"*Dasar gadis abnormal...!"
"Arumi gadis semampai...!"
"Gadis gembul*...!"
Olokan itu masih jelas terngiang di telinga Arumi. Bahkan kuat terikat dalam ingatannya. Semua terjadi hanya karena tinggi tubuh Arumi yang 150 Cm. Selain itu berat tubuh Arumi yang mencapai tujuh puluh kilogram makin menjadi bahan olokan dan gunjingan orang. Semua sudah Arumi alami. Namun kini saatnya berubah.
Arumi berdiri di depan sebuah cermin. Ia menatapi setiap inci yang ada pada tubuhnya. Senyum pun terbit dari ujung bibirnya. Walau belum sempurna, namun perubahan makin terlihat. Kini bentuk tubuhnya pun mulai terlihat. Arumi berhasil menjalankan program dietnya dan berhasil menurunkan berat badannya sebanyak dua puluh kilogram. Walau masih tersisa sembilan kilogram lagi untuk dihilangkan, namun untuk saat ini Arumi cukup puas.
Setelah Arumi menerima keadaan tinggi tubuhnya, maka ia menjadi lebih kuat, berani dan percaya diri. Kemudian saat berat tubuhnya semakin berkurang maka kepercayaan diri Arumi makin bertambah.
Pun demikian, Arumi pun sadar cantik itu bukan hanya memiliki tubuh yang sempurna, melainkan menjadi kuat, berani dan percaya dirilah maka kecantikan seseorang dapat menjadi nyata sebab kemampuan sisi positif seseorang akan dapat mudah terlihat.
Dan hari ini ketiga hal positif yang sudah Arumi temukan, akan diperlukan kembali. Ya, hari ini adalah awal perkuliahan semester ganjil di tahun kedua perkuliahan di mulai. Bersorak hati Arumi, karena hari ini ia ingin membalas semua perlakuan orang-orang yang telah menghina atau pun mencibirnya.
Tok.
Tok.
Tok.
"Ndok..."
Panggil suara di balik pintu. Suara yang amat Arumi kenal. Suara yang sudah lama tak ia dengar karena suatu pekerjaan mengharuskan ayahnya berada di luar kota. Melonjak Arumi saat membuka pintu dan mendapati sang ayah berdiri di hadapannya.
Arumi langsung menghambur kedalam pelukan Permana yang sejak tadi sudah mengembangkan kedua tangannya.
"Kapan ayah, datang...?"
"Subuh tadi. Dan ayah punya kejutan untukmu.."
"Oya, apa itu...?"
Arumi sumringah. Setelah menyambar perlengkapan kuliahnya, Arumi mengikuti langkah Permana. Langkah Arumi cepat menuruni setiap anak tangga kemudian menjadi perlahan saat melihat sosok perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik tengah menata makanan di meja.
"Sonia, kenalkan. Ini Arumi. Dia anak ku satu-satunya..."ucap Permana mengenalkan Arumi.
Perempuan itu pun tampak tersenyum dan menghentikan aktifitasnya. Kakinya memburu kehadiran Arumi.
"Wah, cantik juga Mas..." pujinya.
"Arumi ini Tante Sonia. Tante Sonia akan tinggal bersama kita mulai sekarang..." ucap Permana yang langsung disambut Arumi dengan wajah penuh tanya.
Permana dan Sonia tertawa kecil bersama. Keduanya menunjukkan interaksi yang mencurigakan bagi Arumi.
"Sayang, seminggu lalu ayah telah menikahi Tante Sonia. Jadi sekarang ia adalah ibu mu juga..."
Deg.
Deg.
Deg.
Arumi tertegun. Ia tak bergeming sedikit pun. Matanya menatap Permana dan Sonia bergantian.
"Jangan khawatir, Tante Sonia bukan seperti ibu tiri di film-film" ucap Sonia dengan senyum mengembang dan memeluk Arumi.
"Mulai sekarang panggil Mami..."
Arumi masih terdiam. Ada seribu kata yang beterbangan di kepalanya, namun sulit ia luncurkan lewat bibirnya. Arumi belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Maaf, jika membuat Arumi terkejut. Tapi ayah harap Arumi bisa menerima Mami Sonia..."
Beberapa saat memang Arumi begitu terkejut, namun kemudian senyum pun mengembang menghiasi wajahnya.
"Ya, ayah. Ma-mami Sonia... Selamat untuk ayah dan mami. Selamat datang mami Sonia..." ucap Arumi.
"Terima kasih, sayang..." ucap Permana dan Sonia hampir bersamaan sambil memeluk Arumi.
"Nah, sekarang kita sarapan dahulu ya..." ucap Sonia sambil menarik dan mendudukkan Arumi pada sebuah kursi. Sonia pun mengambilkan makanan pada piring Arumi. Melihat itu hati Arumi jadi sendu dan mulai gerimis. Kenangan tentang ibunya kembali menari-nari dalam ingatannya.
"Ndok..." ucap Permana. Tangan kekarnya mengusap dan menggenggam tangan Arumi.
"Arumi senang kok, ayah menikah kembali..." ucap Arumi sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Permana pun tersenyum lega sambil sesekali menatap Sonia yang sejak tadi memperhatikan interaksi ayah dan anak itu.
Tak lama kemudian, Arumi pun pamit. Di ciumnya punggung tangan Permana dan Sonia dengan takzim.
"Manis sekali perlakuan Arumi, Mas. Aku tersanjung..." ucap Sonia dengan wajah yang berubah sendu.
"Apa Andrea dan Arya tidak melakukannya..."
"Keduanya adalah didikan kakek dan neneknya. Didikan itu begitu berhasil membuat Andrea menjadi sosok yang egois, ambisius, jauh dari pendidikan agama dan lebih bergaya modern berhaluan barat Beruntungnya Arya tidak seberapa terpengaruh dengan didikan kakek dan neneknya. Walaupun terkesan arogan, tapi anak keduaku itu memiliki perasaan lebih sensitif. Pun demikian aku masih takut, Mas anak-anak ku akan menarikku ke neraka"
"Jangan khawatir kita akan mengajak keduanya kembali pada pelukanmu seperti yang kau inginkan"
"Bantu aku ya, Mas..." ucap Sonia sambil menyusut air matanya.
🌸🌸🌸🌸🌸
Langkah Arumi begitu cepat memasuki pelataran sebuah gedung tiga lantai.
"Hei, cantik..." sapa Arya.
Langkah Arya segera mensejajari Arumi. Sebelah tangannya merangkul bahu Arumi membuat Arumi risih. Arya tersenyum melihat reaksi Arumi tersebut.
"Ar...!" panggil Vanya yang duduk di teras depan kelas.
"Ya..."
Arumi dan Arya bersamaan. Sadar dengan situasi barusan keduanya berada mata.
"Apa salahku? Nama ku juga bisa dipanggil Ar seperti nama mu.." ucap Arya.
Arumi membulatkan matanya. Dan mengangkat sebelah tangannya seakan hendak memukul. Dan Arya pun mengangkat tangan bermaksud menangkisnya. Namun hanya kekeh Arumi yang terdengar.
"Kau..."
"Weeek..." lidah Arumi menjulur meledek Arya.
"Sialan aku dikerjai Arumi...Hei!" ucap Arya dan kembali berusaha mensejajari langkah Arumi yang sudah mendahuluinya.
"Vanya....!" teriak Arumi mencapai oktaf tertinggi. Vanya pun menutup kedua telinganya.
"Ish...tuh suara seperti sirine saja" celoteh Vanya.
"Ngiung...ngiung...ngiung..." ucap Arya menirukan sirine.
"Ar, makan yuk...?"
"Aku belum dapat jadwal perkuliahan..."
"Nieh...buat apa punya sahabat kalo ga bisa ngambilin"
"O....makasih ya. Muach..muach.."
"Wah, brutal juga kamu Ar...?'
"Apaan?"
"Nyiumnya. Mau donk..." ucap Arya sambil memonyongkan bibirnya.
"Nih, cium..." ucap Vanya sambil mendekatkan lobang sepatutnya.
"Uwek... Astaga, Vanya...!" teriak Arya.
Bhuahaha.....!
Tawa kami pun pecah sambil beriringan menuju kantin. Sementara Arya mengiringi keduanya sambil mencuci wajahnya dengan air mineral.
Sejurus kemudian, ketiganya telah memilih tempat duduk di sudut ruangan. Baru saja duduk ketiganya menangkap percakapan mahasiswa dari meja lain.
"Busyeet juga si Arumi..."
"Ya. IP tertinggi dia raih di dua semester lalu... Menyesal juga aku tidak berteman dengannya. Ternyata otaknya encer juga..."
"Ah, biasa saja. Bisa jadi dia peroleh dengan cara tidak benar.."
"Apa.maksud mu..?"
"Sekarang banyak mahasiswa yang memperoleh nilai dengan cara menjual tubuhnya"
"Apa...!"
BRAAK...!
Arya menggebrak meja membuat Arumi dan Vanya terjengkit.
"Hei...! kalo ngomong pake rahang ya. Mau ku kasih bogem mentah...?!"
"Arya apaan sih...?" tanya seorang mahasiswi.
"Saya mendapatkan nilai bagus karena saya belajar dengan giat. Jaga bicaramu jangan sampai membuat fitnah. Atau jangan-jangan kau yang berlaku demikian..."
"Egh..."
Shereen mendongakkan kepalanya menatap Arumi. Kedua tangannya mengibas-ngibas.
"Bukan-bukan. Saya tidak begitu..."
"Nah, kau pun tidak ingin di cap demikian. Daripada bergunjing unfaedah lebih baik belajar sana biar jadi yang terbaik..."
Arumi berlalu setelah berbicara panjang kali lebar.
"Waaaah...." ucap takjub beberapa mahasiswa yang menyaksikan. Seakan mereka tak percaya pada apa yang mereka saksikan barusan.
"Good..." ucap Vanya sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Aku tidak mau diintimidasi terus, Nya. Aku harus membalas Sesekali..."
"Boleh juga nih Arumi. Dia benar-benar berubah total. Apalagi sekarang jadi cantik walau masih sedikit gemuk. Tapi menurutku sih bukan gemuk tapi bohai. Hehee..." batin Arya.
"Sstt...ada Bima. Aku kira sudah di DO dari kampus ini..."
"Ah, bisa. papa nya kan rektor kampus ini..."
"Apa pak Mirza tahu"
"Aku yakin tidak..."
"Wah...si cebol sudah banyak berubah ya. Apa kabar Arumi?" ucap Bima. Tangannya bermaksud mengusap pipi Arumi, namun ada tangan lain yang menahannya.
"Jangan ganggu...Kau tidak lihat ada laki-laki di sebelahnya?!" ucap Arya dengan tatapan mata yang tajam.
"Huuuu....takut" ucap Bima sambil tertawa bersama dua orang lainnya.
"Pergilah...atau ingin ku adukan dengan Pak Mirza?" ucap Arumi dengan santai sambil membuka ponselnya.
"Ok. Ok. Kau menang. Aku pergi.." ucap Bima dan berlalu.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Arumi berpendar. Sebuah pesan menghiasi layar ponselnya. Wajah Arumi terlihat lesu saat mengetahui pengirimnya.
"Laporan..." begitu isi pesan Mirza.
Sudah sepekan ini, Arumi selalu memberikan informasi tentang keberadaannya.
"Lagi di toilet. Pup..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Ish...sialan" ucap Mirza saat menerima balasan dari Arumi.
CLETAK...
Mirza meletakkan sendok pada piring dengan kesal dan menyandarkan tubuhnya.
"Hilang nafsu makan ku..."
Melihat polah bosnya yang di luar kebiasaan beberapa hari ini, Elvano mengerutkan dahinya.
"Ada apa...?" ucap Elvano mengakhiri diamnya.
"Lihat ini..." ucap Mirza sambil menyodorkan ponselnya yang berisi pesan singkat Arumi barusan.
"Hahaha....gokil juga nieh gadis. Biasanya gadis akan menutupi aktifitas yang satu itu. Tapi ini justru memberitahukannya. Aku yakin dia sedang kesal bos. Sepertinya bos terlalu kepo dengan semua urusannya..."
"Hei...itu sudah ada dalam perjanjian yang dibuat"
"Apa bos jatuh hati pada Arumi?"
"Hati-hati bicara mu..."
"Hahaha.... Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Andrea. Apa hukuman intinya? Jeruji besi kah?'
"Hal pertama yang harus aku lakukan adalah menyudahi hubungan kami. Aku tengah mencari sela yang bisa menjadi alasan ku menyudahi hubungan kami. Setelah itu barulah aku akan menyerahkan nya pada pihak kepolisian"
"Mungkin ini bisa jadi alasan.." ucap Elvano sambil menyodorkan beberapa lembar foto.
Mata Mirza langsung terkunci pada foto-foto di hadapannya. Matanya membulat. Kegeramannya tak dapat ia sembunyikan lagi. Tangan Mirza terkepal hebat.
"Cari tahu kapan dan dimana aku bisa mendapati keduanya tengah bersama..."
"Kau baru melihat foto-fotonya sudah segeram itu. Apalagi melihat video rekaman perbuatan mereka..."
"Maksudmu..."
"Setelah melihat keganjilan hubungan keduanya, aku meminta Satrio memasang kamera tersembunyi di rumah yang sering mereka datangi. Hampir semua ruangan dipasangi, terutama kamar pribadi. Ini hasilnya..."
"What....!"
To Be Continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments