Hari ini adalah pekan ke ke empat belas setelah kesepakatan terjadi. Artinya tersisa sepuluh pekan lagi sebelum tenggat waktu yang diberikan Mirza berakhir.
Setelah berhasil menerima kenyataan bahwa tinggi tubuhnya hanya mencapai 150 cm, maka Arumi berhasil melakukan perubahan pada dirinya yaitu menjadi pribadi yang lebih kuat, berani dan percaya diri. Ia tidak lagi terlalu memusingkan olokan tentang tinggi tubuhnya. Bahkan Arumi mampu membalikkan fakta melalui kemampuan yang ia miliki. Arumi pun berhasil melakukan perubahan pada penampilannya, seperti bagaimana ia berpakaian, bagaimana ia mengaplikasikan perawatan terhadap wajahnya. Bahkan kacamata yang selalu bertengger pun sudah ia ganti dengan lensa kontak.
Dan kini perubahan itu menyasar pada berat tubuhnya. Memanglah suatu hal yang mustahil bisa sempurna pada waktunya. Namun paling tidak, Arumi telah berusaha untuk mencapai tujuannya. Dan lagi apa yang ia lakukan saat ini bukan hanya untuk menjawab tantangan Mirza, namun untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Kini obsesinya telah berubah.
"Yeeei...satu kilogram lagi" teriak Arumi saat melihat angka pada alat timbangan turun satu angka lagi. Jadi genap sebelas kilogram sudah penurunan berat tubuh Arumi dari tujuh puluh kilogram. Artinya Arumi masih memiliki pekerjaan rumah sebanyak delapan belas kilogram untuk diturunkan sehingga berat tubuhny menjadi ideal. Bukan perkara mudah hingga ia mencapai pada situasi saat ini. Ada banyak hal yang telah ia lalui
Mulai dari olahraga yang dinilainya sangat ketat, pengurangan porsi makan hingga menghilangkan acara ngemil, aktifitas yang amat ia sukai.
Seperti biasa di pagi hari, Arumi akan menghabiskan waktu satu atau dua jam untuk berolahraga. Waktu yang cukup panjang memang. Tapi itulah Arumi, pantang menyerah.
"Semangat Arumi...!" batin Arumi menyemangati diri sendiri.
Peluh telah membanjiri tubuh Arumi. Lelah pun sudah menyergap tubuh Arumi. Segelas air mineral Arumi teguk hingga tandas. Nafasnya naik-turun dengan cepat seiring degup jantung yang serasa berlarian.
Arumi beristirahat sejenak melepas lelahnya. Matanya menerobos jendela dengan gorden putih yang melayang di terbangkan angin. Semilir angin pun menerpa wajah Arumi, menyadarkan bahwa ia harus bersegera kembali bersiap untuk berangkat ke kampus.
Sedikit susah, Arumi bangkit dari duduknya. Bersegera mandi dan memakai pakaian terbaiknya hari ini. Arumi mematut diri di depan cermin. Ada senyum yang terbit di sudut bibirnya saat mendapati perubahan pada wajahnya yang sedikit tirus.
Tin.
Tin.
Tin.
Mendengar itu Arumi langsung melangkah cepat. Ia tidak ingin sahabatnya itu berceloteh panjang bak kereta ekspres hanya karena ia terlambat menghampirinya. Tinggal beberapa langkah lagi Aruna sampai, tiba-tiba pandangannya menjadi samar. Sembari tetap melangkah walau melambat Arumi memijat-mijat perlahan kepalanya. Tapi yang terjadi tidak sesuai harapan. Bukannya sembuh, justru semakin samar. Langkahnya pun menjadi limbung.
"Arumi....!"
Melihat itu Vanya langsung berteriak dan menghampiri Arumi yang kini sudah terduduk pada hamparan rumput yang basah sisa embun semalam. Sontak teriakan Vanya membuat gaduh rumah. Segenap asisten rumah tangga datang menghampiri.
"Langsung ke rumah sakit saja..." pinta mbok Parni saat melihat gadis yang sudah hampir sembilan belas tahun dalam pengasuhannya itu tergeletak tak berdaya.
"Pakai mobil Vanya saja..."
Kurang lebih lima belas menit perjalanan, mobil pun tepat berhenti di salah satu gedung instalasi gawat darurat di MA Hospital. Dokter dan beberapa perawat langsung menyambut kehadiran pasien dengan cekatan. Vanya pun menceritakan sedikit peristiwa yang baru dialami Arumi sambil menuju ruang tindakan.
Vanya menatap lesu tubuh Arumi yang menghilang di balik pintu ruang tindakan. Hatinya begitu khawatir, terlebih saat ini Arumi sendiri karena ayahnya masih berada di luar kota.
Hampir satu jam Arumi dalam ruang tindakan, namun belum ada kabar tentang kondisi Arumi. Vanya duduk di sebuah kursi dimana di sebelahnya telah terlebih dahulu duduk mbok Parmi yang terus mengurai air matanya.
Sementara itu di tempat yang berbeda di waktu yang sama, Kelas Manajemen bisnis sudah separuh berjalan. Mirza yang baru saja selesai menjelaskan kisi-kisi materi hari ini duduk dengan santai sementara mahasiswanya asyik berdiskusi tentang tugas yang disampaikan Elvano.
"Kemana si kereta ekspres? Aku tidak melihatnya. Apakah ia sakit? Atau sengaja menghindari ku? Sudah merasa pintar hingga berani meninggalkan jam kuliah ku? Awas kau ya..." batin Mirza.
"Kemana Vanya? Mengapa tidak masuk kuliah? Apakah ia belum kembali dari luar kota?" batin Elvano.
Mata Mirza sekali lagi mencari sosok Arumi di antara kerumunan mahasiswa yang tengah berdiskusi. Namun lagi-lagi nihil. Mirza tak menemukan sosok yang mudah ditemukan walau pun bersembunyi di lobang semut sekalipun.
Rasa penasaran Mirza mendorongnya untuk segera menghubungi Arumi. Sebuah kontak pun sudah tertera di layar ponselnya, namun ia sedikit ragu. Elvano yang melihat kegamangan di ujung tatapan Mirza, mulai menerka-nerka apa yang sedang dialami sahabat sekaligus bosnya itu.
Tut.
Tut.
Tut.
Nada panggil itu begitu lama terdengar di telinga, namun nihil tiada jawaban yang di dapat Mirza. Sedikit menyimpan kekesalan, Mirza pun kembali menghubungi Arumi. Kali ini terhubung. Dan Mirza langsung menghujani si penerima telepon dengan banyak kata ajaibnya.
"Sudah merasa pintar sehingga tidak mengikuti jam kuliah ku? Atau kau sengaja menghindari ku? Hei, kereta ekspres...kemana suara jelekmu? Ayo...jawab!"
Suara Mirza memang tak sekeras saat ia melampiaskan amarahnya, namun cukup membuat Elvano yang berada di sebelahnya menatap Mirza dengan heran.
"Maaf, Pak. Saya Vanya. Arumi ada di ruang tindakan. Tadi Arumi pingsan..."
Deg.
Serasa disengat ribuan volt listrik, Mirza terkesiap. Lidahnya kelu. Tubuhnya yang semula bersandar kini tegak.
"Dimana kalian?"
"Di MA Hospital ..."
"El, tolong handle sampai selesai. Ada yang harus aku kerjakan" ucap Mirza tergesa.
"Baik. Tapi pak bos ingin kemana?"
Pertanyaan Elvano tak Mirza jawab. Ia langsung memacu langkahnya begitu cepat menuju parkiran. Mendadak langkahnya melambat hingga kemudian terhenti.
"Tunggu...Kenapa aku jadi tergesa begini. Kenapa aku mengkhawatirkannya? Apakah aku mulai jatuh hati padanya? Ah, tidak mungkin. Aku yakin ini hanya sebuah rasa kemanusiaan, terlebih dia adalah salah satu mahasiswi ku. Tenang Mirza...kriteria gadismu belum berubah" batin Mirza.
Mirza pun melajukan mobil sport silver-nya dengan cepat. Kecepatannya pun mampu mengalahkan hembusan angin saat itu.
Kurang dari lima belas menit, lebih cepat dari kecepatan normal Mirza sampai di rumah sakit milik keluarganya itu. Beberapa dokter dan perawat mengangguk takzim saat mengetahui kehadiran pemilik MA Group itu. Matanya langsung menangkap sosok Vanya yang tengah duduk dengan menangkupkan kedua tangannya di wajah.
"Vanya..."
"Pak Mirza..." ucap Vanya cukup terkesiap dengan kehadiran dosen tampan itu.
"Bagaimana...?"
Belum lagi Vanya menjawab, pintu ruang tindakan terbuka.
Kreeek....
Berdiri seorang dokter di ambang pintu. Melihat kehadiran Mirza, dokter yang tak kalah tampan dengan Mirza itu menghampirinya.
"Siapa dia, hingga membuat tuan repot-repot datang?" ucap dokter Faaz yang tak lain adalah sahabat Mirza.
"Salah satu mahasiswi ku...Ah, sudah jangan banyak tanya. Bagaimana keadaannya?"
"Arumi baik. Dia hanya kelelahan saja sepertinya"
"Hati-hati dengan hasil observasi mu, jika salah ku potong gaji mu"
Faaz terkekeh saat mendengar ancaman Mirza. Ia tahu betul, ini bukanlah Mirza yang biasanya. Mirza yang dingin bak es di puncak Himalaya. Tapi hari ini tampak ekspresi wajahnya, menunjukkan bahwa Mirza juga seorang manusia. Atau tepatnya telah menjadi manusia kembali.
"Siapa, dia..."
"Hei..."
"Siapa dia...?"
"Dia anak dari sahabat papa dan mama. Ayahnya sedang berada di luar kota. Beliau menitipkannya padaku selama beliau belum kembali. So...dia tanggungjawab ku. Puas..."
Faaz kembali terkekeh.
"Cukup puas. Sebentar lagi Arumi akan dipindahkan ke ruang perawatan. Satu atau dua hari biarkan ia beristirahat di sini..."
"Terima kasih dokter..." ucap Vanya yang langsung mengiringi brankar dimana Arumi berada saat keluar dari ruang tindakan. Sementara Mirza memilih berbincang sejenak bersama sahabatnya itu.
"Hei...Bagaimana keadaan mu sahabat bawel ku?"
Arumi tersenyum di sapa demikian oleh sahabatnya itu. Arumi pun bermaksud bangun, namun dicegah Vanya dan mbok Parni.
"Aku sudah baik-baik saja. Ayo kita pulang..."
"Hei, tetap di tempat. Jangan kemana-mana. Kau harus menjalani perawatan mu hingga waktu yang ditetapkan dokter..."
"Tapi, Arumi sudah baik-baik saja pak..."
"Itu menurutmu, tapi tidak menurut dokter..."
"Tapi pak..."
"Kau...."
Kata Arumi jadi gagu saat Mirza melontarkan satu kata dengan nada cukup tinggi. Arumi terdiam. Terlebih saat ini Mirza tengah menghadiahinya dengan tatapan mengintimidasi. Arumi lagi-lagi diam. Ia pun menyimpan tatapannya pada pangkuannya. Ada kesal yang bergelayut dalam hatinya.
Sementara itu, Vanya dan mbok Parmi yang menyaksikan ketegangan antara keduanya, hanya bisa mengulum senyum dan menyimpannya pada sisi lain ruangan tersebut. Pun demikian, ada rasa bahagia yang terselip di hati Vanya dan mbok Parmi saat melihat keduanya beradu kata.
"Siapa dia, berani mengatur-atur ku? Dasar manusia kulkas...!" batin Arumi.
"Well...saya akan kembali ke kantor. Ada meeting penting. Kamu tidak boleh pulang. Tetap disini, turuti kata dokter. Vanya dan mbok tolong jaga Arumi. Hubungi saya jika dia macam-macam" ucap Mirza sambil melangakah meninggalkan ruangan.
"Huh... Dasar manusia kulkas" rutuk Arumi yang membuat Vanya dan mbok Parmi tertawa.
"Aku dengar...!" ucap Mirza dari balik pintu.
Arumi yang mendengar itu langsung menutup mulutnya dengan tangannya.
Vanya dan Mbok Parmi semakin tertawa melihat polah Arumi tersebut.
Senja datang menjemput. Mentari mulai kembali ke peraduannya berganti dengan sang malam yang mulai bersiap menyelimuti bumi. Arumi yang baru selesai dengan rutunitas sorenya terkejut dengan kehadiran Faaz. Senyum dokter tampan itu tampak menghiasi wajahnya saat melihat kehadiran Arumi. Bukan tanpa alasan ia mendatangi Arumi saat ini. Faaz ingin membunuh rasa penasaran terhadap Arumi yang menurutnya sudah mendapatkan sedikit perhatian dari Mirza. Berbeda dari biasanya, Mirza hanya akan mengirimkan Elvano---asistennya untuk mengurus segala sesuatunya. Andrea, kekasihnya saja diperlakukan demikian saat dirawat di rumah sakit. Tapi Arumi, yang jauh dari kata ideal justru mampu mendatangkan Mirza.
"Bagaimana keadaan mu, Arumi...?"
"Baik dokter...Pusingnya sudah berkurang"
"Panggil Faaz saja. Kebetulan saya sahabat Mirza..." ucap Faaz sambil tersenyum menatap Arumi yang duduk di bibir brankar.
"Kalau begitu harus saya panggil bapak Faaz, sebab pak Mirza dipanggil demikian"
"Bhuahaha...." Faaz tertawa mendapat pernyataan dari Arumi tersebut.
"Kenapa pak dokter tidak membiarkan saya pulang saja. Saya sudah sembuh..."
"Wah, bisa digorok saya oleh Mirza..."
"Ow...jadi ini permintaan pak Mirza?"
"Bukan. Bukan begitu. Mirza tahu kalau Arumi harus beristirahat dua hari, jika tiba-tiba pulang wah bisa gawat. Bukan saya saja yang terkena masalah, tapi seluruh dokter dan perawat di rumah sakit juga terkena masalah"
"Ish...sungguh mengerikan manusia kulkas itu"
"What...! manusia kulkas?"
"Hehe...maksudnya pak Mirza" ucap Arumi sambil tertawa kecil.
"Kenapa Arumi sampai merasa kelelahan berlebih itu? Apa ada sesuatu yang terjadi? Em, aku bertanya sebagai seorang teman bukan dokter kepada pasiennya"
"Saya melakukan olahraga dalam waktu yang lebih lama dari umumnya orang biasa lakukan"
"Apa ada tujuan tertentu?"
"Aku ingin sehat dengan bonus kurus..." ucap Arumi sambil menyimpan tatapannya pada ujung kakinya.
"Apa semua itu karena Mirza?"
Arumi diam. Matanya sejenak menatap Faaz yang juga tengah menatapnya lekat.
"Semula ya. Tapi pada akhirnya tujuan saya berubah..."
"Ow...." gumam Faaz sambil mengangguk-angguk.
"Walau bukan karena Mirza pun, saya akan membantu mu. Karena sepertinya kau gadis spesial bagi Mirza..."
"Egh..."
Arumi lagi-lagi menatap Faaz. Ada tanya di ujung tatapannya. Sementara Faaz tampak mengumbar senyum khasnya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Maaaaaak"utun"..nie🍉
eaah.....semngaaaat truuuuuuz...dah ada pendukungmu lgi😁😁😁
2022-06-25
1