"Jika begitu tempatkan Darius atau Dewa untuk menjaga Arumi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada calon menantuku..."
"Baik, Tuan..."
"Em... El, kenapa kau tidak pernah memanggilku papa? Padahal sudah ku katakan berulangkali kau sudah menjadi bagian keluarga ini. Dan kau mempunyai hak untuk memanggil Aku dan Dania seperti Mirza memanggil kami"
"Rasanya tidak sopan saja, Tuan..."
"Aish...sekarang aku bukan cuma memintamu . Tapi perintahkan agar kau memanggilku papa. Dengar...!"
Elvano terkesiap saat kata bernada tinggi itu menghampiri telinganya.
"Baik, Tuan. Eh, Pa.."
"Good...terkadang aku merasa justru kaulah anak kandungku jika melihat kekakuan Mirza. Entah darimana kekakuan itu berasal. Apa aku terlalu keras mendidiknya?"
"Jika dia tidak se-kaku itu tentu ia tidak akan menjadi pengusaha nomor satu saat ini.."
"Tapi karenanya dia tidak dapat mengenali mana gadis yang baik, mana yang hanya mengincar harta dan ketenaran saja.."
"Mungkin sebentar lagi hatinya akan menyadarinya..."
"Semoga saja..."
🌸🌸🌸🌸🌸
Sementara itu di lain tempat pada waktu yang sama. Arumi yang masih memanfaatkan surat keterangan sakit dari dokter dengan berbaring dan bersantai. Fikirannya tengah mengembara menyasar pada peristiwa saat Mirza menciumnya. Tiba-tiba wajahnya memerah. Ada desiran aneh yang selalu menelusup saat mengingat semua hal tentang dosen tampannya itu.
Tapi saat mengingat ucapan terakhirnya semalam, Arumi jadi mengernyitkan dahinya. Ia menghela nafas berat.
"Kau tidak mencintaiku, tapi kau mencium dengan gairahmu. Lalu kau kembali mengatakan bahwa kau tidak mencintaiku. Ah, manusia kulkas itu bisa-bisanya berlaku demikian pada seorang gadis seperti ku. Walau aku tidak cantik, tapi setidaknya jangan perlakukan aku se-hina itu. Akh...." batin Arumi.
Ia membenamkan wajahnya pada bantal. Ujung kedua kakinya menghentak bergantian pada kasur empuk yang ia tiduri. Ada kesal yang bergelayut di hatinya saat itu.
Kemudian tiba-tiba Arumi seperti teringat sesuatu. Karena itu ia langsung turun dari tempat tidur dan mengambil benda yang beberapa waktu ini menjadi temannya.
Yeei...." Arumi bersorak saat mendapati angka timbangan turun satu angka. Arumi berjoget-joget berkeliling kamar. Tangannya menunjuk-nunjuk ke udara.
"Satu...satu..." ucap Arumi berulangkali. Puas dengan tingkahnya, Arumi kembali menghempaskan tubuh ke kasur. Nafasnya naik-turun dengan cepat. Kemudian tangannya membuka kalender pada ponsel. Mulutnya komat-kamit, bak merapal mantra.
"Tapi jika satu bulan, berat ku turun dua kilo maka...Ah, mustahil aku dapat langsing dalam waktu enam bulan. Hadeuh.." ucap Arumi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal dan membenamkan kembali wajahnya pada kasur dengan sedikit kesal.
"Aish...Aku harus bagaimana?
Arumi memukuli kasur yang ia tiduri sedikit kesal. Ia pun berteriak tertahan karena wajahnya masih terbenam pada bantal.
"Aku mohon Tuhan, berikan keajaiban itu kepadaku. Ah, sementara menunggu keajaiban sebaiknya aku tetap harus berusaha. Aku tidak boleh putus asa. Satu-satunya jalan ku saat ini adalah melakukan diet lebih ketat lagi. Ok, Arumi. Semangat...!"
Tok.
Tok.
Tok.
"Mbak...ada mbak Vanya di bawah" ucap mbok Parni di balik pintu.
"Ya, suruh naik ke atas saja mbok..."
"Baik, Mbak..."
Tak lama kemudian terdengar langkah mendekat. Irama langkahnya begitu perlahan dan mengisyaratkan bahwa pemilik kaki itu seorang yang anggun.
Kreeek...
Derit daun pintu terbuka. Arumi Terlonjak saat mendengarnya. Ia ingin segera memberitahu pencapaiannya pada sahabatnya itu.
"Vanya...Va....!"
Kata Arumi langsung tercekat saat mengetahui siapa yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Tan--te Dania...!"
Buru-buru Arumi menghampiri perempuan setengah baya yang masih tampak cantik itu. Arumi meraih tangan Dania dan mencium punggung tangan perempuan yang digadang-gadang sebagai calon mertuanya itu dengan takzim.
"Apa kabar, Ndok?
Dania langsung memeluk Arumi. Menghadiahi sebuah kecupan lembut pada pucuk kepala Arumi. Sebelah tangannya mengusap-usap punggung Arumi. Saat ini dalam dadanya ada perasaan yang membuncah. Ada amarah yang menjalari jiwanya saat melihat keadaan Arumi.
"Arumi sudah baik-baik saja, Tante"
Dania menghela nafas. Ia tidak menyangka Arumi mengalami dua peristiwa sekaligus hanya selang beberapa jam saja. Kilat mata Dania menyimpan Amarah.
"Tante bersama siapa?"
"Sendiri. Tadi saat mendengarnya dari Om, Tante langsung meluncur ke sini. Tante khawatir, apalagi ayah mu sedang di luar kota"
"Terima kasih, Tante. Maaf merepotkan..."
"Jangan sungkan sayang. Jika ada sesuatu yang terjadi cepat beritahu Tante, om atau Mirza. Dengar..."
"Ya, Tante..."
"Janji...?"
"Arumi janji, Tante..."
Terbitlah senyum Dania dari sudut bibirnya mendapati kesediaan Arumi.
"Oya, bagaimana hubungan mu dengan Mirza...?"
Deg.
Berdesir darah Arumi saat ditanya mengenai hubungannya dengan Mirza. Ia gamang. Tidak tahu harus berkata apa?. Arumi menghela nafas yang terasa berat baginya.
"Maaf memposisikan Arumi pada situasi ini. Tapi Tante yakin, suatu hari nanti Mirza akan terbuka mata hatinya. Terus semangat dan berusaha. Arumi mencintai Mirza, kan?
Blush...
Memerah wajah Arumi mendapat pertanyaan itu. Tak ingin diketahui warna wajahnya saat ini, Arumi pun menyimpan wajahnya dalam-dalam sambil merasai jantungnya yang berdegup hebat serasa berloncatan.
Dania tersenyum melihat reaksi Arumi. Hatinya bersorak saat mengetahui perasaan Arumi saat ini. Di rengkuhnya Arumi dalam dekapannya yang erat.
"Tante tahu. Dan Tante senang mengetahuinya..." sambil mengurai senyum bahagianya.
"Tante...." ucap Arumi lirih.
"Oya, maaf sudah menyerobot menemui mu. Teman mu masih di bawah. Kalian hendak kemana?"
"Em, ingin ke pusat perbelanjaan. Ada beberapa barang pribadi yang harus di beli..."
"Kalau begitu pakai ini...Arumi bisa memakainya sesuka Arumi" ucap Dania menyodorkan Debit Card berwarna hitam.
"Tidak perlu, Tante. Terima kasih..." tolak Arumi sambil tersenyum.
"Kenapa...? Pakai saja, jangan sungkan.. Tante senang jika Arumi mau memakainya..."
"Maafkan Arumi Tante. Bukan Arumi tidak menghormati Tante, tapi rasanya Arumi belum siap menerima Anugerah ini. Maaf..."
Dania mengernyitkan Dahi. Baru kali ini ada gadis yang menolak uangnya. Tapi di sisi lainnya hatinya ia merasa bahagia. Karena ia tidak salah menilai Arumi.
"Kalau begitu, Tante permisi ya. Selamat bersenang-senang. Jangan lupa hubungi Tante, om, atau Mirza jika ada apa pun..."
"Ya, Tante. Terima kasih..."
Dania melenggang ke luar kamar di sejajari Arumi. Langkah keduanya tampak gontai menuruni anak tangga yang cukup panjang itu. Sekali lagi Arumi mengecup punggung tangan Dania dengan takzim sesaat sebelum perempuan itu berlalu bersama mobil mewahnya.
Setelah kepergian Dania, Arumi memeluk Vanya yang tengah menatapnya penuh tanya. Melihat itu Arumi langsung memberi jawaban, khawatir sahabatnya itu berspekulasi dahulu.
"Em, beliau ibu dari pak Mirza..."
"Iya. Aku tahu. Jadi hubungan kalian sudah seperti mertua dan menantu?"
"Ah, bicara apa sih Beb...Em, kita jadi nge-mall kan? Yuk berangakt nanti keburu siang. Panas, Cin..."
Vanya merasa tak puas atas jabawan Arumi. Tapi apa mau dikata jika yang empunya diri belum mau bercerita. Vanya menghela nafas sambil mengikuti langkah Arumi.
"Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Arumi dan Vanya sudah di pertokoan. Langkah keduanya seakan tak sabar. Entah kemana sebenarnya tujuan keduanya karena beberapa toko perlengkapan pribadi yang biasa dikunjungi sudah terlewati.
Tak lama kemudian, terdengar sorakan keduanya saat berada di depan pusat permainan.
"Wah...sudah lama sekali kita tidak memainkan ini semua" ucap Vanya sumringah.
"Betul sekali. Baagimana, kita sikat sekarang..." ucap Arumi penuh semangat.
Keduanya melangkah mantap. Mata keduanya berkilat bak elang bersiap menangkap mangsa. Hampir semua game mereka mainkan mulai dari single game hingga double game. Dari teriak-teriak, nyanyi-nyanyi hingga joget-joget. Semua dilakukan dengan suka cita.
Konyol, kata yang tepat disematkan pada keduanya saat ini.
Sementara itu ditempat yang sama diwaktu kekonyolan keduanya berlangsung, tampak dua laki-laki tampan baru saja melangkah keluar dari salah satu cafe pada pusat perbelanjaan. Keduanya adalah Mirza dan Elvano yang baru saja meeting dengan salah satu client pentingnya.
Kaki Mirza terhenti saat matanya tak sengaja menangkap kekonyolan Arumi dan Vanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman melihat tingkah dua gadis itu yang menurutnya begitu konyol.
"Gokil juga nieh cewek..." batin Mirza.
"Ingin bergabung, Bos...?"
"Ah, kalau aku mau, tempatnya sekalian aku beli..."
"Eugh...sombong" ucap Elvano sambil terkekeh.
Kemudian Elvano pun akhirnya menghampiri Arumi dan Vanya yang tengah berada pada dance box.
"Pak Elvano..." ucap keduanya hampir bersamaan.
Elvano tersenyum sambil memainkan kedua alisnya naik dan turun.
"Darimana, Pak...?" tanya Vanya sambil menyimpan senyumnya.
"Meeting...Terus lihat kegilaan kalian jadi mampir dech.
"Sendirian, pak?" tanya Arumi.
"Kenapa? Kangen dengan seseorang ya..?"
Blush....
Wajah Arumi memerah. Seketika wajahnya ia sembunyikan di pangkuannya.
"Biasanya dimana pak Elvano, manusia kulkas ada. Dimana si manusia kulkas ada, pak Elvano ada. Kalian tuh seperti kancing ceplik. Kemana-mana berdua..." ucap Vanya.
"Hahaha...." tawa ketiganya pecah.
"Kamu tidak apa-apa? Aku mendengar dari Elvano tentang peristiwa semalam..." ucap Mirza saat berdiri di samping Arumi.
"Saya baik-baik saja. Beruntung pak Elvano ada semalam. Jika tidak mungkin hari ini saya ada di rumah sakit atau mungkin lebih fatal lagi..."
"Makanya kalau jalan hati-hati..." ucap Mirza. Setelah itu ia berlalu tanpa ekspresi berlebih.
"Eh, yak...yak...yak...! Dasar kulkas, main nyelonong aja" ucap Arumi kesal saat ditinggal begitu saja oleh Mirza tanpa sempat menjawab apapun.
Elvano dan Vanya yang melihat itu, hanya dapat saling melempar tatapan mata saja melihat kepergian Mirza.
Arumi pun menarik Vanya pergi dari tempat tersebut dan menuju salah satu toko kosmetik.
"Kami baik-baik saja, Ar.."
"Bagaimana aku akan baik-baik saja, Nya jika diperlakukan demikian..."
"Cara setiap orang berbeda, Ar..."
"Aku tahu. Dan sepertinya tidak ada peluang sedikitpun untuk ku..."
"Jangan putus asa. Semangat Ar" ucap Vanya yang dijawab Arumi dengan anggukan kepala dan senyum khasnya saat keluar dari pusat perbelanjaan setelah mendapatkan barang-barang yang diperlukan.
Mata Arumi menyapu halaman parkir. Entah mengapa ia melakukannya. Apakah Arumi mencari seseorang atau sesuatu. Sepertinya hanya Tuhan dan dia yang tahu. Hehee....
Langkah Arumi cukup panjang saat menuju mobil sekitar dua blok dari tempatnya berdiri kini. Sementara Vanya mengekorinya sambil tersenyum menatap punggung sahabatnya itu.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
"Sedikit menjauhlah dari Arumi. Di depan ada Mirza yang ingin berbicara dengan nya. Em, kita bisa minum kopi atau semacamnya jika kau mau.."
"Baiklah pak El..."
Vanya pun memenuhi permintaan Elvano. Perlahan namun pasti langkah Vanya menjadi tak seiring lagi dengan Arumi.
"Ah, itu dia. Lelet sekali langkahnya. Hei...jika di amati dia manis juga. Dia juga berbeda dari gadis yang lain. Bukan karena tinggi atau berat tubuhnya tapi...dia memang berbeda. Ah, mengapa aku terkesan memujinya. Sial..."
"Ok. satu, dua, tiga...."
Brukk...
Arumi menabrak pintu yang baru saja Mirza buka. Ia pun Terpekik.
"Akh...."
Arumi terpekik saat tubuhnya menabrak pintu mobil. Bukan saja karena bagaimana ia menabraknya tapi lebih pada rasa terkejut yang ia alami. Tubuh Arumi menjura. Maksud hati ingin mengomeli si empunya mobil.
"Masuk..." ucap Mirza sedikit ketus dan wajah yang datar saja. Bukan sekali, tapi tiga kali Mirza memintanya masuk saat gadis itu belum memenuhi permintaannya.
Arumi kembali terkesiap saat ucapan terakhir Mirza bak perintah di telinganya. Arumi pun langsung duduk dalam mobil di sebelah Mirza yang tampak gagah duduk di belakang kemudi.
"Ternyata aku harus sedikit keras pada mu, baru kau mendengarku. Apa kau selalu seperti itu?"
"Ah, mengapa bapak mengomeli saya. Mestinya bapak meminta maaf karena sudah menyakitiku..."
"Mestinya kau yang meminta maaf karena sudah menabrak mobil ku. Aish...aku jadi merasa kasihan pada mobil ku karena sudah kau tabrak dengan tubuh gembul mu itu..."
"Ah, anarkis sekali kata-kata manusia kulkas ini. Tak tahu apa aku kesakitan begini. Pasti di sengaja melakukannya. Dasar manusia tak berperasaan. Tapi herannya mengapa aku masih mencintainya...aduh" batin Arumi.
Arumi manyun. Bibirnya meruncing. Sementara tangannya mengusap-usap tulutnya yang sempat terantuk tadi.
"Apa itu sakit...?"
"Bukan sakit lagi, Pak. Kenapa ada orang seperti bapak. Ayo minta maaf padaku. Ayolah....manusia kulkas" batin Arumi.
"Maaf...."
"What...! Tuan Mirza Adyatma, si manusia kulkas meminta maaf. Apa aku berhalusinasi?" batin Arumi.
"Hei...aku sudah meminta maaf. Kenapa kau diam saja? Apa bengong sudah menjadi hoby mu...?"
"Tidak. Aku hanya terkejut saja mendengar bapak meminta maaf. Aku seakan tak mempercayainya"
"Kalau begitu anggap aku tidak pernah mengucapkannya"
"Egh...."
"Kemana tujuan mu, aku akan mengantar mu?"
"Tidak apa-apa mengantar gadis buruk rupa seperti ku?"
"Jangan banyak komentar. Jawab saja..."
"Sialan nieh, gadis. Sejak memperoleh rasa percaya dirinya mulutnya seperti kereta ekspres yang tak dapat dihentikan lajunya" batin Mirza.
"Widya Salon n Spa...."
Mirza pun langsung memutar kemudinya menuju tempat yang disebutkan Arumi. Sesekali matanya menatap gadis di sebelahnya yang tampak biasa-biasa saja. Bahkan sangat biasa-biasa saja.
"Apa kau mencintaiku?"
Deg...
Arumi makin terdiam. Pertanyaan Mirza membuatnya tersudut.
"Mengapa ia menanyakannya lagi? Apa yang ia inginkan sebenarnya? Lalu aku harus jawab apa" batin Arumi.
"Jika kau mencintaiku, lalu mengapa kau tidak berusaha mengejar ku atau berusaha membuat aku jatuh cinta kepada mu?"
"Ada banyak cara untuk menunjukkan rasa cinta. Dan saya bukan termasuk gadis yang mengumbar rasa cinta di khalayak ramai. Apalagi sampai mencium atau berlari mengejar bapak seperti para gadis lainnya atau mungkin pacar bapak itu. Toh cinta tidak harus buta. Toh cinta tidak harus memiliki apalagi memaksa. Kalau tidak cinta ya sudah..."
"Duh, apa yang sudah ku katakan barusan. Mengapa aku berkata seperti itu. Sebenarnya jika aku berani aku akan melakukannya, memberitahu pada mu bahkan dunia bahwa aku mencintaimu. Bukan hanya mencium atau berlari mengejar mu tapi memintamu menikahi ku..." batin Arumi.
"Kau memang beda Arumi. Kau tidak seperti gadis lain yang selalu mengejar-ngejar ku. Memaksakan membahagiakan ku hanya ingin memiliki apa yang aku miliki, yaitu harta dan ketenaran. Mereka selalu mengerubuti ku bak semut menemukan gulali manis..." batin Mirza.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments