Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Arumi berpendar. Bukan sekali tapi berulangkali sejak dua hari yang lalu. Arumi merasa jengah dengan kata Laporan yang dikirimkan Mirza.
"Ah, aku ga peduli kalau memang harus mendapat kompensasi. Daripada harus setiap waktu memberi laporan kepada pak Mirza.." batin Arumi.
"Laporan..."
"Laporan..."
"Laporan..."
"Aku tak perduli...!!" teriak Arumi sambil melempar ponsel nya ke sofa.
"Apa kau tidak takut kompensasi atas keacuhanmu kepada ku...?"
"Pak Mirza...Ah, tidak mungkin. Masa pak Mirza sudah berubah jadi hantu yang tiba-tiba datang menemui ku. Tapi...Jika bukan hantu, bagaimana? Jika bukan hantu artinya..." batin Arumi.
Suara khas Mirza yang begitu nyata membuat Arumi segera membuang segala fikiran anehnya. Sehingga mau tidak mau Arumi pun mengalihkan pandangan ke sumber suara.
Dan benar saja ternyata kehadiran laki-laki tampan itu bukan sebuah halusinasi Arumi, ia nyata. Mirza berdiri di ambang pintu. Tangannya menimang-nimang ponsel, sementara matanya menatap lekat ke arah Arumi.
"Pak Mirza..." ucap Arumi lirih bernada setengah terkejut. Ia pun spontan berdiri dengan cepat.
"Ya, saya. Kau fikir hantu...?" ucap Mirza ketus.
"Ah, Ya. Saya fikir juga begitu" ucap Arumi lesu dan langsung duduk kembali pada kursi kayu yang selalu menemaninya jika ia melukis.
"Hei...yak...yak...yak...!" Mirza kesal dengan sikap Arumi yang terkesan tidak mengharapkan kedatangannya. Kemudian Mirza pun melangkah mendekati Arumi.
"Ada apa bapak ke rumah ku...?"
"Ada apa katamu...? Dua hari kau tidak membalas semua pesan ku. Dua hari kau sudah mengacuhkan ku. Karena itu aku menemui mu. Ada apa kata mu? Hei... Kau sudah membuat ku merasa..." ucap Mirza terhenti.
"Rindu. Aku merindukanmu, Arumi..." batin Mirza.
"Merasa apa, Pak...?"
"Em, ya... ... Ya itu. Aku merasa tak dihargai"
"Arumi lelah, Pak. Setiap waktu harus mengirim kabar kepada bapak. Segala-gala harus meminta izin Bapak. Bapak itu dosen saya, bukan ayah saya. Dan lagi bapak kan hanya berusaha membahagiakan orangtua bapak, untuk apa saya repot-repot mempedulikan bapak. Sementara bapak sendiri tidak peduli..."
"Kau salah Arumi. Kau salah salah. Aku peduli terhadap mu. Terhadap semua perasaan mu..." batin Mirza.
"Bapak lupa kalau saya juga punya kehidupan pribadi yang tidak setiap saat di bagikan kepada orang lain ataupun bapak. Emang bapak siapa?"
"Hei...kita masih terikat kesepakatan. Kau ingat. Kau masih memiliki waktu satu bulan lagi..."
"Arumi sudah tidak peduli lagi, pak..."
"Kenapa? Kau menyerah karena gagal membuat ku jatuh hati padamu?
"Jangan menyerah, Arumi. Ku mohon jangan berhenti mencintaiku. Sesungguhnya aku yang sudah kalah. Karena aku sudah mulai jatuh cinta padamu" batin Mirza.
"Saya rasa begitu. Saya sudah gagal. Saya sudah patah hati. Dan saya frustasi hingga saya ingin pergi jauh dari kehidupan bapak"
"Patah hati? Jadi kau mencintai ku?"
"Saya memang mencintai, bapak. Itu kan yang selalu ingin bapak dengar setiap kali bapak menanyakannya dan belum sekali pun saya menjawabnya? Bapak ingin dengar pengakuan saya kan? Ya, saya memang mencintai bapak. Sangat mencintai bapak. Bahkan sejak pertama kali saya melihat bapak di kampus. Tapi itu dahulu sebelum saya tahu kebenarannya. Dan sekarang setelah saya tahu bagaimana kondisi bapak, bagaimana perasaan bapak terhadap saya, bagaimana bapak begitu mencintai kekasih bapak itu, maka rasa itu sudah berusaha saya kikis. Dan saya sudah patah hati karena itu..."
"Patah hati kok tidak menangis...?"
"Saya menangis kok...?"
"Kapan?"
"Saya menangis dan merasa patah hati, sejak saya melihat bapak bercumbu dengan kekasih bapak di Villa malam itu. Saya patah hati sejak melihat kedekatan dan kemesraan bapak dengan Andrea di Villa. Saya patah hati sejak bapak selalu berkata ketus dan tak pernah mau berbicara lembut walau sekali saja kepada saya..."
"Kenapa kau tidak menceritakannya. Bukankah kau sudah berjanji akan memberitahukan kepada saya apa pun yang sedang kau alami..."
