takut sekali ibunya itu akan marah besar dan menghajarnya habis-habisan. Akan tetapi, Ivory lebih dahulu mempersilahkan kedua prajurit itu pergi sebelum ibunya semakin murka.
“Terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah. Sampaikan rasa terima kasihku kepada raja.”
Mendengar itu, sontak ayah dan ibunya menoleh pada Ivory dengan dahi mengerut tak mengerti yang hanya dibalas cengiran khas menggemaskan milik putri mereka.
Seperginya kedua prajurit itu, Ivory kembali membelit pinggang sang ibu dengan pelukan. Namun apa yang terjadi justru berbanding terbalik dengan apa yang baru saja ia terima ketika dua prajurit itu masih disana.
“Dasar gadis nakal. Apa yang sudah kamu lakukan, huh?” tanya sang ibu sambil memberondong Ivory dengan pukulan bak samsak tinju. Sedangkan sang ayah, hanya diam, seolah menyerahkan kepercayaan penuh kepada istrinya untuk menghadapi putri mereka.
Ivory mengaduh dan sesekali menghindar. Namun rasa kesal ibunya itu terlihat semakin memuncak. Tapi bukan pukulan benci, melainkan pukulan khawatir akan sesuatu yang buruk menimpa Ivory.
“Mengapa kamu tidak bisa membuat ibu sebentar saja tenang dan tidak memikirkan tingkahmu.” lanjutnya, masih menjadikan lengan Ivory sebagai samsak kekesalannya.
“Ibu, sakit. Tolong dengarkan aku dulu.”
Pukulan itu berhenti, berganti dengan tatapan tajam menghujam yang ditujukan tepat kearah pupil mata coklat yang indah milik Snow.
“Baiklah. Katakan sekarang!”
Ivory ragu untuk menyampaikan hal besar ini. Terlebih untuk ambisi ibunya yang ingin dia menjadi seorang ahli kesehatan.
Dengan ragu-ragu, Ivory mengeluarkan sebuah benda yang sengaja ia simpan diantara himpitan stagen yang membelit erat area dada hingga pinggang. Kemudian mengulurkan benda berbentuk tabung berwarna emas dengan lambang kerajaan yang timbul di bagian depan. Tangan sang ibu menerima, lantas membuka penutup tabung itu dan mengeluarkan isinya.
Selembar surat yang ditulis diatas kulit domba yang halus, dan ditulis tangan dengan huruf tegak bersambung yang begitu indah, manik sang ibu masih berharap isinya tidak buruk.
Di bagian paling atas, terdapat lambang kerajaan yang begitu cantik. Maniknya sempat menangkap ada beberapa paragraf yang tertulis di sana. Hingga nama raja tercetak tebal pada kalimat pembuka paragraf pertama. Disana, ucapan syukur dan terima kasih diucapkan oleh sang raja kepada kedua orang yang berjasa dalam membesarkan seorang gadis yang cantik jelita dengan kaki indah.
Paragraf kedua, nama pangeran Grey disebut. Pada baris kalimat ini, sang raja memberi kabar jika pangeran mereka sedang mengadakan sayembara, mencari seorang gadis yang akan dia pinang untuk menjadi putri sebagai pendamping hidup.
Lalu pada paragraf ketiga, kedua bola mata Rose sukses terbelalak dan satu telapak tangan menutup mulut, ketika melihat nama Ivory Stagen disebut disana. Nama putrinya itu ditulis dengan sangat cantik dan bersiaihan dengan nama pangeran Grey.
Tubuh Rose seperti kehilangan tenaga. Ia hampir saja tumbang jika Rontge tidak mendekapnya.
“Kenapa, sayang?” tanya Rontge yang memanglah buta huruf. Rontge tidak bisa membaca sebab ia tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang murid disekolah.
“Maafkan Ivo bu. Ivo tidak bermaksud mengikuti sayembara itu. Ivo hanya ingin bersenang-senang karena Retrina dan Monic juga ikut.”
Sang ibu masih menatap tak percaya dan membutuhkan penjelasan dari mulut Ivory.
“Apa kamu pikir mereka juga sedang bercanda?” sahut Rose pada akhirnya. Dia tak dak habis pikir dengan apa yang dikatakan Ivory. Bersenang-senang? Itu terlalu mengerikan. “Ivo,”
Ivory kembali mengangkat wajah untuk menatap mata sang ibu yang kini terlihat sayu.
“Kamu pikir, hidup ini hanya untuk sekedar bermain-main?”
“Maaf.” tutur Ivory penuh penyesalan . Sadar betul jika yang ia lakukan hari ini adalah sebuah kesalahan besar.
Ibunya kembali menunduk untuk melanjutkan paragraf ke empat, yang menyebutkan jika pihak kerajaan akan datang bersama pangeran dan rombongan untuk melamar Ivory. Tanpa diminta, airmata Rose jatuh.
“Ibu, maaf.” sekali lagi Ivory memohon ampunan kepada sang ibu karena sudah bertindak ceroboh, dan kini semuanya sudah tidak bisa dihentikan. Sudah sangat terlambat untuk menolak titah dari raja mereka.
“Tidak ada jalan keluar. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri, Vo.”
“Ibu, aku tidak ingin menikah. Aku tidak ingin tinggal dikerajaan.” rengeknya, yang beberapa detik setelah itu berubah menjadi tangisan penuh harap agar semua ini tidak terjadi.
“Bahkan ayah dan ibu tidak bisa menghentikan ini untukmu, nak.” lanjut sang ibu, meraih Ivory untuk mendapatkan pelukan hangat yang jarang sekali ia berikan. Entah mengapa, kali ini pikiran sang ibu dipenuhi banyak sekali rasa penyesalan tentang perlakuannya kepada Ivory selama ini. Gadis kesayangan dan semata wayangnya itu akan hidup terkurung di kerajaan tanpa dirinya. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya pilu.
“Ibu...”
“Jangan khawatir, nak. Mungkin memang begini jalan hidupmu.” suara parau sang ibu mencoba memberi ketenangan, meskipun hati Ivory sulit untuk menerima. “Ibu yakin kamu bisa hidup disana, karena kamu adalah putri ibu. Putri yang kuat dan cantik. Kamu akan mendapatkan banyak teman selain Monic dan Retrina, disana. Hidupmu akan lebih baik dari pada bersama ibu dan ayah yang tidak pernah bisa memberi dirimu sebuah kebahagiaan.”
Mendengar hal itu, air mata dan tangis Ivory semakin menjadi.
“Menikahlah, ibu rela. Dan ibu janji, akan mengunjungimu nanti.”
“Ibu, Ivo tidak ingin pergi dari sini.”
“Kamu sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Jadi belajarlah menjadi sosok yang berwibawa disana. Ibu yakin kamu pasti akan menjadi wanita baik, cantik, dan bijaksana kepada rakyatmu.”
Ivory kembali memeluk ibunya.
“Ibu menyayangimu.” []
...🍃🍃🍃...
...Jangan lupa Follow, Like, dan juga komentar kalian ya......
...Terima kasih sudah membaca....
...Vi's...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Widya Febrina
benar kata ibumu Ivory...kamu yg bikin ulah, kamu juga yg harus bertanggung jawab
2023-01-15
1
momy ida
sampai bab ini ceritanya cukup menarik😍gw otw baca bab berikutnya y thoor😘☺
2022-04-26
1
Alma Idah
mewek thor😥
2022-04-20
1