Kreeek...
Pintu ruang perawatan Arumi terbuka. Arumi yang baru saja memejamkan mata, mau tidak mau kembali terjaga karena mendengar suara tersebut. Sontak mata Arumi menatap ke arah pintu.
"Pak Mirza..." ucap Arumi dengan nada terkejut saat melihat Mirza berdiri di ambang pintu dan melangkah menghampiri Arumi. Menarik selimut yang tidak sempurna menutup tubuh Arumi.
"Ada apa dengan pak Mirza? Mengapa ia berubah perhatian seperti ini? Aku mohon, pak jangan berubah. Semua sikap dingin dan acuh mu telah menjadi cambuk bagi mu..." batin Arumi.
"Kenapa belum tidur..?"
"Terbangun karena bapak datang..."
"Jadi kau pikir, aku pengganggu?"
"Entahlah. Mungkin semacam itu, Pak..."
Mirza menghela nafas. Matanya menatap Arumi begitu lekat. Ditatap demikian, Arumi langsung menyimpan wajah pada pangkuannya sesaat setelah membetulkan posisi duduknya.
"Berhentilah memanggilku dengan embel-embel Pak..."
"Baik, Kek..."
"Kek...?"
"Ya, Kek. Selain bapak kan ada embel-embel lainnya kakek, Om, pakde atau lainnya. Dan saya memilih kakek selain bapak..."
"Sialan nieh gadis kereta ekspres. Apa tidak ada embel-embel yang romantis sedikit? Hei...romantis? Kenapa aku menginginkannya? Aduh..."
"Yang lain..."
"Pakde..."
"Yang lain..."
"Om..."
"Yang lain, Arumi..." ucap Mirza dengan nada tegas dan tatapan yang mengintimidasi.
"A-aku...tidak tahu harus mengganti dengan apa?"
"Abang, mas, kakak atau yang lainnya..."
"Kalau Abang, apa bedanya dengan Abang tukang bakso? Mas, Nanti di kira tukang sayur. Kakak, Em...Kita bukan bersaudara. Jadi sedikit rancu..."
"Sudah-sudah kalau begitu panggil sesukamu saja..." ucap Mirza akhirnya. Dari nadanya, terlihat sekali ia kesal.
"Kenapa bapak kemari...?"
"Hei, ini rumah sakit ku. Jadi kapan pun aku mau, aku bisa datang. Kapan pun aku mau, aku bisa pergi..."
"Mengerikan mendengar pernyataannya. Itu membuktikan betapa sombongnya dia. Sekaligus betapa tajir melintirnya dia. Sultan mah bebas..." batin Arumi.
"Apa yang difikirkan gadis ini? Mengapa ia menatapku seperti itu. Ya, Tuhan...baru kali ini aku merasakan desiran aneh saat ditatap seoraang gadis"
"Tidurlah...aku akan pergi saat kau sudah tertidur"
"Yakin? Bapak tidak akan melakukan hal yang aneh kepadaku kan?"
"Hei...aku bukan laki-laki seperti itu. Dan lagi kau bukan tipe ku. Jadi jangan risau..."
Arumi menaikkan alisnya sehingga membuat kedua matanya hampir membulat sempurna. Kemudian Arumi pun memilih untuk memejamkan matanya kembali ketimbang beradu kata dengan Mirza.
"Em, aku akan memanggil bapak dengan embel-embel lain asalkan bisa keluar dari rumah sakit ini besok pagi..."
"Penawaran macam apa itu? Kau tidak boleh pulang sebelum sehat..." ucap Mirza dengan mata yang membulat sempurna.
"Ya, kakek..."
"Kau..."
Mendengar suara meninggi Mirza, Arumi pun langsung memejamkan matanya. Atau lebih tepatnya berpura-pura cepat tertidur.
"Hei...apa yang dilakukan pak Mirza. Dia menyelimuti ku. Jangan lakukan hal yang manis seperti ini. Hal ini bisa melemahkan tekad ku. Berhentilah berbuat pura-pura, tuan Mirza." batin Arumi.
Malam semakin merangkak jauh dan meninabobokan setiap insan yang berbalut lelah setelah beraktivitas di siang hari. Begitu pula dengan Arumi yang sudah terlelap.
Pun demikian, berbeda halnya dengan Mirza. Karena hingga saat ini matanya belum dapat terpejam. Ia masih sibuk dengan ponselnya yang kerapkali berpendar.
"Lagi dimana? Sedang apa? Dengan siapa?" pesan Andrea.
"Ada apa, sayang...?"
"Aku kangen...Sudah lama kita tidak bertemu. Sudah seminggu, yank"
"Aku sibuk, yang. Kerjaan ku banyak sekali"
"Tapi tidak adakah waktu sebentar saja...?"
"Yank, malam ini kita bertemu yuk..."
"Ini sudah jam dua loh, yank. Tidak, aku masih ada kerjaan..."
Balas pesan pun Mirza akhiri. Di simpannya ponsel di tangannya ke kantung bajunya saat Arumi terlihat menggeliat. Kini Arumi tidur menghadap Mirza yang duduk dekat brankar Arumi. Tak Mirza sia-siakan kesempatan untuk menikmati pemandangan di hadapannya. Wajah putih alami Arumi membuat Mirza tertegun menatapnya.
"Em, jika di lihat-lihat kau cantik juga. Kulit putih, hidung bangir, alis sedikit tebal dengan bibir tipis merah merona. Dan jika diperhatikan lagi wajahmu sedikit tirus. Apa program diet mu berhasil?" batin Mirza.
Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Arumi dan menyelipkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajah Arumi ke belakang telinganya. Entah mengapa Mirza merasa ada desiran aneh yang menelusup di hatinya.
"Aish...apa yang kau fikirkan, Mirza. Ingat cinta mu hanya untuk Andrea. Andrea ku yang cantik dan yang selalu mencintaiku. Tapi...ada apa dengan ku saat berada di dekat Arumi. Gadis bertubuh imut dan tambun ini membuatku nyaman dan selalu penasaran. Astaga, Mirza..." batin Mirza
Puk...
Tiba-tiba saja tangan Arumi menimpa tangannya. Dan saat Mirza membetulkan posisi tangan itu, tangan Arumi justru memegang erat tangan Mirza sambil menggeliat dan meletakkannya sebagai bantal tidurnya.
"Aish...gadis ini" gumam Mirza.
Dengan situasi demikian, Mirza ingin membangunkan Arumi. Namun saat melihat wajah Arumi yang seperti bayi saat tertidur niatnya menjadi urung. Matanya menatap wajah Arumi dan menerbitkan senyum di ujung bibirnya.
Sementara itu, malam semakin jauh. Makin melenakan dalam mimpi panjang.
🌸🌸🌸🌸🌸
Pukul lima lewat lima menit. Mirza terkesiap dari tidurnya. Terlebih saat membuka mata wajahnya begitu dekat dengan wajah Arumi. Bahkan terlalu dekat, hingga hembusan hangat nafas Arumi pun dapat ia rasakan pada wajahnya. Mirza tertegun sejenak menatap Arumi"
"Astaga...sadarlah Mirza. Andrea menunggu mu" batin Mirza menyadarkan dirinya.
Kemudian setelah membersihkan diri dan berwudhu, Mirza memanjangkan sajadah dan memulai ibadahnya yang dua rakaat itu. Diakhir ibadahnya, tangan Mirza menengadah. Ia bermunajat atas segala hajat dalam hidupnya berharap dengan penuh keyakinan agar dikabulkan.
Setelah itu, Mirza pun mendekati Arumi. Menggugah tubuh Arumi dengan perlahan.
"Arumi, bangun...Mau sholat tidak?" ucap Mirza sambil tersenyum karena ada perasaan yang menggelitik hatinya.
"Serasa membangunkan istri. Wkwkwk..." batin Mirza.
"Bapak belum pulang?"
"Semalam ketiduran..."
"O..."
"Ingin dibantu ke kamar mandinya..?"
"Oh, jangan-jangan. Aku bisa sendiri.."
"Kalau begitu, Aku pulang. Ada mbok Parmi yang menjagamu. Sebentar lagi datang"
"Terima kasih, Bapak..."
"Aish...bapak lagi" gerutu Mirza sambil berlalu.
Melihat itu Arumi terkekeh sambil menatap punggung Mirza hingga hilang di balik pintu.
🌸🌸🌸🌸🌸
Pukul Delapan lewat tiga puluh menit. Dokter Faaz berdiri sambil tersenyum di dekat brankar Arumi yang tengah duduk.
"Pagi Arumi...Bagaimana kabar pagi ini?"
"Pagi pak dokter. Sudah jauh-jauh lebih baik. Dan berharap bisa pulang pagi ini"
"Hehe..lucu juga ya, kamu. Kok makan paginya belum di sentuh? Kenapa, tidak suka menunya?"
"Mbak Arumi tidak suka sarapan, pak dokter" ucap mbok Parmi.
"Wah, ini yang salah kaprah. Kalau diet justru harus sarapan pagi. Jadi saat makan siang tidak kalap..."
Arumi terdiam. Matanya menatap mbok Parmi yang tersenyum.
"Mari saya bantu makannya..."
"Tidak perlu pak dokter. Aku bisa sendiri. Dan lagi nanti pasien pak dokter nyariin loh..."
"Ah, tenang saja. Kamu kok pasien terakhir yang saya kunjungi..."
"Tapi sungguh, saya bisa sendiri..."
"Aaa...." ucap Faaz dengan sendok penuh siap dilahap. Arumi pun mau tidak mau membuka mulutnya dan menerima suapan Faaz. Satu kali, dua kali, hingga tiga kali suapan.
Kreeek...
Pintu ruang perawatan terbuka. Sontak Arumi dan Faaz menatap arah pintu yang sudah terbuka.
"Pak Mirza..."
"Sedang apa, Faaz..?"
"Seperti yang kamu lihat. Aku sedang menyuapi pasienku.
Mirza berganti menatap Arumi. Tatapannya sekilas menyimpan kekesalan.
"Kok, bapak kembali lagi...?"
"Charger ku tertinggal..."
"O..."
"Oya, Mama mengundang mu di acara liburan keluarga. Vanya juga boleh ikut. Kau pun juga boleh, Faaz..."
"Aku...?"
"Ya. Masa kucing..." ucap Mirza ketus yang membuat Faaz menyimpan senyum.
"Lusa kau akan di jemput. Bersiaplah. Oya, Faaz...izinkan Arumi pulang hari ini. Sepertinya ia sudah sehat"
"Mengapa aku merasa ada kilatan aneh saat pak Mirza menatap dokter Faaz?" batin Arumi.
"Sepertinya begitu. Baiklah aku akan mengizinkannya pulang pagi ini"
Mirza pun melanjutkan langkah panjangnya keluar ruang perawatan.
"Ada apa dengan ku? Mengapa aku merasa cemburu saat melihat Faaz bersama Arumi? Ah, tidak mungkin rasanya jika aku cemburu. Jika bukan cemburu lalu ini apa namanya..." batin Mirza di sela langkah panjangnya.
Pukul sepuluh lewat lima menit. Arumi sudah bersiap-siap pulang.
"Sudah siap?" ucap Faaz yang tiba-tiba saja sudah berdiri kembali setelah pamit sebentar.
"Em, sudah..."
"Kalau begitu aku yang akan mengantar mu pulang"
"Tidak perlu pak dokter. Saya su...."
"Arumi akan pulang bersama saya..." ucap Mirza dingin sedikit ketus.
"Pak Mirza..."
"Kenapa? Tidak suka...?"
"Bukan begitu. Tapi...."
"Kalau begitu ayo cepat..." ucap Mirza sambil menarik lengan Arumi dan membuat gadis itu mau tidak mau mengikuti langkah Mirza. Sementara itu, Faaz hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Arumi menatap ke luar jendela. Langit begitu mendung. Awan hitam menggantung. Mentari pun tampak bersembunyi di baliknya. Sementara itu burung-burung pun dipaksa kembali pulang ke sarang karena hujan sebentar lagi datang.
Benar saja, tak lama kemudian gemuruh pun datang menghantarkan hujan. Rintiknya langsung membasahi jendela yang masih ditatapi Arumi.
"Kenapa bapak kembali lagi. Apa meetingnya tidak jadi?"
"Jadi. Bahkan sudah selesai"
"O... aku kira bapak cemburu"
"Cemburu...?"
KTak...
"Aww...sakit, Pak" ucap Arumi sambil mengusap keningnya yang baru saja dihadiahi sentilan oleh Mirza.
"Kalau ngomong pake saringan..."
"Maaf. Kali saja bapak cemburu. Hehehe..."
"Halu...." ucap Mirza terasa sinis.
Arumi mengerucutkan bibirnya.
"Jangan lupa, lusa mama mengundangmu liburan ke villa keluarga di kota B. Persiapkan segala sesuatunya" ucap Mirza saat mobil berhenti di halaman rumah Arumi.
"Baik, Pak..."
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Mirza berpendar. Dan lagi-lagi senyumnya terbit di ujung bibirnya.
"Ya, sayang...Oh, jadi. Kita akan berlibur ke villa. Aku jemput ya..." ucap Mirza membuat Arumi tersenyum tipis sebab ia tahu siapa seseorang di ujung telepon yang dipanggil Mirza dengan sebutan sayang. Ya, pastilah ia Andrea--kekasih Mirza.
Arumi pun berlalu meninggalkan Mirza yang masih asyik berbincang.
"Hai...bertemu lagi kita..." ucap Arumi sambil rebah dan menciumi kasur nan empuk di kamarnya itu. Sejenak Arumi meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman tidur di atas brankar rumah sakit.
Kemudian seperti teringat sesuatu, Arumi bergegas bangkit dan menarik timbangan berat badan yang ia letakkan di sudut kamar. Wajahnya Muram saat melihat angka masih bertahan, belum ada perubahan berarti.
Arumi kembali merebahkan tubuh di atas kasur. Tangannya memijat kepala dengan perlahan. Nafasnya naik-turun dengan teratur. Fikirannya kembali mengembara menyulam ingatan demi ingatan yang bersiliweran. Tertumbuk ingatan Arumi pada undangan liburan bersama keluarga William yang baru saja di sampaikan Mirza.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Arumi berpendar. Terbit senyum Arumi dari sudut bibirnya saat mengetahui si penelepon.
"Ya, Beb..."
"Ces, kau sudah pulang? Aku di rumah sakit..."
"Sudah. Baru saja sampai di rumah. Maaf tidak mengabari. Ke rumah donk, Beb..."
"Hujan, Ces...Tunggu reda ya. Oya, Aku dapat undangan liburan. Tadi kak El yang menyampaikannya..."
" Kak El...?"
"Hehe...Kak El keberatan ku panggil bapak"
"Ow...begitu. Cie kakak..."
"Heem..jangan diledek. Aku malu..."
"Hahaha...." keduanya tertawa bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Suyani
semangat berkarya bunda mamay
2022-03-15
1