Arumi menghempaskan tubuh pada kasur yang sejak tadi serasa memanggilnya. Sejenak Ia benamkan wajah pada kasur nan empuk itu dan menutup kedua telinga dengan bantal saat bermacam kata olokan seakan kembali menyasar dalam kedua telinganya. Terlebih saat insiden sketsa wajah kembali menari dalam ingatannya.
"Arumi..." ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah Permana--ayah Arumi. Mendengar derit pintu yang terbuka bergegas Arumi menyusut air mata yang sejak tadi terjun bebas. "Ada apa, Ndok...?" tanya Permana. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Arumi.
"Ayah tahu bagaimana perasaanmu, Ndok. Maafkan ayah begitu terlambat menyadarinya. Maafkan ayah..." batin Permana. Laki-laki paruh baya itu begitu menyesali tindakannya beberapa tahun yang lalu.
"Ayah..." ucap Arumi yang langsung menghambur memeluknya. Tangis Arumi kembali pecah dalam dekapan Permana.
"Ada apa, Ndok...?" tanya Permana lagi. Bukan sekali, bahkan berulangkali. Namun tiada kata yang mampu Arumi ucap sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
Permana menghela nafas dengan berat. "Ndok...manusia tidak ada yang sempurna. Semua pasti mempunyai kekurangan. Dan yakin saja, apa yang sedang kau jalani saat ini adalah bagian hidup untuk cerita indah esok hari. Ayah yakin itu..." ucap Permana akhirnya dengan bijak sambil terus mengusap pucuk kepala Arumi.
"Ayah tidak mengerti bagaimana perasaan ini...?" ucap Arumi di sela tangisnya. Mendengar ucapan putri semata wayangnya itu, Permana tak dapat berkata-kata lagi. Kini ia larut dalam perasaan Arumi. Di dekapnya Arumi dengan erat dan diusapnya punggung gadis bertubuh tambun itu.
"Ndok...yakin saja. Setiap manusia lahir dengan membawa kelebihan seperti yang sudah digariskan Tuhan" ucap Permana sendu mengakhiri diamnya.
"Tapi Arumi tidak tahu apa kelebihan Arumi...?!" ucap Arumi setengah teriak dengan suara parau.
"karena Arumi terlalu sibuk dengan kekurangan Arumi"
Deg.
Arumi terdiam. Kata-kata Permana barusan berhasil menohok hatinya. Sebagian hatinya benar-benar membenarkan setiap ucapan Permana. Dan sebagian lagi bak mencibir karena ia tahu bagaimana rasanya berada pada situasi dimana timbangan berat badan dianggap lebih relevan dibanding timbangan amal kebaikan. Tinggi tubuh lebih utama dibanding harga diri.
Tampak Permana menghela nafas lagi. Kali ini kedua tangannya menegakkan bahu Arumi. Matanya yang basah menatap Arumi lekat jauh kedalam hati.
"Ayah tahu bagaimana perasaanmu, Arumi. Kenapa? Karena aku ayahmu. Dan semua itu terjadi karena ayah. Tapi ayah berjanji akan menebusnya. Ayah akan membuatmu bahagia..." batin Permana.
"Setelah sekian lama aku baru mendapatkan kasih sayang ayah, maka apa pun akan kulakukan demi membuat ayah bahagia. Arumi janji, Yah. Arumi akan menjadi gadis yang kuat..." batin Arumi.
"Arumi percaya pada ayah...?" tanya Permana dengan terus menatap wajah putrinya yang telah basah air mata itu. Arumi mengangguk lemah.
"Itu sudah cukup bagi ayah. Yang pasti ayah yakin, Arumi akan bahagia suatu hari nanti" ucap Permana kemudian sambil mengecup pucuk kepala Arumi dengan lembut.
"Sekarang lihat yang ayah bawa..." ucap Permana sambil mengusap air mata Arumi. Tangannya kemudian menyodorkan sebuah paper bag berwarna biru. Aruni menatap wajah Permana dan isi paper bag bergantian.
"Sahabat ayah akan berkunjung. Anak ayah pakai ini, ya..." ucap Permana sambil mencolek dagu putrinya yang masih terdiam itu.
🌸🌸🌸🌸🌸
Senja sudah menjemput. Langit pun sebagian tertutup lembayung. Warnanya yang kemerahan begitu menenangkan. Arumi tengah bersiap. Ia tengah mematut diri di depan cermin setelah sebelumnya menyelesaikan ibadah sholat maghrib.
Blouse biru dengan motif bunga kecil-kecil di bagian bawahnya ia padu dengan celana berwarna gelap. Sementara rambutnya ia ikat sembarang begitu saja.
Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Sebuah mobil mewah keluaran terbaru terlihat parkir di halaman rumah. "Permana..." ucap laki-laki tersebut sambil menjabat dan memeluk Permana.
"William..." ucap Permana sumringah membalas pelukan laki-laki yang dipanggilnya William itu. Kemudian berlanjut menjabat tangan perempuan di sebelah William. Tampak ketiganyaa begitu akrab.
Berada pada situasi tersebut, Arumi mendadak rikuh. Ia mulai menyimpan tatapannya pada ujung kaki. Sementara tangannya tak henti-henti membetulkan letak kacamatanya.
"Ini anakku, Arumi..." ucap Permana yang berhasil mengalihkan perhatian keduanya kepada Arumi.
"Arumi...ini Om Willian dan Tante Dania" ucap Permana yang semakin membuat Arumi kikuk. Pun demikian, Arumi tetap meraih dan mengecup punggung tangan keduanya dengan takzim sambil menyebut nama.
"Arumi..." begitu ucapnya.
"Wah... sopan ya, Pa?..." puji Dania.
"Ya, sekarang sudah jarang anak muda yang mau mencium tangan seperti ini. Kamu hebat Permana, bisa mendidiknya" ucap William.
"Ah, bisa saja. Jika aku hebat, lalu kalian apa? Super hebat toh..." ucap Permana sambil tertawa. Pun demikian dengan kedua sahabat Permana yang super tajir itu.
Di tengah keramahan itu, sejenak mata Permana seakan tengah mencari sesuatu. Bola matanya melirik kesana-kemari. Sadar dengan tingkah Permana, William menepuk bahu Permana.
"Anak kami ada di mobil. Sebentar lagi juga bergabung bersama kita. Maklum saja. Biar sudah malam pun pekerjaannya tak selesai juga" ucap William tersenyum bangga disusul decak kagum Permana.
"Nah itu dia..." ucap Dania saat seorang laki-laki keluar dari dalam mobil sambil terus melakukan percakapan melalui ponselnya hingga berdiri dekat William. "Ini Mirza, putra semata wayang kami..." ucap Dania sambil mengusap lengan anak laki-laki nya itu.
Arumi yang mendengar sebuah nama disebut, sontak mengangkat wajahnya.
"Pak Mirza..." ucap Arumi. Tak dapat dipungkiri lagi jika Arumi dipenuhi rasa terkejut hingga degup jantungnya tak dapat ia ajak damai.
"Kamu..." ucap Mirza saat sadar namanya disebut dengan nada tak biasa.
"Astaga kenapa manusia kulkas ini yang nongol? Aduh, mau ditaruh dimana muka ini. Semoga saja pak Mirza tidak menyinggung soal insiden mobil saat itu. Terlebih tentang sketsa wajah itu. Em, semoga saja..." batin Arumi.
"Ini gadis gembul ternyata anak sahabat papa dan mama. Astaga...rasanya aku ingin lari saja dari tempat ini. Ah, sial. Mengapa mama dan papa begitu ngotot menjodohkan ku dengan gadis seperti ini. Apa sudah tidak ada stock gadis lagi di dunia ini. Mau ditaruh dimana nieh muka jika para relasi ku melihatnya. Ah, sial..." batin Mirza.
"Mirza, ini om Permana. Sahabat papa dan mama sejak masih di SMA" ucap Dania sambil mengulum senyum.
"Mirza..." ucap William sambil menepuk bahu Mirza. Dan hal tersebut nyaris membuat Mirza tergagap dari lamunannya.
"Ma-malam, Om " ucap Mirza menyambut jabatan tangan Permana.
"Ini Arumi. Anak Om satu-satunya. Sepertinya kalian sudah saling kenal..." ucap Permana sambil mengulum senyum saat bertemu mata dengan William dan Dania.
Deg.
Jantung Arumi berdenyut saat tatapan Mirza beralih padanya.
"I-iya, Om. Kebetulan Arumi salah satu mahasiswa saya di kampus XYZ" ucap Mirza dengan wajah datarnya. Hanya ujung bibirnya saja yang memberi senyum. Mungkin sebagai tanda penghargaan kepada Permana.
"Wah, baguslah jika demikian..." ucap William sambil mengikuti langkah Permana memasuki rumah.
Deg.
Deg.
Deg.
"Ah, sial...Mengapa mataku tak dapat lepas dari nya. Desiran aneh itu pun semakin menjalari seluruh tubuhku. Dan jantung ini pun semakin berdegup tak menentu. Terlebih saat ia menatapku dari ujung kaki hingga kepala" batin Arumi.
Walau sedikit gagu, Arumi berhasil mengumpulkan keberaniannya. Arumi pun kembali mengangkat kepalanya. Arumi tertegun.
"Astaga, tinggi sekali nieh manusia kulkas. Aku saja sampai mendongak untuk menatap wajahnya. Wah..." batin Arumi.
"Sial...berani sekali ia menatapku dengan mata empatnya itu. Jadi ternoda ketampaannku ini. Duh, Andrea sayang. Mengapa kau dibandingkan dengan gadis stock terakhir begini?" batin Mirza.
Perang batin antara Arumi dan Mirza berlangsung hingga di meja makan. Keduanya lebih banyak diam, asyik dengan fikiran masing-masing hingga makan malam berakhir.
Pukul delapan lewat sepuluh menit. Obrolan ketiga sahabat pun terus berlanjut. Membuat Arumi dan Mirza yang sejak tadi berkutat dengan ponselnya mulai merasa jenuh.
"Arumi, ajak Mirza ke taman. Di sana kalian bisa berbincang banyak. Mungkin ada banyak hal yang ingin dibicarakan" ucap Permana sedikit tawa yang langsung diamini Arumi dan Mirza yang nyatanya sudah merasa jenuh berada di tengah obrolan kedua orangtua mereka.
Keduanya pun tampak berjalan beriringan melewati halaman rumah dimana mobil mewah keluarga Williams terparkir. Dan sejenak Mirza menghampiri mobil tersebut. Ia mengambil sesuatu yang akhirnya ia sembunyikan dibalik bajunya.
Tak lama , tampak kembali keduanya tengah mengitari sebuah kolam untuk kemudian duduk pada kursi dengan meja bulat berwarna putih di tengahnya.
"Apa kau dan ayah mu yang merencanakan perjodohan ini?" tanya Mirza datar.
"Perjodohan...?"
"Ya. Per-jo-do-han..."
"Ar-Arumi tidak tahu, Pak. Su-sungguh..." ucap Arumi canggung.
"Aku yakin kau tidak keberatan atas perjodohan ini. Apa kau yang membuat ini?" ucap Mirza sambil menyodorkan lembar kertas yang jelas berisi sketsa wajahnya.
Blush....
Wajah Arumi merah padam bak kepiting direbus.
Deg.
Deg.
Deg.
Arumi terdiam. Sekuat tenaga ia berusaha setenang mungkin di tengah situasi yang Mirza ciptakan. Arumi mendamaikan degup jantungnya yang tengah berloncatan tak menentu.
"Kau yang membuatnya? Dan apa kau juga yang membuat tulisan di belakangnya?" ucap Mirza lagi. Spontan Arumi membalik kertas dan menatapi deretan huruf yang cukup panjang.
Arumi semakin menyimpan wajahnya. Ia menggigit bibirnya menahan desiran aneh yang bergejolak di dadanya. Karena ia tahu betul itu adalah benar tulisan tangannya.
"Aku tidak keberatan dengan ungkapan perasaanmu itu..."
"Egh..."
"Em, maksudku tidak keberatan karena itu adalah hak setiap orang. Aku minta kau tidak salah faham. Aku datang bukan berarti menyetujui perjodohan ini. Aku hanya ingin membuat bahagia mama dan papa" ucap Mirza tanpa ekspresi.
"Oya, tentu saja kau tidak akan menerima perjodohan ini. Karena aku bukan gadis yang kau impikan, bukan. Arumi-Arumi... sadarlah..." batin Arumi.
"Ketahuilah...sesungguhnya aku tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Dan aku amat mencintainya. Tapi entah mengapa mama dan papa tidak merestui hubungan kami tersebut"
Deg.
"Ow, ternyata manusia kulkas ini punya pacar juga. Ku kira tak ada gadis yang mau. Atau mungkin gadisnya pun sama seperti nya. Sama-sama manusia kulkas." batin Arumi.
"Kau mengerti maksud ku..." ucap Mirza datar.
Arumi terdiam. Ia tengah memaknai setiap kata yang sudah dilontarkan laki-laki yang masih bertahan duduk di sebelahnya itu. Laki-laki yang jika dilihat dari ekor matanya, tengah asyik menatap pendar cahaya pada air kolam yang tampak berkilauan. Dan Kilauan itu pun sesekali membias pada wajah tampan laki-laki yang diam-diam sudah ia cintai itu.
"Apa kau mengerti maksud ku..?!" ucap Mirza sekali lagi sedikit meninggi.
"Arumi mengerti. Bapak tidak menerima perjodohan ini, karena bapak sudah memiliki cinta untuk gadis lain. Jadi sebuah kemustahilan jika bapak mencintai saya. Itu kan maksud bapak...?" ucap Arumi menjabarkan ulang maksud Mirza berdasar pemahamannya.
"Good..." ucap Mirza sambil berdiri.
"Tapi aku ingin memberi mu kesempatan. Hitung-hitung memberi angin segar pada mama dan papa ku. Kau baca lembar kedua sketsa itu pada bagian belakangnya..." ucap Mirza lagi.
Kesepakatan perjodohan :
Buatlah aku jatuh cinta pada mu
Kesempatan mu enam bulan untuk
mewujudkan point (1)
Tidak boleh melarang jika aku bersama
gadis yang aku cintai
Tidak menuntut lebih atas kompensasi
selama mewujudkan point (1)
Tidak boleh baper
"Apa ini? Semacam perjanjian? Atau apa?Dasar manusia kulkas, kau ingin membuat kegilaan rupanya" batin Arumi.
"Apa maksudnya...?" tanya Arumi sambil melangkah panjang karena Mirza baru saja meninggalkannya.
"Aku menghargai keinginan mama dan papa ku. Dan aku tidak ingin membuat keduanya kecewa. Maka aku memberimu kesempatan seperti yang tertulis itu. Jika kau berhasil maka aku akan jadi budak cinta mu. Tapi jika tidak maka kau harus menyingkir dari jalan cintaku bersama gadis yang aku cintai. Bagaimana?" ucap Mirza sambil berdiri dan menatap Arumi.
Glekk...
Arumi kembali terpaksa menelan saliva kelatnya dengan berat. Arumi gamang. Ia tidak tahu harus berkata apa dalam situasinya saat ini.
"Tidak sanggup menerima tantangan ku? ya, baiklah. Aku akan mengatakan pada kedua orangtua kita, bahwa kau yang menolak perjodohan ini" ucap Mirza sambil berlalu.
Arumi kembali tertegun. Ada kegamangan yang menggelayuti ujung hatinya. Matanya menatap punggung Mirza yang hampir hilang di balik dinding ruangan dimana ketiga sahabat tengah berbincang.
"Jika pak Mirza menyampaikan bahwa aku yang menolak, bagaimana perasaan ayah di depan kedua sahabatnya itu. Hadeeuh...aku harus apa? Aku memang mencintainya tapi tak mungkin rasanya memilikinya mengingat ia sudah mencintai gadis lain..." batin Arumi.
"Mama, papa, dan om...maaf. Setelah berbincang sepertinya Arumi..."
"Tunggu..." ucap Arumi menghentikan kata yang bersiap meluncur dari bibir Mirza.
"Ikut aku...." ucap Arumi sambil menarik lengan Mirza yang manut saja diperlakukan demikian.
Tersenyum ketiga orang yang memang bermaksud menjodohkan Arumi dan Mirza. Ketiganya saling menatap saat melihat acara tarik menarik yang tengah terjadi.
"Ok. Aku setuju... Pena?" ucap Arumi yang langsung menandatangani lembar kertas putih berisi empat point yang sudah ia baca sebelumnya sesaat setelah ia menerima sebuah pena dari Mirza. Dan Mirza pun melakukan hal yang sama, yaitu menandatangi lembar tersebut.
"Maaf Arumi, jelas aku tidak dapat menerimamu. Tapi aku akan membuat situasi kaulah yang mundur teratur atas perjodohan ini, bukan aku. Karena dapat aku pastikan selama enam bulan kau tidak akan mendapat perhatianku sedikit pun, apalagi cinta ku" batin Mirza. Wajahnya menyiratkan sebuah kemenangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments