Sepanjang perjalanan menuju sekolah pikiran Tiara terus di bayang-bayangi perkataan Shasa. Ya, suara Shasa cukup keras, dia yang baru keluar kamar bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka. Tentang perjodohan dan seperti apa laki-laki yang akan menjadi pasangan Shasa. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Shasa benar benar menganggapnya benalu di keluarga mereka.
"Perjodohan." Kata itu langsung terngiang di kepala Tiara, kata yang paling tabu dalam hidupnya. Jangankan sampai pada sebuah tahap perjodohan, pacar ataupun rasa suka pada lawan jenis saja Tiara belum pernah merasakannya. Jika iya, bagaimana bisa dia menggantikan Shasa untuk melanjutkan perjodohan itu.
"Akh sudahlah jangan terus memikirkan itu."
Tiara kembali menenangkan pikiran nya. Toh setelah percakapan nya tadi di meja makan, pamannya tidak mengungkit-ungkit perkataan Shasa dan masalah perjodohan.
Mobil Arya berhenti. Karena terus melamun, Tiara sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Tiara!" Arya memanggil, Tiara yang awalnya mau membuka pintu mobil kini menghentikan pergerakannya.
"Iya, paman."
"Apa kamu benar benar mau membantu paman jika paman membutuhkan bantuan mu?"
Ya, akhirnya Arya bersuara. Perkataan Tiara saat sarapan tadi membuat Arya tahu kalau dia pasti mendengar jelas percakapan mereka. Semua sudah terlanjur. Walau tidak tega melibatkan Tiara. Tapi Arya akan lebih khawatir kalau istri dan putrinya akan lebih membenci Tiara jika dia tidak segera mengambil tindakan dan membereskan permasalahan keluarganya.
"Bicarakan saja paman. Apa yang bisa aku bantu?"
Walau masih di penuhi keraguan, Tiara akan berusaha sebisa mungkin untuk membalas kebaikan pamannya.
"Ini semua berawal saat dulu paman melawan Nenek mu. Kamu mungkin tidak ingat karena dulu saat paman memutuskan untuk merantau ke kota kamu masih kecil sama seperti Shasa."
Arya mulai bicara, sebelum membicarakan perihal perjodohan, Tiara harus tahu dulu akar permasalahan ini seperti apa.
"Saat itu paman tidak mempunyai apa-apa, hanya bermodalkan uang yang sedikit dan harapan besar untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik saat sampai di kota. Namun alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, paman malah kesusahan. Paman tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Ingin kembali ke kampung juga percuma. Paman terlalu malu pada nenek mu jika harus kembali dengan kondisi seperti itu. Paman tahu paman salah, paman egois. Memilih pergi meninggalkan kalian padahal tahu bahwa saat itu kalian sedang berduka atas kematian orang tua mu."
Arya menundukkan kepala, mengusap kasar wajahnya. Dia benar benar malu. Cerita masa lalu dan kasih sayangnya sekarang pada Tiara seolah permintaan maafnya secara tidak langsung kepada gadis malang itu.
Sebenarnya Tiara tidak perlu merasa terbebani dengan apa yang telah ia terima dari nya. Anggap saja semua ini pembalasan atas dosanya di masa lalu yang tidak bisa membahagiakan nya.
Bukannya menjadi sosok Paman dan anak yang baik, dulu dia malah memilih mencari kehidupan baru dan hanya memikirkan kebahagiaan keluarga nya saja.
"Kau tahu? Karena keegoisan itu paman mendapatkan karma. Paman sampai kelaparan dan hidup terpuruk dalam kesusahan."
Arya mengangkat kembali kepalanya, memasang senyum kecil menghadap Tiara. Ya rupanya kehidupan terkadang tidak seindah dan semudah bayangannya. Balasan karena melawan pada sang Ibu. Arya malah kesusahan dengan waktu yang cukup lama.
"Dan apa kau tahu siap yang mambantu paman sampai bisa mendapatkan kehidupan yang mewah seperti sekarang?"
Tangan Arya bergerak mengelus kepala Tiara. Gadis itu pun hanya bisa terdiam, dengan setia mendengarkan setiap perkataan yang di ceritakan pamannya. Tiara tahu, kata-kata Arya yang seolah-olah melayangkan pertanyaan sebenarnya adalah penegasan, dengan maksud lain di balik setiap ucapan.
"Pak Kenan. Beliau lah yang membantu paman, Tiara."
Arya kembali menurunkan tangannya, kembali menunduk. Suaranya kembali melemas. Perlahan menarik napas berusaha memilih kata yang tepat untuk melanjutkan perkataanya. Alih-alih melanjutkan bicara. Tiara malah mendahuluinya bicara. Gadis itu begitu peka.
"Paman," Tiara bisa dengan cepat menangkap apa maksud perkataan pamannya.
"Jadi ini alasannya kenapa Paman bersikeras membujuk Shasa agar menerima perjodohan ini. Paman pasti sangat kebingungan karena penolakan Shasa."
Kegundahan muncul. Antara kasihan pada sang Paman dan mengasihani diri nya sendiri. Tidak mungkin dia pura pura tidak mengerti dan mengabaikan pamannya. Dan mungkinkah dia bisa membantu paman untuk menggantikan Shasa. Sungguh bagai simalakama. Jika dia tidak membantu paman maka dia akan terus tertekan dengan tingkah bibi dan sepupunya. Dan jikapun dia membantu paman dengan mengikuti perjodohan, dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depannya.
"Jangan terlalu di jadikan beban, paman.
Aku mengerti posisi paman."
Tiara meyakinkan hatinya, kini dia yang berbalik mengulurkan tangannya, mengelus tangan Arya yang sudah ia anggap seperti Ayah kandungannya sendiri. Sungguh kasihan orang tua paruh baya itu, besar hati ingin membalas kebaikan orang yang telah menjadi pahlawan hidupnya. Tapi tidak mampu mengabulkan keinginan nya.
"Beri waktu aku satu minggu untuk beradaptasi di sekolah baru ini, paman. Dan setelah itu, paman bisa mengenalkan ku pada Pak Kenan. Jika beliau berkenan, meski aku bukan putri paman. Aku bisa menggantikan Shasa dalam perjodohan itu."
Tiara tersenyum lebar, membuktikan keseriusan nya bahwa dia bisa membantu. Iya, walau dengan terpaksa mungkin ini jalannya. Di jodohkan dengan laki-laki yang tidak di kenalnya. Kekurangan fisik tidak apa, cukup mendengar cerita tentang Pak Kenan yang memiliki hati baik menjadi penguat bagi Tiara. Mungkin putranya juga memiliki sifat yang baik seperti Ayahnya.
Arya sampai tertegun, berharap Shasa yang akan lebih mengerti dengan posisinya. Tapi kini malah Tiara yang lebih mengerti akan permasalahan nya.
"Terima kasih, Nak." Arya tersenyum penuh keharuan. Bukunya menaruh dendam, gadis kecil yang dulu ia tinggalkan kini malah menjadi penolongnya.
"Masuklah! maaf paman malah menyita waktu mu di hari pertama mu masuk sekolah."
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Murid yang lain mungkin sudah mengawali satu mata pelajaran di dalam sana.
"Paman tidak bisa mengantarkan mu sampai ke dalam. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Paman sudah bicara panjang lebar dengan wali kelas mu. Langsung masuk lah keruangan guru. Sebutkan nama lengkap mu, maka orang orang di kantor guru akan langsung mengenali mu."
Iya, Arya bukan tanpa persiapan mengajak Tiara untuk berbicara sebentar dengannya. Sebelum itu, ia sudah berbicara dengan orang dalam dan meminta izin bawah Tiara akan sedikit terlambat di hari pertama nya masuk sekolah.
"Baik, paman. Terima kasih. Paman hati hati di jalan."
Tiara pamit. Bergegas masuk ke dalam. Bersiap mengumpulkan mentalnya untuk memulai kehidupan baru di sekolah baru nya.
"Ayo semangat, Tiara. Tidak perlu terbebani dengan perjodohan itu. Kau hanya perlu belajar dengan giat demi masa depan mu."
Tiara menggebu-gebu menyemangati diri sendiri, langkah demi langkah pun ia lalui. Matanya terkesima melihat kemegahan bangunan sekolah yang akan ia tempati.
Halaman yang begitu luas, bangunan besar yang ada di sini kanan dan kiri. Membuat Tiara bingung untuk melangkah ke arah mana karena belum tahu pasti keadaan di sini.
"Ya Tuhan, apa mungkin aku bisa sekolah di sini tanpa tersesat."
Ya itulah kesan pertama seorang gadis desa yang baru menginjakkan kakinya di kemewahan kota. Badan Tiara sampai memutar memilih jalan, harus ke arah manakah dia melanjutkan langkahnya.
"Ayolah Tiara, kau hanya perlu melangkah. Mungkin kau bisa bertemu dengan seorang di koridor yang kau lalui dan bertanya ruangan guru di mana."
Tiara lebih memilih melangkah ke arah kanan, menelusuri koridor berharap mendapatkan bantuan.
"Oh tidak, kenapa semakin kesini suasananya semakin sepi."
Tiara hanya bisa celingukan sana sini. Yang dia harapan sebuah bantuan, tapi hanya ada bangunan bangunan yang tidak terisi orang. Dia benar benar tersesat. Memang gadis kampung yang tidak tahu apa-apa. Padahal di pintu gerbang sekolah ada pak satpam yang bisa ia mintai pertolongan.
Tiara kini melangkah berbelok ke sebuah lorong, walau keadaan makin sepi tapi dia berutang, matanya bisa melihat ada beberapa murid laki-laki yang sedang berkumpul tidak jauh dari tempatnya sekarang.
"Akh akhirnya aku menemukan siswa lain."
Saking senangnya Tiara bergerak dengan sedikit berlari, ingin segera menghampiri mereka untuk bertanya.
Para murid laki-laki yang di lihat Tiara belum menyadari keberadaan dia di sama.
Mereka semua sama-sama sedang asyik dengan ponsel nya masing-masing.
"Cepat end dong, Bro. Keburu guru BK menemukan kita."
Salah satu siswa mulai heboh dengan permainan mereka. Iya, rupanya murid yang berjumlah tiga orang itu sedang asyik bermain games bersama.
"End gimana hah. Darah kita sekarat mundur oncom, mundur!"
Semakin memanas. Murid yang lainnya menimpali dengan suara menggebu-gebu.
"Ken, lo ngapain hah? Bantu oi!"
"Akggggh, kita rata."
Dua murid itu mengeram kesal, meminta bantuan pada teman yang satunya lagi, tapi percuma. Hero yang mereka mainkan kena kill dan kini hanya bisa melihat akhir permainan.
"Bantai mereka, Ken. Balas kan dendam kita!"
Timpalnya lagi, masih dengan semangat yang menggebu-gebu.
"Tunggu, gue kelarin minions dulu."
Salah satu murid yang masih melanjutkan permainan menimpali dengan begitu santai, sepertinya ia sedang mengatur strategi untuk mengakhiri permainannya.
"Mereka mendekat, bantai Bos."
"Mamp*s, ma*i kau bangs*t."
"Ayo kelarin satu lagi, Bos."
Bagaikan suporter sejati, mereka berdua mulai ricuh. Double kill, tripel kill, maniac.
bahkan suara audio permainan pun ikut mempersengit suasana.
Namun tiba-tiba....
Brakk
Bukannya berakhir dengan menggila, ponsel yang di pegang murid laki-laki yang di panggil Bos oleh kedua rekannya malah terjatuh ke lantai. Badannya tiba-tiba terdorong saat seseorang menubruk punggungnya.
"Akh maaf, saya tidak sengaja."
Entah kesialan apa yang menimpa Tiara, karena terlalu bersemangat menghampiri tiga murid laki-laki itu, kakinya malah terpeleset dan jatuh menimpa murid laki-laki di depannya.
"Jir..... Sial."
Murid itu mengendus kesal. Tidak ada waktu menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berani mengusiknya.
Dia hanya mempedulikan ponselnya dan dengan cepat mengambilnya. Namun percuma, SHUT DOWN audio permainan terdengar jelas, menandakan permainan nya sudah berakhir. Sedetik saja dia lengah Hero nya sudah di kalahkan.
"Akggggh...."
DEFEAT
Benar benar berakhir, tim mereka telah di kalahkan oleh tim musuh, gara-gara kerusuhan Tiara.
"Woi. Lo, mau cari gara-gara ya?"
"Permainan kita jadi hancur nih."
Dua rekannya itu langsung berdiri, menghardik Tiara dengan penuh kekesalan mewakili pimpinan mereka. Dengan serempak langsung berdiri dan mengintrogasi Tiara dengan tatapan kesal.
"Siapa Lo, Hah?"
"Gak punya mata ya sampai seenaknya nabrak si Bos."
Mereka berdua terus bertanya dengan penuh selidik. Perasaan wilayah yang mereka tempati sekarang jarang di datangi murid yang lain. Tapi kenapa ada cewek menyebalkan yang tiba-tiba nongol dan merusak keseruan mereka. Membuat naik darah saja.
"Jawab, Woi!"
"Ma..maaf...."
Karena terlalu gugup hanya kata itu yang keluar dari bibir Tiara, dia tidak bisa berkata-kata. Tatapan dan perkataan mereka yang begitu kasar membuat Tiara makin ketakutan.
"Sungguh sial kau, Tiara. Setelah tersesat, sekarang kau malah terjebak dengan tiga laki-laki ini. Mereka bukan preman yang menyamar jadi murid sekolah ini kan?"
Tiara mengumpat diri sendiri. Rasa takutnya bukan tanpa alasan. Tiga laki-laki yang dia hampiri malah seperti preman. Jika mereka memang murid sekolah ini, kenapa mereka masih berada di luar dan tidak mengikuti pelajaran. Dan laki-laki yang barusan ia tabrak lebih mencurigakan lagi, orang itu terlihat tidak memakai seragam lengkap, dia hanya mengenakan celana seragam sekolah dengan switer berwarna coklat sebagai atasannya.
"Sepertinya aku harus segera kabur meninggalkan tempat ini."
Baru juga Tiara mau melangkah pergi, tapi niatannya jadi berhenti. Laki-laki yang mengenakan switer tiba-tiba bersuara sambil berdiri.
"Bro, jangan terlalu kasar lah pada wanita. Pertanyaan kalian malah menakutinya."
Tangan laki-laki itu menyentuh kedua pundak temannya. Berbicara dengan begitu santai namun dengan nada yang begitu datar. Mengisyaratkan agar mereka mundur ke belakang. Biar dia yang menghadapi wanita pengganggu di depannya.
"Hei, cupu."
Itulah kesan pertama laki-laki itu saat melihat Tiara. Melihat penampilan nya saja dia langsung tahu kalau wanita di depannya ini adalah murid baru yang pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Sungguh tidak modis, berbeda dengan murid wanita lainnya.
Jelbbb bagai tusukan anak panah yang menancap di hati. Tiara kira laki-laki ini akan lebih lembut dari pada dua rekannya tadi. Tapi ternyata dia lebih parah. Lebih mengintimidasi walau hanya dengan tatapannya nya saja.
"Mau a...apa kau?"
Tiara sampai terbata-bata. Berusaha berjaga-jaga. Memundurkan langkah kakinya beriringan dengan langkah kaki laki-laki itu yang semakin mendekat ke arah tubuhnya.
"Apa kau tahu kalau di sekitar sini tidak ada cctv?" ucap lelaki itu sambil mengangkat satu sudut bibirnya.
Tiara malah makin ketakutan, refleks melihat sekeliling memeriksa keadaan. Dan benar saja, tidak ada satupun cctv di sana. Perkataan laki-laki itu membuatnya berpikir pada hal yang tidak ia harapkan.
"Maaf, sungguh aku tidak sengaja terpeleset dan malah jatuh menimpa mu."
Akhirnya Tiara mampu menjelaskan keadaan. Dia tidak bisa terus diam ketakutan.
"Pergi! Sebelum kedua teman ku memakan mu hidup hidup."
Tidak mempedulikan alasan Tiara. Laki-laki itu langsung menyuruh Tiara pergi. Nada bicaranya memang begitu datar dan sangar, tapi perkataanya itu seolah-oleh dia ada di pihak Tiara, dan memberi angin segar untuk nya.
"Dia menyuruhku pergi? Apa mungkin sebenarnya dia baik? Apa aku tanya saja di mana ruang guru padanya?"
"Iya aku akan pergi. Tapi bisakah kau tunjukkan pada ku di mana ruangan guru?"
Terserahlah, laki-laki itu menakutkan atau tidak. Yang jelas niatan Tiara menghampiri mereka memang untuk bertanya.
"Lurus ke arah Utara."
Dengan santainya laki-laki itu menjawab, tanpa keraguan dan tanpa basa basi.
"Bos, kok di lepasin begitu saja?"
"Diam, si Kenzo pasti sedang merencanakan sesuatu. Mana mungkin dia melepaskan orang yang mengusiknya begitu saja."
Dua temannya yang ada di belakang saling berbisik. Ada yang aneh.
"Sekali lagi maaf karena telah menabrak mu. Dan terima kasih informasinya."
Tiara berbalik, karena sudah mendapatkan jawaban dia pun langsung pergi. Bahaya jika terus berlama-lama di sana.
Kini tinggal tiga laki-laki itu di sana, dua orang yang sedari tadi berbisik seketika menahan tawa. Tega nian laki-laki yang bernama Kenzo ini.
"Ken, bukanya wanita itu bertanya di mana ruang guru? Kenapa lo malah memberi tahunya arah menuju kantin."
Seolah bertanya, padahal dia sedang mengagumi kelakuan temannya.
"Biarkan saja si cupu itu berkeliling dulu sebelum menemukan ruang guru."
"Hahaha...."
Seketika tawa dua rekannya pecah. Bukan Kenzo namanya kalau tidak jahil dan mengerjai orang. Dia malah memberi tahu arah yang berlawanan.
Entah apa yang akan terjadi pada Tiara karena ulah laki-laki yang bernama Kenzo itu.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Sita Redjeki
knp jg GK tanya satpam di depan dulu..tau baca arahan ruangan
2022-12-04
0
FuryaRa Mawa
kasian Tiara baru hr pertama sekolah da dikerjain ja ma calon lakinya....
2022-11-09
0
Ory Isa
wadohhh ini bru hari pertama msuk sekolah ya,gmn selanjutny nihhh
kasian bngett tiara
2022-09-13
0