"Untuk apa? Supaya bapak bisa menghina saya? Supaya bapak bisa berkoar kepada dunia bahwa saya yang lebih dahulu jatuh cinta ketimbang bapak? Supaya bapak bisa...."
GREEP...
Kata Arumi terhenti saat Mirza langsung merengkuhnya dan membawanya dalam dekapan laki-laki tampan itu. Mirza tak ingin mendengar gadis yang ternyata telah mengalahkannya itu berkeluh kesah dan menjadi sedih.
"Aku tahu. Aku yang salah. Maafkan aku. Maafkan karena sudah membuatmu menangis. Maafkan karena sudah membuatmu tak nyaman. Tapi sungguh, tak pernah sekali pun aku mengolok mu dengan sepenuh hati. Aku selalu menghargai mu terlebih setelah aku menemukan kesadaran ku. Kau tahu karena semangat mu terutama saat satu persatu sisi positif mu terlihat, aku jadi sadar bahwa cantik itu relatif. Cantik itu bukan semata pada fisik tapi lebih pada hati. Dan kau memiliki itu Arumi..." ucap Mirza yang terus mendekap Arumi dengan erat. Sesekali ia mengecup lembut pucuk kepala Arumi.
Sementara itu, mendapat perlakuan seperti itu hati Arumi jadi gerimis. Ia tidak menduga sama sekali jika seorang Mirza, si manusia kulkas bisa meminta maaf kepada nya dan berbicara banyak hal. Ini sebuah mukjizat.
"Aku semakin sadar. Setiap manusia lahir dengan kelebihan dan juga di sertai dengan kekurangan. Dan aku salah melihat mu hanya pada sisi kekurangan mu saja. Aku pun sudah bersalah pada mama dan papa dengan tidak mengindahkan segala nasihatnya. Mungkin karena itu aku dikutuk..."
"Di kutuk...?"
"Ya. Aku di kutuk, Arumi..." ucap Mirza sambil mengurai dekapannya dan menatap wajah Arumi lelap.
Begitupun dengan Arumi. Mau tidak mau ia mendongakkan kepalanya menatap wajah Mirza. Mata Arumi terkunci pada mata tajam laki-laki tampan bertubuh jangkung itu.
"Aku di kutuk sehingga aku kalah dari mu..."
"Kalah dari ku..?" ucap Arumi lirih dan penuh tanya.
"Hanya kurang dari lima bulan aku sudah kalah dari mu..."
"Maksudnya...?" ucap Arumi makin tak mengerti.
"Aku mencintai mu, Arumi. Aku mencintai mu..."
"Akh..."
Arumi mendekap mulutnya yang terbuka karena rasa terkejut yang luar biasa.
Mendapat respon yang demikian, wajah Mirza merah padam. Ia pun langsung memilih duduk pada sofa dan membiarkan Arumi berdiri termangu persis seperti reaksi terakhirnya.
"Apa aku tidak salah mendengar. Atau ini hanya sebuah mimpi saja...? Sadar Arumi. Sadar...!" batin Arumi.
🌸🌸🌸🌸🌸
Dua jam sebelum pernyataan cinta Mirza.
Mirza duduk di kursi kebesarannya. Matanya menatap ponsel yang sejak tadi ia mainkan. Kadang ia memutar-mutarnya, kadang membolak-balik, kadang membukanya kemudian menutupnya lagi. Berulangkali Mirza pun menghela nafas atau pun mengusap kasar wajahnya. Jelas ada gelisah yang menyergapnya. Dan itu membuat Mirza menjadi tak fokus mengerjakan apa pun.
"Ada apa, Bro...?"
"Dua hari dia tidak memberi laporan apa pun. Dua hari dia tak membalas pesan-pesan ku. Kurang ajar sekali gadis itu. Apa dia lupa kompensasi apa yang akan kuberikan jika ia tidak mengindahkan ku?"
Elvano terkekeh mendengar pernyataan Mirza. Ia tahu betul apa yang tengah dialami sahabatnya itu.
"Mampus kau, Za. Kau sedang dilanda virus rindu. Rindu serindu-rindunya. wkwkw...." batin Elvano.
"Mungkin Arumi sibuk..."
"Ah, tak mungkin. Perkuliahan saja baru di mulai jadi ku fikir belum serepot itu, El..."
"Mungkin Arumi sakit..."
"Sakit? Ah, tidak mungkin. Aku bertanya pada Vanya, Arumi baik-baik saja..."
"Lalu kenapa...?"
"Aku tidak tahu, El. Jika aku tahu aku tidak akan segelisah ini, kutu kupret..."
"Aku rasa untuk membunuh penasaran mu, kau harus menemuinya. Sekalian tuh kau nyatakan cinta mu itu. Jadi kau tidak uring-uringan terus..."
"Sialan kau kutu kupret satu..." ucap Mirza yang menghadiahi Elvano dengan lemparan bantal.
"Cepatlah kau akui perasaan mu itu. Nanti Faaz mendahului mu. Wkwkwk..."
"El, ingin ku potong gaji plus ku tiadakan bonus mu?"
"Jangan donk bos...Makan apa nanti anak dan istri ku...?"
"Anak dan istri gundul mu peyang. Dasar kutu kupret...!"
Bhuahahahah....
"Eh, kemana tuan Mirza Adyatma...?"
"Bukan urusan mu..."
"Hei, menjadi urusan ku. Pukul dua nanti ada Meeting intern...!"
"Batalkan semua meeting hari ini. Rescedhule semua. Aku titip kantor..."
"Jangan kelamaan nembaknya, cepat bawa pulang kakak ipar ku itu..."
"Sialan kau..."
"Wkwkwk....."
Langkah Mirza begitu cepat meninggalkan kantor menuju sebuah mobil sport silver yang terparkir. Tak lama kemudian, Mobil pun melesat bak anak panah terlepas dari busur.
Saat ini satu keinginan Mirza adalah menemui Arumi. Gadis yang telah berhasil mengalahkannya kurang dari lima bulan.
Tak berapa lama kemudian, mobil mewah itu telah sampai pada sebuah halaman dari rumah mewah kediaman Permana.
"Mbok...Mbak Aruminya ada?"
"Oh, Tuan Mirza. Ada Tuan. Mbak Arumi ada di ruang atas, sedang melukis..."
"Terima kasih, mbok. Saya langsung ke atas. Oya, pak Permana ada?"
"Tidak ada, Tuan. Kebetulan anak dari istri bapak menikah. Jadi bapak menghadirinya..."
"Anak dari istri bapak? Apa pak Permana sudah menikah lagi...?"
"Ya, Tuan..."
"O..begitu" ucap Mirza yang kemudian melangkah menaiki anak tangga menuju sebuah ruangan paling ujung.
Tok.
Tok.
Tok.
Tiada jawaban. Mirza mengulanginya sekali lagi. Tetap tiada jawaban. Mungkin Arumi tengah berkonsentrasi penuh, begitu yang difikirkan Mirza.
Kemudian, Mirza pun memutar gagang pintu perlahan.
KREEEK....
Pintu kamar terbuka. Dan benar saja Mirza melihat Arumi tengah duduk. Di hadapannya terdapat kanvas yang sudah dipenuhi goresan.
Mirza mengirim beberapa pesan kepada Arumi. Ia hanya ingin membuyarkan konsentrasi gadis gembul yang sudah berkurang kegembulannya itu.
🌸🌸🌸🌸🌸
Dua jam sesudah pernyataan cinta Mirza.
"Apa aku tidak salah mendengar. Atau ini hanya sebuah mimpi saja...? Sadar Arumi. Sadar...!" batin Arumi.
Mirza kembali duduk bersandar setelah beberapa waktu lalu berdiri dan menyentil kening Arumi.
KTAK...
"Aw...!"
Gadis itu tampak terbangun dari lamunannya yang terlanjur menggila barusan.
"Bapak tidak salah minum obat, kan?"
"Sembarangan..."
"Kalau begitu bapak keluar dahulu dari ruangan ini"
"Hei, kenapa...?" ucap Mirza saat ia ditarik dan di dorong paksa hingga keluar ruangan.
"Tunggu sebentar ya..." ucap Arumi sesaat sebelum menutup pintu.
Mirza mengernyitkan dahi tidak tahu apa yang ada dalam fikiran Arumi.
Tak lama kemudian, Mirza tersenyum saat mendengar teriakan-teriakan tertahan Arumi dari dalam kamar..Ah, mungkin Arumi tengah merayakan kemenangannya, begitu fikiran Mirza.
Sementara itu, di dalam ruangan Arumi tengah berjoget-joget kegirangan sambil sesekali berteriak tertahan atas pernyataan Mirza. Kemudian, mendadak Arumi seperti teringat sesuatu. Tariannya perlahan melambat hingga terhenti.
"Apa karena perubahan fisik ku, pak Mirza mencintaiku? Tapi tidak saat aku seperti dahulu. Artinya cintanya karena fisik bukan sesungguhnya" batin Arumi.
"Tapi saat ia berucap tadi, tak ku temukan keraguan sedikit pun di tatapan matanya. Apakah ia bersungguh-sungguh? Ah, aku gamang..."
CKLEK...
Mirza tersenyum berdiri di ambang pintu. Matanya makin lekat menatap Arumi. Arumi berdiri bersandar pada daun pintu yang sudah terbuka. Matanya tak berani menatap Mirza.
"Sebaiknya bapak pulang terlebih dahulu. Saya..."
"Ada apa?"
"Saya belum memiliki jawaban atas pertanyaan bapak tersebut..."
"Saya tidak perlu jawaban mu. Karena saya sudah tahu bagaimana perasaanmu kepada ku..."
"Jangan sampai bapak salah sangka dengan perasaan saya saat ini..."
"Egh..."
Mirza menatap heran Arumi. Ia tidak mengerti dengan maksud ucapan Arumi.
"Jadi kau menolak ku...?"
"Tidak..."
"Lalu apa?"
"Buat saya jatuh cinta lagi dengan bapak. Karena cinta yang lalu sudah mati..."
"Egh..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments