"Aku ingin nambah point pada kesempatan yang telah ada"
Arumi berdiri menatap punggung laki-laki yang telah membuat hatinya gerimis itu. Di tangan Arumi tergenggam selembar kertas.
"Apa yang hendak kau tambahkan...?" tanya Mirza tanpa membalik punggungnya.
"Tidak boleh melakukan kontak fisik selama waktu kesepakatan kita. Terutama mencium bibir dan hubungan intim layaknya suami istri dengan siapa pun"
"Ditujukan untuk siapa..? Untuk ku atau untuk mu..?"
"Untuk kita berdua..."
"Bagaimana jika posisi ku di cium bukan mencium? Kau tahun kan banyak sekali gadis-gadis berusaha mencium ku.."
"Sombong sekali..." batin Arumi.
"Diabaikan. Asalkan tidak membalas..."
"Jika salah satu diantara kita melanggar, apakah ada kompensasinya?"
"Mestinya harus ada..."
"Baiklah jika kau yang melanggar, maka kau harus pergi dari kehidupan ku..."
"Sebegitu bencikah ia kepada ku..?" batin Arumi.
"Setuju. Tapi jika bapak yang melanggar, maka bapak harus press conference yang isinya bahwa bapak telah memperkosa saya dan akan bertanggung jawab menikahi saya..."
"Setuju. Kau boleh menambahkannya di lembar kesepakatan itu..." ucap Mirza sambil memutar tubuh hingga berhadapan dengan Arumi. Wajahnya begitu datar
"Tuliskan juga kompensasinya..." ucap Mirza lagi saat Arumi tengah menambahkan point (5).
"Aku juga ingin menambahkan point..."
"Egh...."
Arumi mendongakkan kepala. Matanya menatap wajah Mirza penasaran.
"Kau--Arumi akan selalu memberitahu ku semua kegiatan mu. Mulai dari bangun tidur hingga kau tidur. Termasuk jika kau ingin pergi dengan teman laki-laki walau pun hanya sebatas teman. Jika kau melanggar, maka kau harus menyerahkan keperawanan mu pada seorang laki-laki terjelek atas persetujuanku"
"Gila...! kesepakatan macam apa itu...?!"
"Jika kau menolak, maka point (5) tidak akan pernah ada..."
"Egh...."
Mata Arumi makin lekat menatap Mirza penuh kekesalan. Semangat Mirza sendiri, tampak biasa saja. Seperti tak pernah berucap apa pun.
"Dasar manusia kulkas..." batin Arumi.
"Silahkan ditandatangani...." ucap Arumi setelah ia sendiri membubuhkan tanda tangannya.
"Selesai. Ada lagi...?" ucap Mirza datar.
Tanpa menjawab pertanyaan Mirza, Arumi langsung berlalu meninggalkan Mirza.
"Kau dan Vanya akan diantar pulang oleh Darius sore ini..."
Pernyataan Mirza sukses membuat langkah Arumi terhenti. Ia memutar tubuhnya kembali menghadap Mirza.
"Bukankah masih ada waktu hingga esok hari...?"
"Keputusan Mama dan papa. Keduanya pun sudah berangkat ke Jepang setelah acara pagi tadi. Mendadak ada meeting yang harus dihadiri papa"
"Baiklah... Jika demikian aku akan bersiap-siap"
Arumi kembali melangkahkan kaki meninggalkan Mirza. Namun lagi-lagi Mirza sukses menghentikan langkahnya.
"Kau tidak tanya kapan aku pulang..?"
"Bukankah itu tidak ada dalam kesepakatan kita. Jadi aku tidak perlu tahu"
"Tapi aku berinisiatif memberitahukannya. Aku akan pulang esok hari. Aku akan menghabiskan waktu dengan Andrea sebelum ia kembali ke Paris"
"Ingat point (5)..."
"Siapa yang akan tahu kau pun tidak ada di sini..."
"Tuhan yang tahu, Pak. Silahkan jika ingin mengkhianati Tuhan..."
"Egh..."
Mirza terdiam. Matanya menatapi punggung Arumi hingga menghilang di balik dinding.
"Aku berjanji, Arumi. Aku tidak akan melanggar kesepakatan kita. Karena aku tidak ingin kau terluka. Dan semoga kau pun tak kan pernah melanggarnya. Maaf aku mengerjai mu. Sesungguhnya aku dan Andrea pun akan meninggalkan Villa bersamaan dengan waktu kepulangan mu" batin Mirza.
🌸🌸🌸🌸🌸
"Sial...Apa maksud pak Mirza sebenarnya? Mengapa aku harus memberitahukan segala aktifitas ku. Memberitahukan semua teman laki-laki ku. O...dia berusaha membatasi pergaulan ku ternyata. Dasar laki-laki arogan..." batin Arumi.
"Nya...?!"
"Ar..." sahut Vanya lesu. Tangannya langsung mengembang meminta sebuah pelukan. Sementara wajahnya telah basah dengan air mata.
"Ar, nenek ku meninggal..."
"Innalillahi Wainnailahi Raji'un..."
"Saat ini juga, aku harus berangkat ke bandara. Kak El akan mengurusnya..."
"Sabar ya, Beb..."
Tok.
Tok.
Tok.
"Non Vanya di tunggu den Elvano..."
"Ya, Bi..."
"Aku antar sampai halaman..."
Berangkulan bahu keduanya menuruni anak tangga hingga ke halaman.
"Aku turut bersuka, Nya..." ucap Mirza yang ternyata sudah berdiri di dekat salah satu mobil mewahnya dengan merangkul pinggang ramping Andrea.
"Dasar tukang pamer..." batin Andrea.
"Terima kasih, Pak..."
"El, antarkan sampai bandara..."
"Baik, bos..."
Tak lama kemudian, mobil mewah berwarna hitam itu pun melaju meninggalkan halaman villa mewah itu.
"Sayang...kita ke kamar ku yuk..." ucap Andrea sambil bergelayut manja di lengan Mirza.
"Baiklah..." ucap Mirza melangkah beriringan dengan Andrea tanpae mentap Arumi sedikit pun.
"Cih, dasar tukang pamer. Mesum..." batin Arumi.
🌸🌸🌸🌸🌸
Senja datang menjemput. Warnanya selalu sukses memberi ketenangan siapa saja yang memandangnya. Tapi berbeda halnya dengan Andrea. Hatinya kini tengah bergemuruh setelah Mirza menolak cumbuannya di kamar tadi.
"Sial...! Arumi kau pasti penyebab ini semua. Aku akan membalas mu gadis abnormal..." gumam Andrea.
"Kelinci sedang naik mobil warna hitam dengan nopol 23 XX. Hati-hati penjaganya adalah panglima. Bungkus dan bawa ke tempat sesuai rencana" bisik Andrea setelah menghubungi sebuah kontak di ponselnya.
"Baik Nona..." jawab seorang laki-laki di ujung telepon.
Tut.
Tut.
Tut.
Sambungan telepon itu terputus bertepatan saat Mirza mengait pinggang ramping Andrea dengan Sebelah tangannya. Keduanya kemudian melangkah menuju halaman dan bertemu Arumi di ambang pintu. Melihat keberadaan Arumi, tangan Mirza langsung melemah dan tak mengait pinggang ramping Andrea. Sikapnya pun menjadi rikuh.
Arumi tersenyum saat sepintas melihat kerikuhan pada sikap Mirza tersebut.
"Bapak pulang sekarang juga...?"
"Hee, mau kapan pun kami pulang bukan urusanmu. Kepo banget sih...! Ketahunkan kampungannya..."
"Cukup..." suara Mirza datar namun sukses membuat bibir Andrea tak bergerak lagi.
"Kamu hati-hati ya...Hubungi aku jika ada apa-apa"
"Zaaa..." ucap Andrea manja namun diujung tatapannya ada kesal saat menatap Arumi.
"Dia tamu mama jadi wajar jika aku turut berperhatikannya"
"Baik, Pak. Saya permisi. Terima kasih atas jamuannya. Sampaikan salam hormat untuk Om dan Tante"
Kepala Arumi mengangguk takzim. Matanya ia simpan pada ujung kaki Mirza. Ia tak sanggup menatap Mirza ataupun mendapati kemanjaan Andrea.
"Darius, tolong jaga ya..."
"Siap, Tuan. Dengan segenap jiwa dan raga saya"
Langit telah kemerahan, tanda senja menjemput. Mobil mewah yang dilajukan Darius melesat menembus suara gemuruh ombak yang menghantam karang ataupun bibir pantai. Arumi tersenyum menatap luas lautan di sepanjang jalan yang ia lalui.
Kemudian, mendadak Arumi merasa jika laju kendaraannya di atas normal. Rasa kecut pun melanda hatinya.
"Mas, ada apa? Kenapa tiba-tiba jadi terlalu cepat? Saya agak takut, mas.."
"Maafkan, Non. Tapi sejak keluar Villa tadi kita sudah diikuti"
Sontak Arumi mengalihkan pandangannya. Dan bebas saja, sebuah mobil berwarna hitam melaju tak jauh.
"Tapi darimana.as tahu jika mobil itu mengikuti kita?"
"Sebentar lagi kita sampai di jalan utama. Kita bisa buktikan kebenaran pernyataan saya tadi"
Mata Arumi tak lepas menatap mobil di belakangnya itu. Bahkan nopolnya pun sempat ia simpan dalam ponselnya. Tak lama saat sampai di jalan utama, kembali Arumi memperhatikan laju mobil dibelakangnya itu. Dan dapat dipastikan bahwa adalah benar mobil tersebut mengikuti mobil yang ia naiki.
Hingga di jalanan yang cukup sepi mobil hitam yang mengikuti itu berusaha membuat Darius mati akal untuk menghindarinya. Wal hasil mobil pun terpaksa berhenti.
"Jangan keluar sampai keadaan aman apa pun yang terjadi. Nona hubungi Tuan Mirza secepatnya. Nona bisa menyetir kan?"
"Bisa, Mas. Tapi mas mau kemana?" ucap Arumi saat Darius turun dari mobil.
Sejurus kemudian, Darius sudah berjibaku mengolah jurus dengan kelima laki-laki bertubuh tegap. Pada awalnya Darius di atas angin, namun kemudian karena banyaknya lawan Darius mulai kewalahan. Beberapa sabetan senjata tajam mulai mengenai tubuh Darius. Situasi terlihat kacau saat itu. Dan Arumi teringat untuk menghubungi Mirza.
Tut.
Tut.
Tut.
Berulangkali Arumi berusaha menghubungi Mirza, namun nihil. Panggilannya tak terhubung.
Tak tahan melihat situasi yang dihadapi Darius, akhirnya Arumi turun dari mobil. Entah apa yang ada dalam fikirannya saat itu hingga ia memberanikan untuk turun.
"Berhenti...!" teriaknya.
"Oh, kelinci emasnya akhirnya nongol juga..."
"Mungkin ia iba melihat bodyguard-nya yang hampir mampus ini..."
BHUAHAHA....!!
Tawa kelima laki-laki itu terdengar mengerikan sehingga membuat Siapa saja yang mendengarnya akan bergidik tak terkecuali Arumi.
"Kenapa non Arumi keluar...?" tanya Darius yang duduk dengan beberapa luka yang mengeluarkan darah.
"Aku tak tega melihat mas Darius..."
"Tapi itu membahayakan jiwa nona. Em, apakah nona sudah menghubungi Tuan Mirza..."
"Aku sudah menghubunginya namun tak aktif ponselnya. Tapi aku sudah mengiriminya pesan dan juga rekaman singkat perkelahian mas tadi"
"Semoga cepat mengirimkan bantuan..."
"Sudah selesai ramah tamah nya. sekarang giliranku..." ucap seorang laki-laki bertubuh kekar yang langsung memegang tangan Arumi.
Sadar dengan situasi yang ada, Arumi segera menarik tangan dan membalik keadaan. Kini Arumi berhasil memegang tangan laki-laki itu dan memutarnya ke belakang tubuhnya. Melihat perlakuan atas rekannya, keempat laki-laki lainnya pun menghambur menyerang Arumi. Tak ayal lagi kini Arumi yang berjibaku meladeni olah jurus kelima laki-laki tersebut.
Sepintas Arumi melihat, Darius berbincang singkat dengan seseorang melalui telepon sesaat sebelum datang seorang laki-laki lain. Laki-laki itu memukul Darius hingga tak sadarkan diri. Melihat Arumi tak fokus, maka seorang mengambil kesempatan itu. Ia menyekap tubuh Arumi bersama keempat laki-laki lainnya. Dan menyemprotkan semacam cairan ke wajah Arumi. Sesaat kemudian Arumi pun lunglai tak sadarkan diri.
"Bawa ..."perintah seorang laki-laki berpakaian nyentrik.
"Tunggu...!" seorang laki-laki mencegah kepergian kelima laki-laki itu. Laki-laki tampan itu berdiri tegap dengan mata yang menatap tajam bak singa mengintai mangsa. Dia adalah Mirza. Laki-laki yang sudah menerima pesan singkat Arumi walau terlambat.
Mirza Flashback On
"Za,.apa sih keistimewaan gadis abnormal itu sampai-sampai mama dan papa mu menginginkan ia menjadi menantunya? Lalu apa kekuranganku..."
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi setelah memberinya kesempatan beberapa waktu, aku jadi selalu penasaran dibuatnya. Seakan dikepala ku dipernuhi pertanyaannya : setelah ini apa? Setelah ini apa? batin Mirza.
"Zaa...!"
"Tidak tahu, An. Mungkin karena Arumi tahu kekurangannya dan biasa saja menjalani kelebihannya..."
"Ah, naif sekali..."
"Hehe...sudahlah"
"Kok ponsel ku sunyi, tak seperti biasanya? Astaga...mati. Bukankah aku sudah menyalakannya setelah di charg barusan. Sialan..."
"Waduh...Mirza mulai menyadari jika ponselnya tidak aktif" batin Andrea.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ting
Ting.
Ting.
Beberapa pesan dan notifikasi menghias layar ponsel. Mirza pun dengan cepat membukanya.
"Astaga....!" ucap Mirza saat melihat isi pesan dari Arumi yang dikirim lima belas menit yang lalu.
"Pak...cepat tolong mas Darius. Kami ada di Jalan VWX Kilometer dua belas..." begitu pesan Arumi. Tak lupa Mirza pun membuka video yang dikirimkan Arumi. Makin terkejut lah Mirza.
Mirza pun langsung bangkit dari duduk. Andrea yang tengah bermanja di bahunya pun sedikit terhuyung.
"Satrio, Pandu ikut saya..." ucap Mirza. Wajahnya jauh dari biasa. Saat ini Mirza diamuk amarah. Kilat matanya membuat siapa saja yang melihatnya bergidik.
Tak lama Mirza memacu mobil sport silver-nya dengan kecepatan tinggi.
"Semoga aku belum terlambat. Arumi bertahanlah..." batin Mirza.
"Satrio, hubungi polisi..."
"Baik Tuan..."
Mirza Flashback Off
Melihat situasi menjadi tidak kondusif kelima laki-laki itu melepaskan Arumi dan bermaksud melarikan diri. Namun bersamaan dengan itu niat kelimanya menjadi urung saat satuan tugas dari polres kota X datang dan membekuk kelimanya. Sementara itu, laki-laki berpakaian nyentrik sudah diamankan terlebih dahulu oleh pihak berwajib saat ia akan melarikan diri.
BUK...!!
Mirza menyarangkan sebuah pukulan keras di wajah laki-laki berpakaian nyentrik itu. Laki-laki itu pun terhuyung.
"Aku akan berurusan dengan mu nanti..."
"Cukup Keanu..." ucap seorang perwira berpangkat tinggi yang juga sahabat Mirza.
"Nu, aku yakin ada dalang utama di balik semua kejadian ini. Karena ini sudah kedua kalinya. Cepat kau urus itu. Jika kau dan pihak kepolisian lambat, maka jangan salahkan. jika aku dan anak buah ku yang bertindak terlebih dahulu..."
"Apa kau sedang jatuh cinta...?"
"Egh...dasar kutu kupret, abdi negara...! Mau kena bogem mentah ku?!
"Hahaha.....Mirza tetaplah Mirza. Tiada yang berubah. Yang berubah adalah sedikit manusiawi..."
"Sial, kau..."
"Eh, kutu kupret 1 kemana? Tak ku lihat sejak tadi?
"El, sedang mengejar cintanya...'
"Wish...lepas donk predikat presiden jomblo yang baru kau serahkan padanya?"
"Hahaha.... sepertinya begitu"
Sementara itu Darius dan Arumi yang sudah berada di dalam ambulan langsung dilakukan ke MA Hospital.
Lagi-lagi, baru kali ini wajah Mirza sedikit beriak. Ada kecemasan di sana. Terutama saat melihat kondis Arumi. Apakah ini sebuah tanda-tanda? Atau hanya fatamorgana dari sebuah rasa kemanusiaan saja. Author hanya bisa berdoa saja. Wkwkwk....😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments