150 Cm
Arumi adalah putri tunggal Permana. Selama kurang lebih sepuluh tahun Arumi menjalani hidup tanpa kehadiran sosok seorang ibu. Sejak usia delapan tahun ibunya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dan untuk sampai pada situasi saat ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagi Arumi. Selain kesedihan yang mendera, Arumi pun mengalami banyak celaan berkenaan dengan pertumbuhan dan perkembangannya.
Arumi frustasi saat tinggi dan berat tubuhnya menjadi olokan. Yaa..di usianya yang genap delapan belas tahun, Arumi memiliki tinggi tubuh 150 cm dengan berat tubuh hampir menembus angka tujuh puluh kilogram. Belum lagi kacamata yang bertengger menemani hari-harinya.
"Hei semampai..." ucap seorang teman sembari duduk di atas motornya. "Apa tuh semampai...?" timpal seorang lagi. "Semeter tak sampai..." ucap mereka bersamaan dibarengi dengan kekeh yang cukup membuat merah padam wajah si empunya.
KTak...
"Aw..."
Arumi mengaduh saat jari telunjuk Bima mampir di keningnya . Hal tersebut berhasil membuat Arumi mengusap keningnya sambil meringis memperlihatkan gigi putihnya.
"Bul...Bul, Mbok ya kalau disapa itu jawab. Jangan malah ngelamun" ucap Bima lagi sambil berwajah kesal.
"Bulbul...? Siapa? Aku...?" tanya Arumi memasang wajah bingung.
"Ya, siapa lagi. Kan cuma ada kamu, Bul. Emang ada kucing di sini?" ucap Bima.
"Bulbul...? It-itu bukan nama ku..." ucap Arumi sambil memainkan ujung bajunya.
"Bulbul itu panggilan istimewa kami untuk kamu. Sebab Bulbul...sangat cocok dengan mu. Bulbul...gembul" ucap Bima terkekeh diikuti kedua teman lainnya.
Arumi manyun. Kakinya dihentak berulangkali sambil memasang wajah kesal.
"Wow...ada gempa" ucap Bima dan lainnya sambil berjalan terhuyung seakan hilang keseimbangan.
"Kalian...!" teriak Arumi. Kali ini wajahnya terpasang mode marah.
"Dasar cowok ga berahang. Ngomong ga pake saringan. Seenaknya saja mengataiku. Awas ya, nanti akan ku balas. Jika tidak dikehidupan ini, maka dikehidupan lainnya. Aku pastikan itu" batin Arumi.
Arumi hanya bisa menatap kepergian ketiga laki-laki itu dari hadapannya.
Belum tuntas kesalnya, kini Arya kembali menguras emosinya. Arya menarik paksa tas Arumi dan membongkarnya tanpa permisi.
"Apa yang kau lakukan...?!" ucap Arumi sambil berusaha mengambil kembali tas miliknya.
"Sebentar..." cegah Arya dengan sebelah tangannya sambil memutar sedikit tubuhnya.
"Dapat..." ucap Arya dengan wajah sumringah sembari menunjukkan sebuah buku dari dalam tas Arumi.
"Aku pinjam ya, Bul. Kau kan mahasiswi yang rajin mencatat" ucap Arya sambil melempar tas tepat mengenai wajah Arumi. Mengepal tangan Arumi menahan kesalnya.
"Dasar kutu kupret. Apa tidak bisa meminjam secara baik-baik. Bulbul...bulbul. Enak saja memanggilku seperti itu. Ah, sial...." batin Arumi.
Kemudian tangannya meraih beberapa perlengkapan yang berserakan dengan kesal dan memasukkannya kembali dalam tasnya. Begitu fokus, hingga Arumi tidak menyadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang mengamatinya.
"Diledekin lagi? Kenapa tidak melawan..." ucap seorang laki-laki. Arumi terdiam. Matanya langsung terkunci pada sosok yang baru saja mengubah tempat duduknya sehingga kini ia berada tak jauh dari Arumi. Mata laki-laki itu sesekali menatap Arumi yang masih tertegun. Sementara sebelah tangannya menjangkau sebuah buku yang masih tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk. Laki-laki itu pun menyodorkannya kepada Arumi.
"Te-terima kasih, Pak..."
"Duh...pak Elvano makin hari makin ganteng saja. Andai kan...Stop Arumi, jangan berkhayal macam-macam" batin Arumi sambil melihat Elvano dengan ekor matanya.
"Kamu harus balas sekali-kali Arumi" ucapnya kemudian. "Kalau saya mau, saya akan lakukan..." ucap Arumi datar. Entah darimana ia mendapat keberanian itu. Mungkin karena sikap humble Elvano yang membuat Arumi bak memiliki kekuatan untuk menyatakan pendapat.
"Kalau saya mau, saya akan lakukan. Apa maksud gadis ini..." batin Elvano.
"Lalu kenapa kau tidak mau melakukannya...?" ucap Elvano berharap mendapat jawaban yang akurat. "Karena Arumi tidak berani, Bapak..." ucap Arumi sedikit ketus.
"Astaga..." ucap Elvano sambil menepuk keningnya. Matanya menatap kepergian Arumi yang tergesa. Kepalanya menggeleng penuh heran.
Brukk...
Arumi menabrak tubuh seorang laki-laki yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Tubuh Arumi sedikit limbung. Beruntung ia mampu segera menyeimbangkan tubuhnya. "Ma-maaf..." ucap Arumi gagu tanpa melihat sosok yang telah ditabraknya. Arumi lebih asyik merapikan lembar kertas yang terburai dari dekapannya. Sementara si laki-laki hanya berdiri dan menatap sekilas Arumi. Kemudian melangkah beberapa langkah menuju Elvano, sahabat sekaligus asistennya.
"Astaga..." ucap Elvano lagi saat melihat peristiwa tersebut. Lagi-lagi tangannya menepuk keningnya sambil mengurai senyum.
"Kau jatuh hati...? Sepertinya kau perhatian sekali padanya?" ucap Mirza Adyatma--seorang pengusaha muda sukses nomor satu di Indonesia. Saat ini Mirza tengah menjadi dosen tamu untuk mata kuliah manajemen bisnis di kampus XYZ pada semester kedua ini.
"Jatuh hati...? Padanya?" ucap Elvano yang spontan menatap Mirza.
"Bhuahaha...." tawa Elvano membahana.
"Ah, pura-pura kau El..."
"Tidak. Aku hanya kasian padanya. Mahasiswi yang terbilang pandai, mendapat olokan hanya karena fisik yang tak sempurna..." ucap Elvano. Mirza mengerutkan kedua alisnya. Ia tengah mencerna perkataan Elvano--sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Lima belas menit lagi, perkuliahan jam kedua akan segera di mulai. Arumi melangkah dengan tergesa. Namun saat melewati kerumunan mahasiswa, Arumi menangkap beberapa pasang mata yang sesekali menatapnya lekat bergantian dengan papan pengumuman. Mereka pun terdengar kasak-kusuk seperti membicarakan sesuatau. Arumi menjadi penasaran. Kemudian Arumi menghampiri kerumunan dan berhasil menembusnya.
"What....!!
Arumi tertegun.
"Ap-apa ini..? ucap Arumi gagu. Matanya menatap kaku pada sebuah sketsa yang tertempel papan pengumuman. Sketsa yang amat ia kenal. Karena seratus persen ia ingat itu adalah hasil goresan tangannya. Sketsa yang menampilkan wajah Mirza Adyatma.
Yang membuat dada Arumi sesak adalah tulisan yang tertera sebagai penghantar sketsa.
"Si semampai alias si gembul sedang jatuh cinta..." baca Arumi. Dadanya bergemuruh hebat dan sepertinya tengah bersiap menjadi badai.
Jelas tulisan itu ditujukan padanya. Karena tiada lain lagi di kampus ini yang dianugerahi gelar se-nyentrik itu, semampai dan gembul selain dirinya. Hampir menitik air mata Arumi berada pada situasi tersebut.
Tak ingin berlama-lama, akhirnya Arumi memilih untuk meraih sketsa tersebut dan merobeknya kasar. Perbuatannya itu dibarengi dengan mahasiswa yang meng-hu serentak.
"Hah...si pungguk merindukan bulan" ucap Shereen di sela kekehnya yang terus mengisi gendang telinga Arumi.
Bhuahaha....
Tawa hampir seluruh mahasiswa yang ada. Mendengar itu, langkah Arumi menjadi panjang meninggalkan area gedung. Kedua matanya sudah menyimpan air mata dan sesaat lagi akan terjun bebas.
Seiring rasa pilu dan malu, langkah Arumi semakin tak terkendali hingga ia tak memperhatikan lajur jalan. Bahkan bayangannya sendiri pun tak ia pedulikan. Saat ini ia hanya ingin menghilang dari tatapan menyudutkan dari setiap pasang mata yang menatapnya.
Ciiiiiit....!
Suara mesin mobil mencicit. Suara cicitnya telah berhasil mencubit sisi jantung Arumi. Arumi menjadi ciut. Wajahnya pasi dengan degup jantung yang berkejaran tak menentu, bak genderang ditabuh bertalu. Bagaimana tidak, saat sebuah mobil berhenti mendadak dan hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari tempatnya berdiri. Arumi terpaku. Seluruh urat syarafnya menegang. Dan kemudian tubuhnya me-lesu, tiada energi lagi.
"Ya, Tuhan... Tolong aku" batin Arumi sambil berusaha mendamaikan degup jantungnya.
"Ini gadis pendek dan gembul sungguh keterlaluan. Seenaknya saja melintas tanpa memperhatikan jalan. Sial...!"
Tak lama pintu mobil terbuka. Seorang laki-laki berwajah tampan, bertubuh tinggi dan tegap keluar dari mobil sport berwarna silver. Sejenak ia melempar tatapan pada sekitar. Lalu melangkah mantap menghampiri Arumi. Mata Arumi terkunci pada sosok tampan itu. Jantung Arumi semakin berdegup hebat dan sepertinya sulit di damaikan jika terus-menerus berdekatan dengan si tampan itu.
"Aah..tampan sekali kau, Pak. Seandainya...Hus! banyak halu kau Arumi. Pikirkan nasib mi sekarang" batin Arumi.
Arumi tertunduk pasrah. Karena ia tahu ialah yang bersalah.
Glek...
Arumi terpaksa menelan saliva lekatnya, walau terasa sulit saat laki-laki tampan yang tak lain tak bukan adalah Mirza berdiri tepat dihadapannya dengan menghadiahi tatapan yang begitu mengintimidasi.
"Eegh...Dasar manusia kulkas. Marah saja tetap tanpa ekspresi-- begitu datar. Begitu dingin. Begitu semakin membuat degup jantung ini berlarian tak karuan" batin Arumi saat tatapan Mirza benar-benar mempengaruhi suasana hatinya.
KTak...
Jari telunjuk Mirza mendarat tepat pada kening Arumi sehingga gadis itu terhenyak dari lamunannya.
"Awa...!"
Tangan Arumi sontak memegang kening yang yang baru saja dihadiahi sentilan oleh Mirza.
"Sedang kebelet ya? Sampai-sampai jalan seperti milik sendiri" ucap Mirza yang terus menatap Arumi tanpa ekspresi berarti.
"Ah, kau tidak tahu jika ini semua bapak lah penyebabnya. Jika saja aku tidak membuat sketsa wajah bapak, jika saja lembaran kertas sketsa wajah bapak tak terjatuh, jika saja...jika saja...jika saja...Tentu hal memalukan ini tak kan pernah aku alami. Duh...aku malu sekali. Jika ada sumur jin sekali pun, aku akan tetap terjun sekedar untuk nersembunyi" batin kembali Arumi.
"Minggir. Aku mau lewat. Aku membutuhkan jalan ini untuk sampai ke kelasku" ucap Mirza. Lagi-lagi tanpa ekspresi bermakna. Arumi sempat bergidik mendapati situasi tersebut.
"Hii...! angkuh sekali. Dasar manusia kulkas..." Arumi membatin. Ada kesal yang menelusup dalam relung hati dan tak dapat terelakkan lagi.
Arumi pun akhirnya menepi. Memberi jalan pada sang dosen kulkas untuk berlalu bersama mobil mewahnya. Mata Arumi menatap gagu laki-laki tampan yang kini sudah kembali duduk di belakang kemudi.
"Fiuh...."
Arumi mendengus lega. Tangannya mengelus dadanya berulangkali. Sekali Arumi menjura saat mobil Mirza melewatinya sebagai permintaan maafnya.
"Haduh, beruntung si manusia kulkas tidak melakukan apa-apa. Tak terbayang jika ia mencak-mencak memarahi ku. Kan semakin malu..." batin Arumi.
Pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Arumi terisak dalam toilet. Ia menumpahkan segala sesal dan goretan luka dalam hatinya.
"Mengapa kau sebodoh ini. Mengapa kau harus membuat sketsa wajahnya. Dasar bodoh...kau Arumi. Kini hendak kau taruh dimana mukamu, jika hampir setiap orang mengetahui bahwa kau menyukai pak Mirza. Haduh, Apa kata pak Mirza. Bodoh kau Arumi..." batin Arumi yang kian tak menentu. Berulangkali tangannya mengusap kasar wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
玫瑰
kerana tajuk nya, aku singgah di sini. Dengan ketinggian 148cm, aku rasa tidak ada masalah dengan sekeliling cuma aku lebih kurus dan dikategorikan sebagai remaja walau umur ku 43 tahun..hahaha
2024-10-12
0
Lee
Hai kak..
My ice girl saranghae dan I Want a Baby mampir ya..
salam kenal..
2022-04-24
2
♋잋하그울💞
Aku mampir nih, nyicil satu dulu ya. Kata²nya udah bagus kok. semangat ya
2022-04-09
1