"Kenapa bos...?" tanya Elvano pada Pradipta--sekretaris Mirza saat melihat Bos kakunya itu masuk ruangan dengan wajah kelabu. Pradipta pun tanpa kata. Ia hanya mengendikkan bahu sesaat sebagai jawaban atas pertanyaan Elvano.
Elvano pun langsung mengekori Mirza yang sudah masuk lebih dahulu dalam ruangannya. Elvano memilih duduk pada sofa sambil memperhatikan polah bos sekaligus sahabatnya itu.
Brukk...!
Mirza melempar berkas dan tas yang dibawa ke atas meja kerjanya. Ia begitu kesal. Saking kesalnya, Mirza melempar sembarang gelas berisi air mineral hingga pecah berantakan. Suasana pun menjadi gaduh sesaat. Mirza benar-benar tengah kalut pagi ini. Amarahnya begitu meluap-luap tak terkendali.
Melihat itu, Elvano diam. Ia hanya menaikkan kedua alisnya. Ia tahu betul jika saat ini Mirza tengah diamuk amarah. Tanpa mengetahui penyebabnya, Elvano enggan berkomentar karen ia tahu bagaimana tabiat laki-laki tampan pemilik MA Group yang disemati pengusaha sukses nomor satu di Indonesia itu.
Mirza mendengus keras. Kemudian matanya menatap Elvano yang sejak tadi menunggu penjelasannya.
"Kau tahu, El..."
"Enggak..."
Mendengar jawaban itu, Elvano dihadiahi lemparan bantal oleh Mirza. Dan tanpa bisa mengelak, Elvano pun pasrah terkena lemparan tersebut.
"Kau dengarkan aku dulu...! Dasar kutu kupret..." ucap Mirza dengan suara meninggi.
"Oke...Oke. Aku kira kau bertanya jadi langsung ku jawab. Karena memang aku tidak tahu" ucap Elvano sambil terkekeh.
"Kau ingat mahasiswi ku, yang bertubuh pendek? Gembul? Yang membuat sketsa wajahku?"
"Ya, aku ingat. Arumi namanya. Kalau tidak salah..."
"Semalam aku ke rumahnya..."
"What...! Dalam rangka apa? Apa sahabatku ini sudah berubah selera? Atau kehabisan stock gadis sehingga Arumi pun di embat..."
"Sialan kau..! Aku masih waras, kutu kupret..."
"Lalu apa urusan mu kesana?"
"Ternyata dia itu anak sahabat mama dan papa sejak SMA.."
"Wow...luar biasa. Kebetulan sekali..."
"Ya, kebetulan sekali. Karena si gembul itu yang...." ucap Mirza terhenti. Ia menatap Elvano. Ia yakin sahabatnya itu pasti akan menertawakannya. Mata Mirza menatap Elvano yang sudah memasang mode wajah menunggu kalimat yang sempat terhenti dari sahabatnya itu.
"Em, mama dan papa sepakat menjodohkan kami.."
"What...! Kau dan Arumi? Bhuahaha...."
Pecah tawa Elvano yang membuat Mirza tak enak perasaan. Wajah Mirza merah padam menahan amuknya.
"Sorry...sorry, Bos. Aku hanya merasa lucu. Beberapa pekan lalu, bos mengatai ku jatuh hati padanya. Tapi nyatanya bos yang justru dijodohkan dengan nya..." ucap Elvano sambil menahan tawa.
"Tapi aku menolaknya secara halus..."
"Maksud bos, gimana?"
"Ini..." ucap Mirza sambil meletakkan selembar kertas semacam perjanjian yang sudah dibubuhi tanda tangan Mirza dan Arumi. Elvano langsung meraih kertas tersebut dan membacanya dengan teliti. Matanya membulat sempurna setiap membaca tiap kata yang tertulis, point demi point.
"Busyeet..... Biadab sekali kau, Bro" ucap Elvano sambil meletakkan kembali kertas tersebut.
"Cuma Andrea yang cintai, El. Cuma dia..."
"Bagaimana jika ia berhasil melewati tantangan dan berhasil membuatmu jatuh cinta kepadanya bahkan sebelum waktu enam bulan?" ucap Elvano sambil menatap lekat sahabatnya itu. Di ujung tatapannya ada tanya yang jawabannya sedang ia cari pada diri laki-laki tampan, pengusaha muda sukses nomor satu di Indonesia itu.
"Andrea sudah cukup bagi ku. Karena cinta ku hanya miliknya. Dan dapat ku pastikan si pendek..em, si gembul atau siapa pun dia itu tak kan pernah berhasil membuatku jatuh cinta kepadanya" ucap Mirza sambil menatapi layar ponselnya yang baru saja berpendar.
"Baiklah jika kau seyakin itu. Em, lalu kenapa kau uring-uringan pagi ini? Seperti anak gadis yang kehilangan pakaian dalamnya saja"
"Sial...emang eyke cowok apaan"
"Bhuahaha....." tawa keduanya pecah mengisi ruangan pagi ini.
"Pagi tadi mama meminta aku berkencan dengan si gembul..."
"Empth... bhuahaha..." lagi-lagi Elvano terbahak hebat. Dan lagi-lagi Mirza menghadiahinya lemparan bantal.
"Tapi aku sudah memiliki solusinya"
"Pasti menghindarinya..."
Mirza tersenyum kaku.
"El, tolong kirim lima puluh juta ke rekening Andrea. Ia sedang berlibur di Jepang. Dan ada barang yang ingin ia beli..."
"What...! baru dua hari lalu dia minta lima puluh juta. Sekarang minta lagi. Emang kau pabrik duit apa"
"Sudahlah...berikan saja. Sebentar lagi juga dia jadi istriku. Jadi wajar jika aku memanjakannya"
"Kau yakin jika..." ucap Elvano terhenti saat Mirza memasang wajah dengan tatapan seakan hendak pergi berperang.
Elvano diam. Dia tahu betul tabiat sahabatnya itu jika sudah mencintai dan merasa memiliki maka semua akan ia berikan. Tapi ini sudah menjadi sebuah kegilaan. "Oke deh. Aku transfer sekarang..." ucap Elvano sambil berlalu.
"Oya, satu lagi..." ucap Mirza yang berhasil menghentikan langkah Elvano dan langsung memutar kembali tubuhnya.
"Tolong kau amati gerak-gerik si pendek, si gembul itu. Kau kirim saja Darius atau Praja" ucap Mirza sambil duduk pada kursi kebesarannya.
"Ok, Bos..."
🌸🌸🌸🌸🌸
Sementara itu di tempat berbeda di waktu yang sama. Arumi tengah berada di meja makan. Dari ekspresi yang tampak, jelas sekali Arumi tengah mengalami sindrome tak nafsu makan. Sebab sedari tadi tangannya hanya mengaduk-aduk menu sarapannya tanpa menyuapkannya dalam mulutnya.
"Kok cuma diaduk-aduk? Kapan makannya...?" tanya mbok Parni yang baru saja menghampirinya.
"Tidak lapar, Mbok..." ucap Arumi sambil mendorong piringnya menjauh.
"Nanti sakit loh, mbak. Ayo dimakan" bujuk mbok Parni yang langsung di jawab gelengan kepala oleh Arumi.
"Tidak, Mbok..."
Arumi sambil berlalu. Ia menyusuri anak tangga yang tampak mengular. Namun bukan pada kamar pribadinya ia akan menenggelamkan segala rasa yang tengah ia rasakan saat ini. Melainkan pada sebuah ruangan berukuran 5x5 m lah kakinya melangkah.
Kreeek...
Derit pintu terdengar ketika daun pintu berukir itu terbuka. Arumi melangkahkan kaki dengan gontai. Wajahnya sedikit mendung. Terlebih sejak kunjungan keluarga William, sahabat ayahnya semalam.
Sejenak matanya mengitari setiap inci ruangan yang dipenuhi lukisan hasil karya ibunya itu. Ia makin terdiam saat tatapannya berpadu pada sebuah lukisan terakhir yang ibunya buat. Sebuah lukisan dengan seorang anak perempuan yang duduk pada ayunan. Di tangannya tergenggam sebuah permen besar rainbow. Melihat itu terbitlah senyum di sudut bibirnya. Hatinya mulai beriak.
"Bu, apa yang harus Arumi lakukan untuk membuat pak Mirza mencintaiku? Arumi memang mencintainya, tapi mampukah Arumi memenuhi tantangannya? Waktunya begitu singkat, Bu. Arumi yakin, itu hanya akal-akalannya saja untuk menggagalkan rencana perjodohan itu. Arumi juga sadar diri tidak mungkin dia mencintai Arumi dengan segala kekurangan Arumi. Arumi harus bagaimana, Bu..." batin Arumi.
Tanpa sadar Arumi terbawa ke dalam alam bawah sadar saat matanya terpejam.
"Siapa itu...?" ucap Arumi saat melihat sosok perempuan yang tengah duduk membelakanginya. Tangannya tengah asyik membuat goresan pada kanvas di hadapannya. Dari bentuk dan ciri tubuhnya, Arumi tahu betul siapa perempuan itu. Ya, dia tak lain adalah sosok ibunya.
"Ibu..." panggil Arumi. Langkahnya menjadi cepat saat perempuan yang ia panggil dengan ibu memutar tubuh sambil mengurai senyum. Terisak Arumi dalam pangkuan perempuan itu. Ia berkeluh kesah atas segala rasa yang sudah begitu menghimpit jiwanya.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap perempuan itu yang dipanggil Arumi sebagai ibu yang juga sejak tadi selalu mengusap lembut punggung Arumi.
"Apa yang harus Arumi lakukan, Ibu...?" tanya Arumi sambil menatap wajah ibunya yang begitu cantik sempurna.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap perempuan itu mengulang kalimat sebelumya.
Kemudian perempuan itu mengecup lembut pucuk kepala Arumi sesaat sebelum ia berlalu menuju sebuah cahaya.
"Ibu, jangan pergi ibu. Arumi membutuhkan ibu. Arumi mohon ibu...!" ucap Arumi berurai air mata saat melihat kepergian sosok ibunya itu.
"Mbak Arumi...mbak, bangun. Mbak..." ucap mbok Parni sambil mengguncang tubuh Arumi yang dilihatnya tengah menangis dalam tidurnya.
Mendapat guncangan itu, Arumi pun terkesiap dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya berulangkali. Kemudian tanpa memperhatikan kehadiran mbok Parni, Arumi melangkah menuju sebuah kursi kayu. Matanya tak lepas pada kanvas dan cat yang ada di hadapannya kini. Bak tersihir, Arumi memulai goresannya pada kanvas.
Hampir satu jam Arumi berkutat dengan cat dan kanvas hingga menghasilkan sebuah lukisan. Arumi menghela nafas. Matanya menatap sendu lukisan yang baru saja ia buat.
Seorang perempuan yang tengah duduk membelakangi dengan kuas di tangannya. Sebelah tangannya memegangi kanvas yang berwarna putih. Perempuan itu tengah melukis. Persisi seperti yang ada dalam mimpinya. Tak lupa Arumi pun menuliskan kata-kata yang diucapkan perempuan itu. Kata-kata yang hingga kini masih terngiang jelas di telinganya.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap Arumi mengulangi kata-kata perempuan itu yang dipanggilnya sebagai ibu.
Hatinya mendadak gerimis. Fikirannya menguat mencoba memaknai kata-kata yang kini telah ia tulis pada lukisannya. Lama ia termenung. Bibirnya berulangkali mengulang kata-kata tersebut.
Mendadak terbitlah senyum dari sudut bibirnya. "Arumi mengerti, Bu. Sekarang Arumi tahu apa yang harus Arumi lakukan. Terima kasih..." ucapnya lirih.
"Pertama Arumi harus berani menerima kekurangan Arumi. Tinggi tubuh sudah tidak dapat ditambah karena usia sudah mencapai delapan belas tahun. Ya, Bu...Arumi menerima itu. Kedua Arumi harus kuat menerima kenyataan. Olokan hanya bagian dari ujian hidup sebab semua tiada yang sempurna. Ketiga Arumi harus berani menjalani hidup. Karena hidup milik yang Maha Hidup. Matahari akan selalu terbenam disore hari, tapi yakin saja bahwa esok hari matahari akan kembali terbit. Hari ini hujan, tapi beberapa waktu kemudian hujan akan berlalu. Keempat Arumi jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan. Mengambil keputusan terbaik setelah ditimbang adalah sebuah kebijakan. Tujuan terdekat saat ini adalah membuat pak Mirza jatuh cinta. Maka aku harus fokus pada tujuan ku yang satu ini. Em, kurasa menjadi cantik adalah sebuah pilihan untuk mewujudkan tujuanku. Terima kasih ibu. Arumi akan berjuang untuk mencapai setiap tujuan hidup Arumi. Semangat...!" batin Arumi penuh bara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Jepri Sal
semangat
2022-10-18
2