"Bantu aku, Beb. Aku ingin jauh lebih baik lagi. Dalam segala hal. Jika bisa, mengapa tidak"
"Sayang...." ucap Vanya sambil memeluk Arumi.
"Aku akan membantu mu, Arumi. Tak kan ku biarkan orang lain menyakiti mu lagi juga tak kan ku biarkan kau menangis kalah sebelum berperang..." batin Vanya.
"Kau memang sahabatku, Vanya. Aku janji tak kan mengecewakan mu. Aku akan bersemangat untuk mu...." batin Arumi.
"Hei, bukankah itu Arumi. Gadis yang akan dijodohkan dengan Mirza. Hah, apa yang menarik darinya sih. Buntet begitu ingin mendampingi Mirza yang seorang pengusaha nomor satu di Indonesia. Aku akan memperingatinya. Kebetulan Mirza di toilet..." batin Andrea.
Andrea melangkah menghampiri meja Arumi dan Vanya berada. Ia berdiri tegak menatap sinis Arumi.
"Kamu sok kecantikan amat, Arumi. Apa di rumahmu tidak ada cermin sehingga kau menjadi tidak tahu diri seperti ini?"
"Maaf, Nona. Anda ini siapa?" dusta Arumi.
"Jangan pura-pura tidak tahu kamu. Aku Andrea. Aku kekasih Mirza. Laki-laki yang amat kau puja itu..."
"Ow, apa mau anda?"
"Mau ku? Kau enyah dari kehidupan Mirza. Bila perlu kau mati saja?"
Andrea berang. Walau tak bernada tinggi, namun penekanan pada nada suaranya cukup membuat Arumi dan Vanya tertegun menampilkan mode kesal.
"Nona Andrea, sepertinya anda terpelajar. Jadi tentu dapat mencerna kata-kata saya ini. Saya tidak merebut kekasih anda. Bagaimana bisa anda menyimpulkan demikian, bahkan kami tidak menjalin hubungan apa pun"
"Ya. Karena Mirza jijik melihat mu. Bercerminlah...Mirza hanya mencintai ku. Kau tahu itu?"
"Jika anda sebegitu yakin akan cintanya kepada anda, lalu mengapa anda tampak begitu ketakutan. Bukankah Anda tahu, saya bukan saingan bagi anda?"
"Kamu...!"
Andrea semakin berang. Emosinya tak terkendali. Ia menyambar gelas berisi juice mangga di meja dan menyiramkan pada Arumi.
Byuurr...
Terkesiap Arumi mendapat perlakuan itu. Tutur kata dan polah sopannya perlahan menguap. Mata Arumi menatap tajam pada Andrea. Tangannya terkepal hebat. Bahkan gemuruh di dadanya makin menjadi badai. Pun demikian, Arumi masih mampu menahan diri dan tidak melakukan tindakan bodoh yang bisa memicu keributan. Padahal bisa saja ia melakukannya. Dengan ilmu bela diri yang ia punya, apa yang tidak bisa ia lakukan jika hanya untuk membuat Andrea ketakutan atau pun lari saat itu. Namun lagi-lagi, semua itu tidak ia lakukan, terlebih gadis itu datang bersama laki-laki yang ia cintai. Arumi tidak ingin membuat laki-laki itu malu atau makin membencinya.
Tak tega sahabatnya diperlakukan demikian, Vanya berdiri dan mencengkram lengan Andrea dengan kuat hingga gadis cantik itu meringis. Namun, Arumi berhasil membuat tenang sahabatnya itu.
Setengah berlari Arumi menuju toilet diiringi Vanya. Ia membersihkan sisa-sisa juice yang melekat pada rambut, wajah dan sebagian pakaiannya.
"Itu perempuan macam apa ya? Tega-teganya melakukan hal sepertinya ini"
"Mungkin semacam genderuwo atau paling tidak kuntilanak..."
"Pantas saja menakutkan gitu..."
Hehehe....
"Yah, semua karena cinta, Nya. Akal sehat sudah berganti dengan posesif. Apalagi laki-lakinya sekelas Mirza Adyatma. Pengusaha muda yang kariernya sedang moncreng"
"Moncreng? O...moncer"
Arumi terkekeh melihat kegaguan sahabatnya itu. Setelah dirasa cukup, Arumi pun keluar toilet diiringi Vanya. Namun, baru beberapa langkah mendadak sebuah tangan meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Mau tidak mau, Arumi mengikuti langkahnya terlebih saat sadar siapa sosok laki-laki itu.
Hingga di sisi lain cafe, barulah Ia menghentikan langkahnya.
"Bapak tidak salah menarik saya seperti itu?"
Mirza menatap Arumi lekat. Begitu dingin. Hingga siapa saja yang melihatnya pasti akan bergidik, tak terkecuali Arumi. Langkah Arumi mendadak surut saat Mirza mendekatinya hingga berjarak beberapa sentimeter saja. Mirza mengurung Arumi dengan kedua lengannya yang bertumpu pada dinding hingga gadis itu tak berkutik.
Lekat Mirza menatap Arumi yang wajahnya tengah memerah. Tatapan Arumi pun terkunci pada wajah Mirza. Nafas keduanya naik-turun dengan cepat. Kemudian sebelah tangan Mirza melepas kacamata yang bertengger di wajah Arumi menyisakan bola mata indah milik Arumi.
"Kenapa kau mengacuhkan ku..? Kau tidak berusaha memenuhi point pertama sesuai kesepakatan kita. Kenapa...?!"
"Sa-saat ini, a-aku tengah berbahagia karena... baru saja terlepas dari Kungkungan pemikiranku yang sempit. Maaf jika terkesan mengacuhkan, bapak. Tapi apakah bapak menginginkan dikejar-kejar oleh saya dan banyak gadis lainnya? Jika demikian, saya tidak bisa"
"Kamu...Kamu tidak mencintai saya?"
Blush....
Wajah Arumi makin memerah. Degup jantungnya kian berlarian tak menentu. Ingin rasanya ia berlari dari Kungkungan lengan kekar itu, tapi apa daya aroma maskulin laki-laki yang memang ia cintai itu menahannya untuk melakukan itu.
"Apa kamu mencintai saya...?"
"Ak-aku....."
Kata Arumi jadi hilang saat Mirza mengecup lembut bibirnya. Tanpa sadar Arumi mulai mengikuti irama kecupan Mirza dan mengalungkan kedua lengannya pada leher Mirza. Kakinya menjinjit untuk menggapai bibir sexy milik Mirza.
"Astaga...apa yang aku lakukan? Sadarlah, Arumi...!" batin Arumi.
Segera mungkin Arumi melepaskan kalungan lengannya dan mendorong tubuh jangkung Mirza hingga laki-laki itu surut ke belakang.
"Kau mencintaiku, Arumi. Akui itu..."
"Lalu apa mau, Bapak..."
"Dengar...aku mencium mu hanya ingin membuktikan bagaimana perasaan ku terhadap mu. Tenyata memanglah benar, aku tidak merasakan apapun. Artinya aku tidak mencintaimu..."
Bug....
Bogem mentah Arumi menyasar pada perut Mirza. Tak ayal lagi, laki-laki tampan bertubuh jangkung itu meringis menahan sakit. pada situasi tersebut bukan berarti Mirza lemah. Namun karena serangan Arumi yang tiba-tiba, membuat Mirza tak sempat mengelak sehingga bogem mentah itu tepat mengenainya.
"Sudah berapa banyak gadis yang kau permainkan seperti tadi, tuan Mirza?! Sungguh kau laki-laki yang egois.."
Arumi berlalu. Langkahnya setengah berlari karena air matanya hampir terjun bebas saat itu. Di sekanya bibir yang masih basah dari sisa kecupan tadi. Berlari Arumi meninggalkan cafe tanpa mempedulikan panggilan Vanya.
"Ke jalan Permata hati, Pak..." ucap Arumi saat memasuki sebuah mobil. Wajahnya telah basah dengan air mata saat itu.
"Baik, Nona...."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Apa yang sedang Meraka lakukan?" batin Andrea. Langkahnya mengikuti kelebat bayang Mirza dan Arumi. Hingga di sisi lain cafe Andrea tertegun.Ia tak percaya akan apa yang ia lihat.
"What...! Mereka berciuman? Aku tak percaya. Bukankah Mirza begitu membenci gadis semampai dan gembul itu? Tapi mengapa justru ia menciumnya? Apa seleranya telah berubah? Ah, sial tuh gadis. Dia sudah membohongiku. Ia mengaku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Mirza, tapi nyatanya ia begitu menikmati ciuman itu..." batin Andrea.
Andrea geram. Wajahnya mengeras menaruh amarah pada Arumi. Ingin rasanya ia berlari mendekati keduanya dan menjambak habis rambut gadis bertubuh tambun dengan tinggi yang tak seberapa itu.
Tubuh Andrea serasa bergetar menahan amarah. Perlahan ia mengeluarkan ponsel dari tas mini-nya dan menghubungi sebuah kontak yang tertera.
"Namanya Arumi Hirata Permana. Mahasiswi jurusan MB di universitas XYZ. Kau awasi dia dan laporkan padaku apa saja yang ia lakukan. Jangan buat pergerakan sebelum aku menentukan hukuman apa yang cocok untuknya" ucap Andrea dengan seseorang di ujung telepon. Matanya berkilat. Kilatan yang membuat bergidik.
"Berhati-hatilah, Arumi...Aku tidak akan melepaskan mu" batin Andrea.
🌸🌸🌸🌸🌸
"Kenapa lewat sini, pak? Bukankah aku sudah mengatakannya tadi" ucap Arumi saat menyadari perubahan tujuannya.
"Gadis bodoh. Bagaimana jika aku orang jahat? Naik mobil sembarangan saja. Lihat-lihat dulu dong.."
Arumi tertegun mendengar celoteh laki-laki yang duduk di belakang kemudi. Matanya memperhatikan laki-laki tersebut. Sadar dengan situasi yang ada, Arumi bermaksud meninggalkan mobil. Namun urung karena pintu terkunci. Arumi jadi gusar. Ia menatap sosok di depannya yang tengah terkekeh karena melihat reaksi Arumi.
"Kau belum mengenali ku juga Arumi Hirata Permana?"
Deg.
Mendengar namanya disebut dengan lengkap, Arumi membulatkan matanya. Ia penasaran.
"Astaga, Arumi. Apa belum jelas juga kau mengenali wajah tampan ku ini" ucap laki-laki itu sambil melihat ke arah Arumi.
"Astaga, pak Elvano..."
"Ya, siapa lagi. Hehe... Kenapa kau menangis? Apa Mirza yang membuat mu menangis?"
Arumi mengusap wajahnya dan merapikan rambut panjangnya yang sebagian menutupi wajahnya.
"Pindahlah ke depan, agar kau bisa bercerita. Lelah juga aku melihat mu dengan cara ini"
Brrr...
Hawa dingin menyergap tubuh Arumi saat ia keluar mobil. Dengan cepat Arumi berpindah karena tidak ingin hawa dingin menyergap tubuhnya. Kini ia telah duduk di sebelah Elvano. Tangannya masih terlipat di depan dada saat ia sudah duduk sempurna. Elvano tersenyum menatap Arumi.
"Sekarang ceritakan..."
"Ah, rasanya percuma pak. Apalagi pak Elvano sahabat pak Mirza..."
"Hei, memang kenapa jika aku sahabat Mirza? Kau tahu aku orang yang adil dalam menilai situasi..."
Arumi menghela nafas yang terasa begitu berat menghimpit dadanya.
"Apa Mirza yang membuatmu menangis? Apa yang sudah ia lakukan...?"
"Pak Mirza menciumku..."
"What...! Bhuahaha....."
Elvano tertawa lepas beberapa saat. Tak henti tangannya memukul kemudi.
"Sorry...sorry. Aku kelepasan"
"Bapak saja tidak percaya. Apalagi saya..."
"Bukan begitu. Em, lalu mengapa kau menangis? Bukankah semestinya kau bahagia, Mirza mencium mu"
"Itu bukan ciuman untuk ku, tapi untuk dirinya sendiri. Itu sebuah pembuktian dirinya. Setelah dia menciumku dia mengatakan bahwa ia tidak merasakan apa-apa. Maka itu berarti bahwa ia tidak mencintai ku..."
"Dasar anak, nakal..." gerutu Elvano.
"Tapi tunggu, jika Mirza memerlukan sebuah pembuktian artinya saat ini ia sedang tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Apakah, ia tengah menghadapi sebuah dilema cinta? Jika ya, maka selamat untuk mu Tuan dan Nyonya William..." batin Elvano.
"Sudahlah...lupakan saja. Anggap saja itu bonus dari apa yang sedang kau perjuangkan. Tugasmu adalah fokus saja pada tujuan mu. Kau ingat point pertama?"
"Membuat pak Mirza jatuh cinta kepada ku..."
"Nah, itu saja. Aku akan mendukung mu. Oya, ada baiknya kau menguruskan tubuhmu. Mirza lebih suka pada yang langsing-langsing..." ucap Elvano sambil tersenyum dan menngedipkan sebelah matanya pada Arumi yang saat itu tengah tersenyum tipis karena mendengar penuturan Elvano.
" Entahlah, Pak..." ucap Arumi sambil mengedikkan bahunya.
"Em, Kita mampir ke toko roti ya, Nyonya Dania memintaku membawakan roti kesukaannya" ucap Elvano sambil menghentikan mobil diseberang toko karena parkiran sudah penuh.
"Astaga, jam segini saja nieh toko masih ramai pengunjung. Lihat saja mobil yang terparkir itu, begitu berderet-deret"
Sementara itu di waktu dan tempat yang sama, sebuah mobil berwarna hitam terparkir beberapa meter di belakang pemberhentian mobil Elvano. Mata pemiliknya begitu tajam menilik pergerakan Arumi.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel laki-laki dalam mobil berpendar.
"Jika ada kesempatan, kau tabrak saja dia..." begitu perintah seseorang di ujung telepon.
"Baik, Nona..."
Tut.
Tut.
Tut.
Sambungan panggilan itu pun terputus setelah perintah diberikan. Kembali mata itu menilik pergerakan Arumi yang saat ini hampir menyebrangi jalan setelah beberapa saat lalu berbelanja.
"Jangan terburu-buru, Nona Arumi. Maut mu sedang menuju padamu" ucap sinis laki-laki itu sambil melajukan mobil dengan kecepatan tinggi ke arah Arumi.
Wosh....
"Arumi...!
Elvano menarik tubuh Arumi tepat disaat sebuah mobil hendak menabraknya. Hitungannya hanya beberapa detik saja.
Berguling tubuh Arumi bersama Elvano yang dibarengi erangan Elvano karena tertimpa tubuh tambun Arumi.
"Akh....!"
Arumi menyeringai memperlihatkan deretan gigi putihnya. Walau degup jantungnya masih sulit didamaikan, namun reaksi wajah Elvano saat tertimpa tubuhnya membuat Arumi mengulum senyum.
"Kau menertawai ku?"
"Ma-maaf...bukan demikian. Aku..."
"Sudahlah. Ayo pulang..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Bagaimana?" ucap seorang perempuan di ujung telefon.
"Maaf, Nona. Rencananya tidak sesuai. Ada laki-laki yang menolongnya"
"Siapa...?"
"Tuan Elvano..."
"Apa...?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments