Mata Arumi perlahan terbuka. Mengerjap sebentar karena cahaya yang menyasar dalam mata begitu menyilaukan. "Ayah. Ayah sudah pulang?" ucap Arumi lirih saat menyadari kehadiran Permana. "Ya, sayang. Ayah di sini" ucap Permana. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Arumi dan menghadiahi keningnya dengan sebuah kecupan lembut.
"Dua minggu tak melihatmu, Ayah kangen sekali. Apa kabar, Ndok..." ucap Permana. "Arumi baik-baik saja, ayah..." ucap Arumi sambil membetulkan posisi tubuhku.
"Bagaimana bisa Arumi mengatakan baik-baik saja. Lah wong tadi siang saja tidur sambil menangis e..." ucap Permana dengan logat kedaerahannya.
"Pasti mbok Parni yang memberitahu. Ah, pengaduan dia mah orangnya" ucap Arumi dengan nada manja. Permana terkekeh melihat ekspresi kesal di wajah putri semata wayangnya itu.
"Aku tahu putri ku sedang tidak baik-baik saja. Semoga perjodohan mu dengan Mirza akan menjadikanmu lebih kuat dan berani..." batin Permana.
🌸🌸🌸🌸🌸
Pukul enam lewat empat puluh lima menit. Arumi berdiri di depan cermin. Matanya menatap pantulan bayang dirinya dalam cermin.
"Hanya dua kekurangan mu, Arumi. Yakni tinggi badan yang hanya 150 cm dan berat badan yang mencapai 70 kg. Selebihnya kau tidak berkekurangan".
"Apa kini kedua hal tersebut menjadi masalah bagi mu?"
"Em, Em..." gumam Arumi cepat sambil menggelengkan kepalanya. Ada senyum yang terbit dari sudut bibirnya.
"Yes, I'am short---Ya, aku pendek. Tapi aku tidak akan pernah terintimidasi lagi hanya karena kalian lebih tinggi dari ku".
"Yes, I'am fat---Ya, aku gemuk. Tapi aku tidak akan menyerahkan harga diriku hanya karena sebuah penilaian dimana timbangan berat badan lebih relevan dibanding timbangan amal kebaikan"
"It doesn’t matter what your height is, it’s what’s in your heart. — Tidak masalah berapa tinggimu, yang penting adalah apa yang ada di hatimu"
Perbincangan dengan diri sendiri pun berakhir ketika terdengar suara ketukan pada pintu.
Tok.
Tok.
Tok.
"Mbak ditunggu bapak di mobil..." ucap mbok Parni.
"Ya, mbok. Sebentar lagi..."
"Kau harus kuat dan berani, Arumi. Semangat...!" ucap Arumi sambil mengepalkan tangannya dan tersenyum pada pantulan tubuhnya dalam cermin.
Tak lama kemudian, Arumi menuruni anak tangga dengan setengah berlari.
Hos.
Hos.
Hos.
Melihat anak perempuan nya terengah-engah, Permana tersenyum. "Berapa putaran, Ndok...?" candanya. "Ah, ayah..." ucap Arumi sambil menghempaskan tubuhnya dalam mobil tepat di sebelah Permana.
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Lajunya menyusuri jalanan yang tampak ramai. Arumi menjura. Matanya menatap langit yang tampak bersih lewat jendela. Di ujung tatapannya jelas menyiratkan semangat yang membara hari ini.
"Semangat Arumi...!" batin Arumi yang selalu menyemangati. Hari ini Arumi telah menjadi Arumi yang berbeda.
Hingga di dipersimpangan jalan. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Arumi tertegun. Matanya tak berkedip menatap sosok laki-laki dalam mobil sport silver yang baru saja berhenti tepat di sebelahnya. Dengan kaca mobil yang terbuka, jelas sekali terlihat siapa pengemudinya. Seorang laki-laki berwajah tampan dengan kacamata hitam yang bertengger menghiasi wajahnya. Sebelah tangannya menyandar pada bibir jendela. Lengan baju di gulung hingga siku. Wajahnya begitu fokus menghadap ke depan. Hingga ia tak menyadari ada yang memperhatikannya.
"Em, pagi-pagi sudah diberi vitamin seperti ini. Auto semangat aku menjalani hari. Hehee..." batin Arumi. Wajahnya sumringah dengan senyum yang terkulum.
"Mirza tampan ya..."
"Uu...banget. Eh, ayah..."
Memerah wajah Arumi saat kalimat persetujuan terlontar dari bibirnya. Arumi pun langsung bergelayut pada lengan Permana sambil menahan malunya.
"Memuji itu hal yang wajar. Apalagi kalian akan segera bertunangan..."
"Tunangan...?"
"Kenapa? Tidak mau...?"
"Bu-bukan begitu. Tapi sepertinya masih butuh waktu dech. Jangan terburu-buru, Ayah..."
"Ayah tahu kau belumlah sepercaya diri itu. Hah...jika kau butuh waktu untuk itu, maka ayah akan memberikannya. Ayah ingin kau benar-benar siap, Ndok..." batin Permana. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Arumi.
"Maafkan aku, ayah. Jika nanti aku tidak berhasil membuat pak Mirza jatuh cinta kepadaku..." batin Arumi.
🌸🌸🌸🌸🌸
Langkah Arumi begitu cepat memasuki halaman gedung perkuliahan.
"Ah, masih ada waktu empat puluh lima menit lagi. Sebaiknya aku ke perpustakaan saja. Daripada ngobrol ga puguh..." batin Arumi.
Kakinua langsung memutar arah langkahnya. Kali ini menuju perpustakaan.
Sambil membetulkan letak kacamatanya, Arumi terus memacu kembali langkahnya. Sejenak Arumi berbaur dalam kerumunan mahasiswi yang tengah berbincang. Sedikit tawa pun mulai terdengar di sela perbincangan sesaat itu.
"Arumi agak berbeda ya hari ini. Apa dia salah makan...?"
"Hus...ngawur. Mungkin memang sudah saatnya ia berubah"
"Power Ranger kali berubah..."
Ggrrrr....
Tawa mahasiswi mengiringi langkah Arumi yang sudah separuh jalan menuju perpustakaan.
Sesampainya di perpustakaan, mata Arumi mengitari seisi ruangan yang masih tampak lengang. Hati Arumi menuntun langkahnya pada deretan buku tebal di ujung lorong setelah melihat katalog sebelumnya.
"Ah, ada di baris atas lagi. Mana aku sampai..." keluh Arumi lirih dengan wajah lesu.
"Ah, ku coba saja mengambilnya. Siapa tahu berhasil kuraih..." batin Arumi.
Arumi berdiri berjinjit berusaha menggapai buku yang dimaksud. Sesekali ia pun melompat. Namun sayang, usaha Arumi tak membuahkan hasil. Lelah mencoba, akhirnya Arumi menghentikan usahanya tersebut. Arumi memutar tubuhnya dengan lesu. Arumi memutuskan berlalu dan mencari buku lain.
Namun belum sempurna tubuhnya memutar, Arumi dikejutkan dengan kehadiran seseorang di dekatnya. Saking dekatnya hingga ujung hidung Arumi menyentuh dada laki-laki tersebut. Seketika aroma maskulin menyeruak menggelitik indera penciuman Arumi. Sejenak matanya terpejam, merasai aroma yang menggoda itu.
KTak....
"Aw...!" ucap Arumi setengah teriak ketika jari laki-laki itu mampir di keningnya. Namun tak kalah yang membuat Arumi terkejut adalah saat mengetahui pemilik tubuh jangkung nan tegap itu.
"Pak Mirza...!" ucap Arumi yang cepat membekap mulutnya. Ia khawatir suaranya dapat mengganggu penghuni perpustakaan saat ini.
"Nih..." ucap Mirza sambil menyodorkan buku yang baru diambilnya.
"Makanya tinggi..." ucapnya lagi sambil berlalu dan meninggalkan Arumi yang berdiri mematung.
"Tuh orang apa jelmaan malaikat? Ganteng banget..." batin Arumi sambil mengulum senyum.
Tak lama kemudian, Arumi pun kembali menuju gedung perkuliahan. Langkahnya santai saja.
"Hei, Bul...Dari perpustakaan?" ucap Bima yang tiba-tiba saja sudah mensejajari langkah Arumi. Sebelah lengannya diletakkan pada pucuk kepala Arumi. Geram Arumi diperlakukan demikian. Tangannya berusaha melepaskan lengan Bima yang dengan santainya bergelayut di pucuk kepalanya.
"Ini ada orang nya, loh..."
"O...ada orang toh. Kirain tonggak" ucap Bima sambil terkekeh.
Geram diperlakukan demikian, Arumi pun bermaksud mengeluarkan jurusnya. Arumi menghentikan langkahnya.
"Lepaskan..." ucap Arumi datar.
"Kalau tidak mau, bagaimana...?"
"Yakin tidak mau...?"
"Ya..."
Buk.
Buk.
Arumi menyarangkan sikunya pada perut Bima. Tak seperti biasanya, kali ini Arumi menggunakan sepenuh tenaganya. Tak ayal lagi pukulan telak itu membuat laki-laki bertubuh tegap itu meringis. Matanya memutar sekitar. Menatap wajah-wajah yang tengah menatap ke arahnya penuh intimidasi. Karena mendapat perlakuan itu, gelayutan tangan Bima pada pucuk kepala Arumi pun terlepas.
Merah padam wajah Bima karena perlakuan Arumi tersebut. Tapi bukan takut, Arumi justru menatap menantang. Ini sungguh di luar kebiasaan Arumi dan sudah menjadi tekad bahwa ia harus berubah. Ia harus menghargai dirinya sendiri apa adanya.
"Kau...!" ucap Bima dengan wajah membara.
"Aku bukan Arumi yang kemarin. Arumi yang kemarin sudah tiada. Kini kau berhadapan dengan Arumi yang baru. Sekali saja kau mengganggu atau merendahkan ku, maka jangan salahkan aku jika kau akan menanggung malu lebih dari tadi.." ucap Arumi dengan tatapan membara.
"Kau...!" ucap Bima sambil mengangkat tangannya ke arah Arumi. Beruntung sebuah lengan besar menahannya.
"Cukup... Kampus bukan tempat melampiaskan kekerasan" ucap pemilik lengan yang tak lain adalah Mirza. Wajahnya begitu dingin dengan tatapan begitu tajam bak singa mengintai mangsa.
"Pergilah..." ucap Mirza.
Mendengar kalimat perintah itu Bima bak tersihir. Ia pun segera berlalu meninggalkan kerumunan yang ada.
"Ikut..." ucap Mirza kepada Arumi.
Tanpa ba-bi-bu, Arumi pun mengekori langkah Mirza hingga di sebuah taman kampus. Keduanya duduk berhadapan.
"Ada apa dengan mu? Mau membuat keributan di kampus?"
"Saya hanya membela diri, Pak. Saya ingin dihargai. Sudah lama saya membiarkan diri saya dihina. Hari ini saya mencukupkannya sampai disini"
"Tapi cara mu bisa membuat diri mu justru dalam bahaya"
"Terima kasih atas perhatian, bapak. Tapi itu menjadi urusan saya, bukan bapak"
"Kau...!"
Mirza berang saat dirinya ditinggalkan Arumi begitu saja.
"Berani sekali dia berlaku demikian kepada ku. Memang siapa dia...?" batin Mirza.
Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal menahan amarah..
🌸🌸🌸🌸🌸
"Vanya? Bukankah itu Vanya...." gumam Arumi saat matanya menangkap kelebat bayang gadis cantik. Langkah Arumi pun semakin cepat mengikuti kelebat bayang tersebut.
Hos.
Hos.
Hos.
Arumi berhenti sejenak. Ia mengatur nafasnya yang terasa sudah berat.
"Arumi....!
Mendengar namanya disebut, Arumi langsung mengarahkan tatapannya ke sumber suara. seorang gadis cantik tengah berdiri beberapa langkah dari tempatnya berada. Gadis itu menatapnya dengan senyum khasnya. Arumi membulatkan matanya seakan tak percaya dengan tangkapan kornea matanya.
"Arumi...!" panggilnya lagi.
Kali ini Arumi tersadar. Gadis yang dikejarnya tadi benar, dia adalah Vanya.
"Vanya...!" panggil Arumi.
Keduanya berlari, bak adegan di film India. sayangnya tidak ada musik yang mengiringi atau gelayutan pada pohon. Hehehe....
kedua sahabat itu saling menyebutkan nama lagi. Setelah itu keduanya larut dalam pelukan dan tangis haru. Setelah sekian lama tak bertemu tentulah kedua sahabat itu menyimpan rindu dan juga segudang cerita.
"Ada apa kau di kampus ini?" ucap Arumi saat keduanya telah duduk pada kursi taman.
"Ayahku kembali di tugaskan di kota ini. Dan aku memilih mengikutinya. Sebab aku teringat dirimu..."
"O...co cuwit...."
Keduanya tertawa dan berangkulan kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Siti Zulaikah
seru
2024-10-13
0