"Ada banyak cara untuk menunjukkan rasa cinta. Dan saya bukan termasuk gadis yang mengumbar rasa cinta di khalayak ramai. Apalagi sampai mencium atau berlari mengejar bapak seperti para gadis lainnya atau mungkin pacar bapak itu. Toh cinta tidak harus buta. Toh cinta tidak harus memiliki apalagi memaksa. Kalau tidak cinta ya sudah..."
"Duh, apa yang sudah ku katakan barusan. Mengapa aku berkata seperti itu. Sebenarnya jika aku berani aku akan melakukannya, memberitahu pada mu bahkan dunia bahwa aku mencintaimu. Bukan hanya mencium atau berlari mengejar mu tapi memintamu menikahi ku..." batin Arumi.
"Kau memang beda Arumi. Kau tidak seperti gadis lain yang selalu mengejar-ngejar ku. Memaksakan membahagiakan ku hanya ingin memiliki apa yang aku miliki, yaitu harta dan ketenaran. Mereka selalu mengerubuti ku bak semut menemukan gulali manis..." batin Mirza.
"Untuk sementara, jangan jauh-jauh dari ku"
"Egh...."
"Sebuah permintaan yang aneh. Terlebih keluar dari bibir seorang Mirza Adyatma..." batin Arumi.
"Kenapa...?"
"Tidak perlu kau tanya, sebab aku tidak memiliki jawabannya..."
"Egh..."
"Turunlah..."
Arumi terdiam. Fikirannya tengah mengembara dan memaknai kalimat permintaan Mirza.
KTak....
Jari Mirza kembali mampir di kening Arumi membuat lamunan gadis itu buyar.
"Iy-ya, pak. Ada apa...?" ucap Arumi sambil mengusap keningnya.
Mirza tersenyum tipis setengah kesal melihat reaksi Arumi.
"Sudah sampai. Turunlah..."
Arumi gagap. Sikapnya begitu rikuh saat turun mobil hingga kepalanya pun mampir sejenak pada bibir pintu mobil.
Duk...
Meringis Arumi menahan sakit. Tangannya mengusap-usap pucuk kepalanya dan diakhiri dengan nyengir kuda. Dan mendapati situasi tersebut Mirza pura-pura tidak mengetahuinya. Ia memilih memalingkan wajah, menatap arah lain.
"Terima kasih, bapak..." ucap Arumi sambil berlalu.
"Beritahu aku jika ada apa-apa..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Kira-kira apa yang sedang dibicarakan pak Mirza dan Arumi ya?"
"Kamu penasaran? Telfon saja..."
"Ah, tidak mungkin aku telfon Arumi..." ucap Vanya sambil membetulkan posisi duduknya. Dan sedikit mengulum senyum.
"Gadis ini, kalau diperhatikan cantik juga. Rambutnya panjang, tinggi dan hidungnya bangir. Kira-kira masih jomblo ga ya...?" batin Elvano
"Pak Elvano ini tampan juga. Walau masih kalah ganteng sih dengan pak Mirza. Tapi jika harus memilih, aku akan memilih pak Elvano. Lebih humanis, humoris dan perhatian. Jomblo ga ya? Hehe....ganjen amat ya aku" batin Vanya.
"Menurutmu bagaimana hubungan Pak Mirza dan Arumi? Berhasil tidak..?"
"Berat, pak. Sikap pak Mirza saja begitu. Belum lagi kecantikan gadis yang di cintai pak Mirza. Akan sulit bagi Arumi untuk merebut perhatian dan cinta pak Mirza. Tapi seandainya Arumi bisa merubah sedikit penampilannya, mungkin pak Mirza akan menunjukkan sikap mengingat Arumi juga mempunyai kelebihan yang patut diperhitungkan..."
"Oya...? Tapi jujur ya. Selama aku menjadi sahabat Mirza, aku belum pernah melihatnya se-ilfeel seperti saat menghadap Arumi. Tapi anehnya, walaupun demikian Mirza juga amat penasaran dengan Arumi"
"Wah...mungkin benci akan berubah jadi cinta. Semoga saja keduanya berjodoh sehingga Arumi bisa berbahagia. Selama ini sudah banyak rasa sakit hati yang ia alami.."
"Sakit hati...?"
"Ya. Sakit hati karena hinaan yang ia alami selama ini. Dengan tinggi tubuh 150 cm, sudah cukup membuatnya menjadi bahan bully-an orang-orang. Belum lagi tubuhnya yang kini makin subur, otomatis menambah bahan gunjingan. Aku harap sudah waktunya Arumi bahagia, karena Arumi gadis yang baik"
"Vanya bantu Arumi, donk..."
"Pasti, pak..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Kemana Vanya kenapa belum datang juga" batin Arumi saat belum mendapati sosok Vanya di Widya salon n Spa.
Drrrt....
Sebuah pesan menghiasi layar ponselnya. Arumi pun langsung membukanya.
"Aku dan pak Elvano ngopi dulu ya. Hehe... Sebentar lagi menyusul ke Widya salon n Spa"
"Aihs... ada-ada saja" batin Arumi.
Tak mau berlama-lama, Arumi pun akhirnya mengambil sejumlah paket perawatan mulai dari ujung kuku hingga kepala. Arumi mulai ingin tampil paripurna di setiap kesempatan. Bahkan kacamata yang biasanya bertengger pun kini telah diganti dengan lensa kontak.
Tersenyum Arumi menatap wajahnya di cermin saat perawatan telah usai. Tekadnya kembali membara saat melihat tubuhnya yang belum ideal.
"Semangat, Arumi...!" gumam Arumi.
Senyum Arumi mendadak redup saat teringat Vanya yang sampai saat ini belum datang. Arumi menjadi khawatir terlebih ponsel Vanya tak dapat di hubungi.
Tut.
Tut.
Tut.
"Tidak terhubung. Ada apa? Apakah telah terjadi sesuatu? Ah, bukankah Vanya tadi bersama pak Elvano. Ah, sial aku tidak mempunyai nomor kontaknya lagi. Aku harus bagaimana?" batin Arumi.
Tangannya tampak menimang-nimang ponsel sambil sesekali melihat layarnya.
"Haruskah aku menghubungi pak Mirza? Ah, apa kata pak Mirza nanti. Dosen kulkas itu pasti akan mencibirku..Aduh" perang batin Arumi ditengah kekhawatiran sahabatnya itu.
Mata Arumi menatap layar ponselnya. Sebuah nomor kontak tertera disana. Hatinya masih ragu. Kemudian tanpa sengaja jarinya menyentuh tombol hubungi. Arumi terkesiap. Ia pun bermaksud membatalkannya, namun sayang panggilan itu sudah terhubung. Sebuah suara berkharisma pun terdengar di ujung telefon.
"Em, ma-maaf Pak. A-aku..." Arumi gagu. Lidahnya kelu.
"Katakan. Apa ada sesuatu yang terjadi pada mu?"
"Bu-bukan saya. Tapi Vanya..."
Akhirnya kata itu meluncur juga. Arumi pun menjelaskan situasi yang tengah ia alami. Perlahan namun pasti, kata demi kata meluncur dari bibir tipisnya.
"Sebentar, aku menghubungi Elvano. Kau jangan kemana-mana. Tetap di sana" ucap Mirza di ujung telfon. Terdengar sekali jika ia berbicara masih dengan kekhasannya, yaitu tanpa ekspresi.
"Baik, Pak..." ucap Arumi mengakhiri sambungan telfonnya.
Arumi menghela nafas. Hatinya cemas. Setelah tiga puluh menit menanti kabar baik dari Mirza , Elvano atau Vanya akhirnya cemas Arumi berubah menjadi senyum. Sebuah pesan menghiasi layar ponselnya.
"Ces, maaf aku tadi langsung pulang. Mama telfon, kami harus ke luar kota. Nenek sakit. Maaf ya, Ces tidak dapat menemanimu..." begitu pesan Vanya.
"It's ok, Nya. Semoga nenek disegerakan menjadi sehat kembali..."
"Trims, Ar... Sampai bertemu pekan depan di kampus"
"In Syaa Allah..."
Arumi menghela nafas lega. Ternyata sahabatnya baik-baik saja. Kaki Arumikembali melangkah menuju parkiran saat taxi online yang dipesan datang. Namun belum lagi ia menghampirinya, sebuah mobil sport silver datang tepat di sampingnya.
"Pak Mirza...?" batin Arumi.
"Masuk..." ucap Mirza yang terkesan memberi perintah.
"Tapi taxi pesanan ku sudah datang" ucap Arumi sambil menunjuk sebuah mobil.
"Batalkan...."
"Tidak bisa donk, Pak. Tidak boleh seperti itu..."
Mirza turun dari mobilnya. Ia melangkah menuju Arumi berada. Arumi menatapnya tanpa berkedip saat laki-laki tampan itu melangkah mantap. Tubuh jangkungnya menjura saat ia memberikan dua lembar uang seratus ribuan kepada pengemudi taxi online.
"Kau boleh berputar-putar sesuai alamat di aplikasi"
"Tapi, Pak..." ucap pengemudi itu terputus saat tatapan dingin Mirza berpadu dengannya.
"Wah, sombong sekali manusia kulkas satu ini..." batin Arumi.
"Baik, Pak. Terima kasih...." ucap pengemudi taxi online kemudian. Ia menjadi sumringah sesaat sebelum berlalu.
"Masuk..." ucap Mirza tanpa ekspresi.
Arumi terdiam. Hatinya tengah menggerutu hebat atas perlakuan Mirza barusan. Bibirnya ingin sekali mengeluarkan kata-kata ajaib untuk merutuki laki-laki tampan di hadapannya itu. Sialnya, tak satu pun kata yang mampu ia keluarkan. Terlebih saat Arumi di tarik paksa oleh Mirza masuk ke dalam mobil mewahnya.
"Tidak bisakah memperlakukan ku lembut sedikit. Tidak perlu ditarik begitu, karena aku bukan kambing atau sapi..."
"Kau memang bukan kambing atau sapi. Kau gajah..."
Arumi manyun. Ada kekesalan dalam hatinya. Ingin rasanya ia mencabik-cabik mulut laki-laki yang bagai belati itu.
Tak sampai dua puluh menit, mobil kembali parkir pada sebuah cafe. Arumi menatap Mirza sejenak. Ia ingin memastikan apa tujuannya membawanya ke cafe tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
"Turunlah. Aku lapar, belum makan siang...." ucap Mirza sesaat sebelum turun dari mobil.
"Oya, Jika kau tidak mau makan. Kau harus tetap menemaniku makan"
"Kenapa?"
"Itu hukuman karena sudah mengganggu jam makan siang ku dengan telfon tak penting mu itu..."
"Mungkin tidak penting bagi, bapak. Tapi bagi saya itu penting"
"Ah, alasan saja. Sebenarnya kau kangen kan dengan ku?"
"Ish...jangan baper, Pak. Saya murni khawatir dengan kondisi sahabat saya itu"
"Dengar... sebenarnya kau berhak memintaku melakukan apa pun sekedar untuk mengukur kadar cinta ku pada mu"
"Cinta...?"
"Ya point (1)..."
"Saya tidak berani melakukan itu. Karena saya yakin bagaimana perasaan bapak kepada saya dan kepada Andrea. Jadi yang saya lakukan saat ini terlebih hanya untuk membahagiakan diri saya sendiri saya.."
"Sombong sekali. Kau tahu, kau telah menghinaku..."
"Bapak yang sudah menghina saya. merendahkan saya. Menolak saya karena kekurangan fisik saya. Dan membuatkan perjanjian gila untuk saya..."
"Dasar kereta ekspres. Panjang sekali katanya" gerutu Mirza.
Perbincangan pun terhenti saat pramusaji menghidangkan makanan yang sudah dipesan Mirza. Arumi menyimpan salivanya dengan kasar. Matanya menatap tajam deretan makanan tersebut.
"Duh ini cobaan. Melihat deretan makanan seperti ini aku bisa kalap. Duh, manusia kulkas yang tampan, apa kau sengaja memesan makanan yang lezat-lezat begini? Aduh...bantu aku Tuhan" batin Arumi.
Mirza mengulum senyum. Batinnya bersorak saat melihat kegamangan di wajah Arumi. Sesungguhnya ia sengaja melakukan itu karena ia tahu Arumi tengah menjalani program diet yang ketat.
Ayo...makan" ajak Mirza yang langsung di jawab Arumi dengan gelengan kepala.
"Kenapa? Takut gemuk. Kan memang sudah gemuk"
Jleb...!
Kalimat Mirza barusan bak belati menghunjam hati Arumi bertubi-tubi.
"Dasar manusia tak berperasaan. Bisa-bisanya ia berucap terlampau jujur begitu. Tak bisakah berlaku manis sedikit saja kepadaku?" batin Arumi.
"Ayo dimakan. Kau diet?"
Lagi-lagi Arumi terdiam. Matanya menatap Mirza sesaat lalu kembali pada makanan di hadapannya.
"Bapak sengaja ya memesan makanan seenak ini? Aku bisa kalap, Pak..."
"Kalap tidak apa-apa. Makan saja"
"Arumi...Arumi, jujur saja kau sedang diet untuk ku. Untuk membuat ku jatuh hati kepadamu. Ayo katakan. Cepat katakan..." batin Mirza.
"Arumi tidak bisa, Pak. Maaf..."
"Kenapa? Hei..." ucap Mirza setengah teriak saat Arumi meninggalkannya begitu saja. Langkah Arumi begitu cepat. Hatinya mulai gerimis karena rasa kesalnya pada Mirza yang mengerjainya. Kemudian sebuah taxi pun telah berhasil membawanya pergi dari cafe tersebut.
Sementara itu, Mirza duduk terdiam sesaat setelah ditinggalkan Arumi. Selera makannya benar-benar telah hilang.
"Sial. Baru kali ini aku ditinggalkan seorang gadis seperti ini. Sombong sekali kau Arumi. Tunggu pembalasan ku..." batin Mirza.
🌸🌸🌸🌸🌸
Arumi yang telah sampai di kamar, langsung menghempaskan tubuhnya pada kasur. Lagi-lagi ia membenamkan wajahnya pada kasur dan menutupnya dengan bantal. Hal itu karena saat ini ia tengah berteriak sekuat tenaga. Ia tengah melampiaskan kekesalannya atas perlakuan Mirza barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments